Cendekiawan Berdedikasi 2010
Senin, 28 Juni 2010 | 04:39 WIBOLEH ST SULARTO
Tidak bermaksud menyederhanakan masalah, kami tidak ingin memasuki wacana 
tentang cendekiawan. Tidak juga ingin membuat antagoni cendekiawan dan 
intelektual, cendekiawan dan noncendekiawan. Wacana antagonistis itu selama 
berabad-abad sudah dikupas dengan pendekatan masing-masing sejak abad ke-19 
oleh para pemikir. Analisis dan pendapat mereka benar, masing-masing dengan 
pendasaran yang logis.
Serupa seperti pertanggungjawaban sejak Kompas memberikan penghargaan ini, 
tahun 2008, kami hanya bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada sejumlah 
cendekiawan yang kami nilai tekun bekerja sama dengan komitmen dan dedikasi.
Selama puluhan tahun mereka memberikan kontribusi yang sifatnya win win 
solution, simbiosis mutualistik—antara mereka dan harian Kompas. Ada pertemuan 
saling memperkaya, saling mendukung, dan saling menguntungkan. Jati diri Kompas 
sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berupaya mencerahkan kehidupan 
masyarakat, jati diri cendekiawan sebagai anak kandung masyarakat dan pelita 
kehidupan, berada dalam koridor yang sama.
Dengan keterbatasan masing-masing, dengan kekurangan dan kelebihan 
masing-masing, dengan kesempatan masing-masing berada dalam posisi sebagai 
pendidik. Kontribusi kita menyadarkan, mencerahkan, dan mengembangkan 
bersama-sama yang dilandasi kepedulian dan komitmen kemajuan.
Ketika kepakaran seseorang yang disebut sarjana, sujana, atau terpelajar 
dikenakan pada seseorang yang sudah menamatkan jenjang pendidikan, ada 
legalitas yang memungkinkan seseorang disebut ilmuwan. Mereka diandaikan ahli 
dalam salah satu disiplin ilmu.
Akan tetapi, seberapa jauh yang bersangkutan disebut ilmuwan amatlah tergantung 
dari kepedulian, keseriusan, dan motivasi masing-masing, yang kemudian 
dibedakan antara ilmuwan murni dan ilmuwan tukang. Disebut murni karena 
dianggap konsisten dengan aturan main sebagai ilmuwan berikut kriterianya, 
tidak murni bahkan disebut tukang karena memanfaatkan kepakarannya untuk 
kepentingan politik yang sering dipraktikkan tanpa nurani didorong sifat 
kekuasaan yang cenderung korup.
Dengan cendekiawan, secara semantik ilmuwan memang berbeda. Berbeda tidak oleh 
genealogi atas kepakaran, tetapi terutama oleh kontribusi yang diberikan untuk 
tumbuhnya penghargaan atas kemanusiaan dan martabat manusia. Merekalah ilmuwan 
dalam arti karena dihasilkan dari disiplin akademis, karena kepedulian yang 
bobot kepakarannya sejajar dengan kualifikasi sarjana. Tidak hanya itu! Mereka 
mengatasi kriteria seorang ilmuwan. Mereka keluar dari kerangkeng kepakaran 
ilmu, dan pada saat yang sama memanfaatkan kepakaran untuk mendidik masyarakat, 
memberikan sumbangan di luar lingkup keilmuan yang diemban.
Harian Kompas dengan moto Amanat Hati Nurani Rakyat, dengan cara kerja yang 
kami rumuskan sejak awal humanisme transendental atau kemanusiaan yang imani, 
menemukan teman seperjalanan. Merekalah para cendekiawan yang dengan penuh 
dedikasi dan komitmen berjuang bersama Kompas, bertahun-tahun dan 
berkesinambungan. Mereka menjadi kontributor yang memproduksi ide-ide, 
disampaikan dalam bentuk artikel-artikel opini, dalam bentuk wawancara, dan 
dalam bentuk sarana lainnya. Mendidik berarti melakukan perubahan dan 
penyadaran yang dilakukan bersama-sama selama ini.
Setiap tahun sejak 2008 dipilih lima orang. Mengapa 5, tidak 7, tidak sekalian 
10? Pilihan jumlah tidak didasarkan atas tebakan togel, simsalabim, tetapi 
spontanitas yang didasari keterbukaan untuk penambahan atau bahkan pengurangan. 
Kriteria pada penghargaan yang pertama, kami lebih fokus pada mereka yang 
selama ini sudah bertahun-tahun mengirimkan tulisan dan dimuat, tanpa sengaja 
menjadi rubrik tetap yang ditunggu pembaca. Karena itu, pada penghargaan 
pertama kita temukan nama-nama penulis besar—sengaja kami ambil yang belum 
meninggal—yang pernah jaya di era tertentu, dan surut oleh munculnya 
penulis-penulis berusia lebih muda.
Dalam era itu tersebut nama MT Zen, Sayogyo, Soetandyo Wignyosubroto, Thee Kian 
Wie, dan Satjipto Rahardjo. Merekalah yang di tahun-tahun awal Kompas terbit 
aktif menulis dengan bahan baku keilmuan disiplin masing-masing selama puluhan 
tahun.
Di tahun 2009, kami perluas wilayah, tidak hanya mereka yang aktif sebagai 
kontributor artikel, tetapi juga yang memperjuangkan ide tanpa kenal lelah dan 
terlihat ada hasil bagi keadaban masyarakat. Terpilih Kartono Mohamad, Liek 
Wilardjo, Maria Sumardjono, Saparinah Sadli, dan Sjamsoe’oed Sadjad.
Bagaimana dengan penghargaan tahun 2010? Selain kriteria penghargaan pertama 
dan kedua, kami tambahkan pula kriteria upaya membangun budaya akademis agar 
masyarakat semakin menyadari pentingnya penelitian. Terpilih nama Adnan Buyung 
Nasution, Bambang Hidayat, Mely G Tan, Sediono MP Tjondronegoro, dan Raden 
Panji Soejono.
Mereka bukanlah nama asing. Mereka sudah menjadi milik masyarakat, barangkali 
juga sudah memperoleh penghargaan dari instansi-instansi lain termasuk 
pemerintah dan lembaga internasional. Mereka dedikatif memberikan sesuatu untuk 
masyarakat Indonesia agar semakin bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa 
lain di dunia, well informed, dan berkeadaban.


      

Kirim email ke