TNI Membunuh Tan Malaka
Oleh: Harry PoezeSumber:  Ruang Baca Tempo: Edisi 03 Oktober 2007

Selama 20 tahun sejarawan Belanda Harry Poeze mencari makam Tan Malaka. 
Pembunuh Tan Malaka mantan wali kota Surabaya. Pemakaman itu terletak di atas 
bukit. Batu besar tinggi menjulang, lebih tinggi dari pohon kelapa, melintang 
di tengah bukit. Batu inilah yang menginspirasi para pembabat dusun untuk 
memberi nama kampungnya Selopanggung.
“Selo” dalam bahasa Jawa berarti “batu”, sedangkan “panggung” bermakna 
“berdiri” atau “tempat pentas”. Jadi, Selopanggung bisa diartikan sebagai batu 
yang berdiri tegak. Dusun ini terletak di Kecamatan Semen, berjarak sekitar 20 
kilometer sebelah Barat kota Kediri.
Untuk menuju dusun ini orang harus melewati jalan menurun yang curam. Jika 
lewat selintas di jalan utama, kita tak menduga bahwa di bawah jalan curam 
tersebut terdapat dusun yang cukup besar. Nah, makam Mbah Selo, perintis dusun 
Selo, masih harus dicapai dengan menyusuri sungai kecil berbatu, kemudian turun 
ke sungai besar, naik ke bukit, sampai ke batu jangkung itu, lalu belok kiri 
dan seratus langkah kemudian baru tiba di makam.
 
Ada dua pohon kamboja di makam itu. Pertama sudah sangat tua, lebih dari 
seratus tahun. Satunya lagi lebih muda. “Di bawah pohon kamboja tua inilah Mbah 
Selo dimakamkan. Sedangkan yang di bawah pohon kamboja yang agak muda itu, 
terdapat makam tawanan yang dibunuh tentara dan buku-bukunya dibakar,” kata 
Mbah Tolu, 68 tahun, kepada Tempo.
 
Ke dusun ini pula sejarawan Belanda Harry Poeze, 60 tahun, dua kali datang. 
Pertama, pada awal 1990-an dan kedua, dua tahun lalu. Direktur KITLV Press 
(Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) ini telah 20 
tahun mencari makam Tan Malaka. Baru di dusun itulah ia yakin bahwa “tawanan 
yang dibunuh tentara” seperti disebutkan Mbah Tolu itu adalah Tan Malaka.
 
Mbah Tolu ingat, saat itu ia berumur 10 tahun, ada serombongan tentara yang 
dipimpin Letnan Dua Soekotjo memasuki kampungnya. Bersama rombongan pasukan itu 
terlihat seorang laki-laki yang kata Tolu, “tangannya ditali, seperti tawanan. 
Mungkin itu yang bernama Tan Malaka.”
 
Poeze mengatakan, penulis Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, kitab yang 
menghubungkan cara berpikir ilmu pengetahuan dengan kebudayaan Indonesia dan 
gerakan revolusi, itu ditangkap dan ditembak mati di Selopanggung pada 21 
Februari 1949. “Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon 
Sikatan bagian Divisi Brawijaya,” ucap Poeze. “Soekotjo terakhir berpangkat 
brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya.”
 
Temuan Poeze ini menggugurkan cerita bertahun-tahun yang menyebutkan Tan Malaka 
mati ditembak di tepi sungai Brantas di wilayah Kediri. Tesis ini juga merevisi 
dugaan bahwa pasukan Partai Komunis Indonesia berada di belakang pembunuhan 
itu. Sayuti Melik, pengetik teks proklamasi, misalnya, dalam buku Sukarni dalam 
Kenangan Teman-temannya, menyebutkan bahwa pasukan Pesindo (PKI) membunuh Tan 
Malaka lantaran tak menginginkan Tan Malaka yang telah mendapat testamen dari 
Bung Karno menjadi presiden. Soekarno pada awal September 1945 memang 
mengeluarkan testamen yang menyebutkan “bila saya dan Hatta terhalang memimpin 
revolusi, saudara Tan Malaka melanjutkan memimpin revolusi.”
 
Cerita kematian Tan Malaka itu mengisi salah satu bagian dari buku setebal 
2.200 halaman yang telah ia luncurkan akhir Juli lalu. Buku berbahasa Belanda 
itu berjudul Vurguisden Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en 
Indonesische Revolution 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan 
Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949). Terjemahan Indonesia buku tersebut 
paling cepat baru akan diluncurkan Desember nanti.
Kepada Tempo, Poeze yang telah 36 tahun meneliti Tan Malaka itu bercerita 
tentang periode akhir hidup tokoh yang disebut Muhammad Yamin sebagai “Bapak 
Republik Indonesia” ini.
 
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan bahwa Tan Malaka dibunuh di Selopanggung 
dan bukannya di tepi kali Brantas?
Saya memeriksa satu persatu berbagai versi kematian Tan Malaka. Seluruhnya ada 
delapan versi. Ada yang menyebut bahwa Tan Malaka mati di tepi sungai Brantas. 
Ini versi yang terbanyak disebut. Ada pula versi yang ditulis seseorang pada 
1980-an yang mengaku sebagai penembak Tan Malaka. Saya ketemu dia dan saya 
tanya seperti apa Tan Malaka yang dia tembak mati. Saya tahu persis dia salah. 
Nah, kemudian ada keterangan dari seorang tentara yang menyebut bahwa salah 
seorang hakim mahkamah militer luar biasa adalah pelaku penembakan itu. Dia tak 
menyebutkan namanya, karena dia takut. Maklum saat itu zaman Orde Baru. Saya 
cari seluruh daftar nama hakim dan satu per satu saya telusuri riwayat mereka. 
Saya tahu Tan Malaka pernah membangun markas gerilya di Kediri. Saya cari siapa 
hakim yang pernah bertugas di wilayah Kediri.. Ketemu. Orang itu bernama 
Hendrotomo. Tapi saat itu saya belum sempat wawancara dia. Hendrotomo keburu 
meninggal. Sesudah meninggal, tentara
 yang ketakutan itu baru mengaku terus terang bahwa orang yang dia maksud 
adalah Hendrotomo. Ini benar-benar sejarah yang rumit, dan saya menelitinya 
persis seperti pekerjaan detektif.
Lalu bagaimana Anda menguji kebenaran informasi itu?
Anggota TNI ini menyebut pada 1949 itu Hendrotomo merupakan anggota Batalyon 
Sikatan pimpinan Soerahmat. Saya segera menghubungi Soerahmat yang pada 1980-an 
itu masih hidup. Tapi Soerahmat tak banyak menjawab. Ia cuma menyebut lupa. 
Daerah-daerah yang dikuasai batalyon ini di Kediri saya datangi. Saya keluar 
masuk desa, tanya ke lurah-lurah dan orang-orang tua yang mengenal seluk beluk 
batalyon ini. Sampai di sini belum ketemu Dusun Selopanggung dan nama Letda 
Soekotjo. Lalu dari beberapa orang partai Murba (partai yang didirikan Tan 
Malaka), saya mendapat beberapa nama orang yang menjadi pengawal Tan Malaka 
saat lari dari markasnya di Desa Belimbing karena serbuan TNI dari divisi 
Brawijaya, dan pada saat yang sama Belanda masuk ke Kediri pada agresi II. 
Pengawal Tan Malaka yang saya wawancarai itu bernama Jakfar dan Soekatma. 
Mereka ikut mengawal Tan Malaka hingga dekat Selopanggung, sebelum akhirnya 
melarikan diri dan meninggalkan Tan Malaka sendirian.
 Kaki Tan Malaka saat itu terluka sehingga tak bisa lari.
Berikutnya, dari seorang bekas tentara teritorial yang tahu persis daerahnya 
menyebut bahwa Tan Malaka ditahan Soekotjo dan ditembak mati di Selopanggung. 
TNI waktu itu punya dua bagian: fungsional dan teritorial. TNI fungsional 
diberi tunjangan yang baik. Tentara teritorial yang berpangkat sangat rendah 
tak bersimpati pada TNI fungsional karena mereka tak diberi amunisi. Sumber 
saya ini tampaknya tak menyukai kiprah Soekotjo. Ia pun dengan mudah 
menceritakan penangkapan Tan Malaka. Cerita ini mirip dengan semua informasi 
yang terdapat dari berbagai sumber. Inilah gambar yang benar dari pelbagai 
versi kejadian.
Jadi yang siapa yang menembak: Soekotjo atau Hendrotomo?
Hendrotomo itu atasan Soekotjo. Dialah yang mempertanggungjawabkan tindakan 
Soekotjo pada atasannya, Soerahmat. Buku biografi Soerahmat yang diterbitkan 
anaknya, Suyudi Soerahmat, pada 2000, menuliskan dengan jelas, ada sebuah 
laporan dari bawahan Soerahmat bernama Hendrotomo. Di situ disebutkan Soerahmat 
bertanya pada Hendrotomo: bagaimana dengan Tan Malaka? Hendrotomo bilang, 
“sudah dibereskan dan dikuburkan”. Ada proses? Hendrotomo bilang “ada proses”. 
Proses yang dimaksud di sini adalah pengadilan militer yang dilakukan oleh 
Soekotjo. Tentu saja ini pengadilan main-main.
Anda bertemu Soekotjo?
Tidak. Dia sudah meninggal pada 1980-an. Dia pernah menjadi Wali Kota Surabaya 
dan berpangkat terakhir Brigadir Jenderal. Saya hanya bertemu dengan istri 
Soekotjo. Saya tanya pada dia, apakah tahu hubungan antara Soekotjo dan Tan 
Malaka? Dia tidak tahu. Ini bisa dimengerti karena perkawinan keduanya terjadi 
jauh sesudah penembakan. Soekotjo tidak bercerita pada istrinya. Nah, buku ini 
mengungkap peran Soekotjo. Saya berharap istri dan keluarga Soekotjo tidak 
marah ketika saya tulis Soekotjo adalah pembunuh Tan Malaka. Ini kenyataan 
sejarah.
Soekotjo menembak atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasannya?
Menurut saya, itu atas inisiatif sendiri, bukan karena perintah Hendrotomo atau 
atasannya lagi. Dua orang ini, Soekotjo dan Hendrotomo, adalah orang kanan dan 
sangat membenci semua orang kiri. Sewaktu pemberontakan Madiun mereka sangat 
membenci orang kiri. Hendrotomo dan Soekotjo tak bisa membedakan orang kiri dan 
orang radikal kiri. Soekotjo tahu bahwa orang yang dia tahan adalah Tan Malaka, 
orang kiri yang berbahaya. Dengan regu yang kecil, pasukan Soekotjo waswas. 
Kalau tidak ditembak, maka mereka yang akan ditembak bila bertemu dengan 
orang-orang Tan Malaka. Maka regu Soekotjo ini pun memutuskan sendiri.
Hanya saja, pembunuhan itu mungkin tak akan terjadi jika tak ada perintah 
Soengkono, panglima divisi Brawijaya di Jawa Timur yang mengirimkan radiogram 
ke daerah-daerah bahwa aktivitas gerakan Tan Malaka berbahaya dan harus 
dihentikan. Ini kata-kata yang abstrak. Bisa ditafsirkan macam-macam. 
Perintahnya yang jelas adalah agar markas Tan Malaka di desa Belimbing, Kediri, 
harus diduduki dan batalyon Sabarudin yang melindungi Tan Malaka dibubarkan. 
Dalam perintah itu juga disebut mereka harus ditahan dan jika ada perlawanan 
bisa dipakai hukum militer. Mungkin Soekotjo menafsirkan perintah “hukum 
militer” sebagai tembak mati.
Saat itu pimpinan TNI tahu persis penangkapan Tan Malaka oleh Soekotjo?
Tidak. Komunikasi sangat terbatas. Hanya ada satu kurir antara kompi satu 
dengan kompi lain. Tidak ada radio. Makan waktu beberapa hari untuk pergi. 
Dalam waktu yang terbatas itu, Soekotjo beraksi sendiri, tanpa konfirmasi dari 
atasannya.
Bagaimana ceritanya Tan Malaka ditangkap di Selopanggung, sementara di 
Belimbing sebetulnya dia sudah terkepung?
Pada mulanya, divisi Brawijaya mengepung markas Belimbing. Tapi ketika tengah 
mengepung itulah datang serangan dari Belanda. Pasukan pengepung dan 50 
pengawal Tan Malaka, termasuk anggota batalyon Sabarudin, lari tunggang 
langgang. Rombongan Tan Malaka terpecah empat. Tan Malaka dikawal enam orang. 
Mereka bergerak sekitar 60 kilometer ke arah Selatan mencari kesatuan yang 
bersimpati pada Tan Malaka. Tapi mereka harus melewati satu daerah yang 
dikuasai oleh pasukan yang membenci orang-orang kiri. Inilah kesatuan batalyon 
Sikatan. Di Selopanggung mereka bertemu regu Soekotjo. Enam pengawal Tan Malaka 
lari. Empat ke arah Sungai Brantas, dua lagi ke arah Selatan dan selamat. Tiga 
dari empat orang yang ke sungai Brantas ditembak mati. Seorang lagi melompat ke 
kali, berenang, dan selamat. Orang yang selamat inilah yang menjadi sumber 
saya. Kisah penembakan di tepi sungai Brantas itu kemudian dipercaya sebagai 
kisah kematian Tan Malaka. Padahal salah.
Mengapa TNI menilai Tan Malaka dan Sabarudin berbahaya?
Tan Malaka ke Belimbing untuk bergerilya. Saya bertemu sekitar 10 orang yang 
masih ingat kehadiran Tan Malaka di Belimbing. Di desa ini, Tan Malaka banyak 
menulis pamflet yang ia beri nama Dari Markas Murba Terpendam. Dia bikin 
pamflet yang mengecam Soekarno-Hatta yang bersedia ditahan begitu saja oleh 
Belanda dalam agresi II pada Desember 1948. Tan Malaka menilai keduanya 
mengkhianati republik karena tidak memutuskan bergerilya melawan Belanda. Dalam 
kondisi RI tanpa presiden dan wakil presiden itulah Tan Malaka menggunakan 
testamen dari Bung Karno. Dia mengajak rakyat perang gerilya melawan Belanda 
sebagaimana dilakukan Soedirman. Dari markas itu pula, Tan Malaka mengkritik 
divisi Brawijaya yang pengecut dan tak peduli pada kepentingan rakyat. Kritik 
ini tak disukai Soengkono yang kemudian mengeluarkan perintah penangkapan Tan 
Malaka.
Kenapa Tan Malaka memilih ikut Sabarudin ke Kediri?
Ini juga teka-teki untuk saya. Sesudah ditahan di 15 tempat selama dua tahun 
sejak Juli 1946, Tan Malaka dibebaskan, tanpa diberi amnesti oleh Soekarno. 
Saat itu Tan Malaka ditahan karena mengecam politik Soekarno yang tak 
revolusioner. Tapi ketika dibebaskan, Tan Malaka kemudian dipakai oleh Soekarno 
untuk menghadang politik PKI. Waktu itu dari Moskow, Muso dikirim untuk 
mendirikan Republik Indonesia-Sovyet. Tan Malaka dibebaskan untuk mendirikan 
salah satu alternatif kiri untuk melawan Muso. Lalu terjadi pemberontakan PKI 
Madiun pada akhir September 1948. Soekarno menumpas Muso. Pada 7 November 1948 
pun Tan Malaka mendirikan partai Murba. Dia bukan ketua, tapi duduk di dewan 
partai. Sesudah terbentuk, kemudian ia memutuskan berkeliling daerah. Kebetulan 
waktu itu ada undangan dari batalyon Sabarudin untuk pergi ke Jawa Timur. 
Sabarudin menjamin keamanan Tan Malaka. Dia naik kereta api khusus dengan 50 
pengawal dari Yogyakarta ke Kediri. Tan Malaka
 pergi ke sana antara November-Desember 1948, dan sibuk mendirikan organisasi 
pertahanan rakyat, dengan fokus kerja sama antara rakyat biasa dan kesatuan 
militer. Ini adalah perwujudan dari ide Tan Malaka dalam bukunya, Gerpolek 
(Gerilya Politik Ekonomi). Dalam buku itu disebut perlunya dibentuk pertahanan 
rakyat. Tapi gagasan itu baru dalam tahap awal, Belanda keburu datang.
Saya juga bertanya kenapa ikut Sabarudin? Padahal Sabarudin dikenal sebagai 
seorang aneh, gila, dan bahkan psikopat. Dia sebetulnya orang pintar, ikut 
sekolah Belanda, tapi otaknya terganggu. Dia tentara yang sangat mengagumi Tan 
Malaka. Tapi perilakunya aneh. Setiap ada tawanan, dia ingin menembak mati. Dia 
juga disebut senang minum darah musuh. Tindakan Sabarudin yang keterlaluan itu 
sebetulnya yang menyebabkan Soengkono membubarkan batalyon Sabarudin. Sebagai 
bagian dari divisi Soengkono, Sabarudin lebih memilih jalan sendiri. Aneh 
sekali, Tan Malaka yang intelektual dan mengerti betul gerakan revolusi ikut 
seorang psikopat. Ini kesalahan besar.
Sabarudin mati dalam pengejaran divisi Soengkono?
Tidak. Dia berhasil lolos. Dia sangat marah mendengar kematian Tan Malaka. 
Kembali menyusun batalyon, dia kemudian menghabisi anggota batalyon yang 
membantu Soerahmat. Giliran Soerahmat marah besar. Sabarudin ditangkap di 
Surabaya dan diputuskan diadili di Madiun. Di tengah jalan, atas perintah 
Soerahmat, dia ditembak mati pada November 1949.
Setelah makam ketemu apa rencana berikutnya?
Saya sudah menyerahkan kepada Departemen Sosial untuk menelusuri di sebelah 
mana sebenarnya makam Tan Malaka di Selopanggung. Makam harus dibongkar dan 
diuji DNA. Keluarga Tan Malaka sudah bersedia diambil sampel darahnya. Semua 
terserah pemerintah Indonesia, apa mau memindahkan makam itu atau tetap 
mempertahankannya di sana.
 
# YOS RIZAL SR | DWIJO MAKSUM

--- On Sun, 9/13/09, Alexander Firdaust <daustco...@yahoo.com> wrote:


From: Alexander Firdaust <daustco...@yahoo.com>
Subject: [tanahkaro] Kerangka Jasad Tan Malaka Tes DNA di Jakarta
To: infok...@yahoogroups.com, tanahkaro@yahoogroups.com, 
komunitask...@yahoogroups.com
Date: Sunday, September 13, 2009, 12:46 PM


  







Kediri, (tvOne) 

Kerangka jenazah yang digali dari makam yang diduga milik Tan Malaka, tokoh 
revolusioner yang dicap beraliran kiri yang dimakamkan di Desa Selopanggung, 
Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jatim rencananya dibawa ke Jakarta guna 
identifikasi untuk tes DNA.

"Kami akan langsung membawa kerangka tersebut ke Jakarta, dan akan diteliti 
langsung oleh tim ahli forensik dari FKUI," kata ketua panitia pembongkaran 
makam Tan Malaka, Zulfikar Kamarudin, di lokasi pembongkaran, Sabtu.

Ia mengungkapkan, tes yang dibantu oleh empat orang ahli forensik tersebut 
dimaksudkan untuk mengetahui dengan pasti identitas kerangka tersebut. 
Rencananya, kerangka itu akan di tes, dan akan dicocokkan dengan DNA di 
tubuhnya.

Menurut dia, waktu yang diperlukan untuk tes DNA tersebut sekitar tiga pekan. 
Selama itu, pihaknya akan menunggu, sambil mempersiapkan langkah selanjutnya, 
termasuk kepastian akan positif maupun negatif terhadap jasad Tan Malaka.

Ia juga mengaku, sangat berterimakasih baik kepada pemerintah maupun warga 
umum, yang masih tetap antusias untuk menyaksikan pembongkaran makam yang 
diduga terdapat jenazah Tan Malaka. "Kami tidak ada maksud politik apapun, 
terkait dengan pembongkaran tersebut. Hal itu kami lakukan, hanya untuk 
mengetahui tentang seseorang, yang kemungkinan Datuk Tan Malaka," kata 
kemenakan Tan Malaka tersebut.

Kepada masyarakat, ia juga mengungkapkan, harapanya supaya tetap mengenang jasa 
pahlawan Tan Malaka. Walaupun ia dianggap beraliran kiri, ia memastikan langkah 
yang dilakukan Tan Malaka, semata-mata untuk melawan penjajah dengan semangat 
"Marxis".

Sebelum kegiatan penggalian makam tersebut, awalnya didahului dengan doa-doa 
yang dibacakan seorang kiai setempat. Sekitar empat orang warga yang diminta 
untuk membongkar langsung melakukan aksinya, begitu kiai usai membacakan doa.

Adapun makam yang dibongkar tersebut terletak di sebelah kiri makam yang 
terletak batu di atasnya. Di kedalaman sekitar dua meter, mereka menemukan 
berbagai kerangka, seperti kepala, serta serpihan tulang yang mirip dengan 
gigi. Selain itu, juga ditemukan benda yang mirip dengan kain kafan. Usai 
benda-benda tersebut diambil dari lubang makam, selanjutnya barang-barang 
tersebut ditaruh di tempat khusus, untuk keperluan tes DNA kelak.

Dokter spesialis forensik dan DNA FKUI, dr Djaya Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, 
DFM mengungkapkan, pihaknya akan melakukan dengan metode antropologi forensik, 
dengan mengambil semua sisa kerangka. Hal itu dilakukan, untuk mengetahui 
dengan pasti fisik kerangka tersebut.

"Kami menemukan beberapa kerangka, di antaranya tulang yang mirip dengan gigi, 
serta bagian kepala. Kami merencakan akan melakukan tes dengan metode 
antropologi forensik, untuk dapat mengetahui secara fisik," katanya 
mengungkapkan.

Sementara itu, Camat Semen, Agus Suntoro yang mewakili muspida mengaku berharap 
banyak dengan penggalian yang dilakukan panitia nasional tersebut. Selain 
berharap, makam tersebut memang terdapat jenazah Tan Malaka, pemkab juga 
mempunyai rencana untuk membuat wisata sejarah, sehingga warga Indonesia tidak 
melupakan para pahlawan bangsanya.

Lokasi makam desa Selopanggung yang hanya seluas 500 meter tersebut berada di 
sekitar tiga kilometer lebih dari jalan raya desa. Di lokasi tersebut terdapat 
tiga makam kuno, di antaranya makam Tan Malaka, makam Mbah Selorejo, yang 
diduga adalah putra adipati Bojonegoro, serta makam Mbah Ketir, seorang putra 
adipati dari Tuban. Belum ada yang mengetahui dengan pasti, kerangka di makam 
tersebut, khususnya Tan Malaka, mengingat saat ini masih akan dilakukan tes DNA.

Bahkan, pihaknya juga belum berani mengambil kesimpulan resmi dari hasil riset 
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia 
Tenggara atau KITLV di Leiden, Harry A Poeze, yang meneliti Tan Malaka sejak 
tahun 1971.

Dalam penelitian tersebut, Harry menyebut, Tan Malaka sengaja dibunuh oleh 
pasukan Batalyon Sikatan pimpinan Letnan Dua Soekotjo. Ia tewas pada tanggal 21 
Februari 1949, dan tubuhnya dimakamkan di tempat pemakaman itu, tanpa disertai 
dengan nisan. (Ant)

Sumber: http://www.tvone. co.id/berita/ view/22950/ 2009/09/12/ kerangka_ 
jasad_tan_ malaka_tes_ dna_di_jakarta

Salam Mejuah Juah

Karo Cyber Community

















      

Kirim email ke