Mjjh,

Sebagai tambahan catatan, sebenarnya Alas dan Gayo lebih dikategorikan sebagai 
Proyo-Melayu, dibandingkan etnik lainnya di Sumatera (Sarasin dalam Vlekke, 
2002). 


Bahasa Alas, Gayo, Pakpak (termasuk di Singkel) 65% dapat dimengerti dan 
mempunyai logat yang sama dengan Karo. Tetapi dalam peta bahasa, Karo lebih 
dimasukkan dalam bahasa Batak Utara bersama Dairi dan Alas

Catatan tambahan lainnya 'kuta' dari kata dasar dari 'kota' (Tamil) berarti 
'situs yang berbenteng'. Mana yang lebih dulu?? yang pasti ada juga 'huta' dan 
'kute'. Sementara kampung, tampaknya lebih dekat ke kata dasar 'camp' (Inggris).

Istilah pemerintahan (adminstrasi) kunonya mungkin  lebih cocok 
'perbapan', atau 
'kesain', walau dalam penerapannya terjadi perubahan. Perbapan mencakup 
beberapa 
kuta, sedangkan kuta mencakup beberapa kesain??

Memang banyak nama kuta di wilayah Aceh, Kuta Raja, Kuta Cane, Kuta Tuha (di 
Aceh Jaya), Kuta Padang (Aceh Barat), Kuta Blang, Kuta  Lintang dan Kuta Rih 
termasuk Desa Pinem di Aceh Barat dlsb.. Tapi bagaimana penjelasannya?? rasa 
perlu diperdalam lagi..

Memisahkan Karo dari Batak lebih pada upaya dekonstruksi, jangan buru-buru 
minta 
cerai.... ;-)

Bujur ras Mejuah-juah









________________________________
From: gintingmu <gintin...@yahoo.se>
To: tanahkaro@yahoogroups.com
Sent: Sun, August 1, 2010 4:34:38 AM
Subject: [tanahkaro] Re: Karo as Culture Entity

  
Bujur Senina RGM, enggo ka lit sempatndu mencermati tulisen enda.
Payo tuhu nge riahen jadi Karo saja. Adi meriah siakap jadi Karo bagepe ras 
Karo 
ma muat riahna ka nge kari siakap ras tetangga bukan Karo. Self-confidence 
Karonta enggo muat ganjangna. Bage nge kuakap.
Salam mejuah-juah
MUG

--- In tanahkaro@yahoogroups.com, robinson g munthe <rgmun...@...> wrote:
Saya mencermati tulisan Senina MUG ini sangat tajam,logis dan argumentatis 
tanpa 
harus terjebak dalam polemik tidak produktif. Dengan kata lain tulisan ini 
mengatakan : "Saya Karo, memiliki sejarah dan riwayat sendiri. Tapi saya dan 
kalian tetap bersaudara, setidaknya dari segi demografis". 


RGM

--- On Fri, 7/30/10, MU Ginting <gintin...@...> wrote:

From: MU Ginting <gintin...@...>
Subject: [tanahkaro] Karo as Culture Entity
To: tanahkaro@yahoogroups.com, forumk...@yahoogroups.com, 
komunitask...@yahoogroups.com
Date: Friday, July 30, 2010, 3:08 PM

Karo as Culture Entity 

Karo adalah etnis tersendiri dengan kultur dan budaya sendiri, satu etnis besar 
yang pernah exis di Sumatra bagian Timur. Kebesaran dalam kultur budayanya, 
arsitekturnya (rumah adat) begitu juga terlihat dalam filsafat hidupnya yang 
menggambarkan way of thinking (filosofis) yang sudah tinggi. Bukti-bukti 
kebesaran ini tidak tercatat secara rapi seperti manifestasi kebudayaan dan 
peradaban tinggi Barat atau Yunani kuno misalnya. Dari yang pernah terlihat 
ialah tulisan atau goresan pada bambu seperti dalam sejarah Patimpus. Begitu 
juga terlihat dari cita-cita Hayam Wuruk (Gajah Mada) menaklukkan kerajaan 
besar 
satu-satunya di daerah Sumatra bagian timur, satu kerajaan besar orang kafir 
(pemena), karena kerajaan ini bukan muslim atau bukan Aceh maupun bukan Jawi, ( 
'Kalak Jawi' adalah panggilan orang Karo terhadap orang islam tempo doeloe, 
umumnya orang Melayu). 

Pasukan-pasukan berbagai kerajaan islam (Melayu) dari selatan dan dari laut 
(semenanjung Malaka) serta dari utara (Aceh, juga islam) mendesak dan 
menaklukkan kerajaan besar orang kafir (pemena) Haru, dan masih meninggalkan 
sisa pertahanan terakhir benteng Delitua yang masih terlihat sampai sekarang. 
Nama-nama kota dengan istilah kuta (kampung) dalam bahasa Karo tersebar mulai 
dari Kutaraja sampai ke Siak. Kemudian yang masih banyak terutama di Sumtim 
terutama di daerah-daerah etnis Karo, dan masih ada di daerah Gayo/Alas. Dalam 
Sumpah Palapa (1336) Gajah Mada Majapahit berjanji akan menaklukkan banyak 
kerajaan termasuk Haru. Tetapi yang berhasil menaklukkan Haru ternyata adalah 
kerajaan-kerajaan islam yang telah lama (sebelum Gajah Mada bersumpah) berusaha 
membinasakan kerajaan kafir terakhir didaerah Sumatra bagian Timur. 

Dialektika adalah cara pikir dan cara pandang atas hal-ihwal dari segi-segi 
yang 
bertentangan didalamnya, atas alam dan pikiran manusia serta kehidupan dan 
perkembangan kehidupan manusia maupun perkembangan pikiran manusia . Orang 
Barat 
berpendapat dan mengatakan bahwa penemu pertama dialektika adalah orang Yunani 
Kuno bernama Heraklitos (500 SM) dalam Pantarei (air mengalir, sungai). 
Heraklitos menunjukkan proses atau perubahan tak henti-hentinya (dialektika 
alam). Orang Karo Kuno (Karo sinoria) sudah mengenal dan memakai dialektika 
dalam kehidupan dan cara pikirnya, dalam melihat alam dan dalam menilai 
perkembangan pikiran manusia. Ini terlihat dari pepatah kuno Karo (sudah ada 
sejak Karo lahir sebagai satu kesatuan struktur budaya dan kultur) yaitu: dalam 
alam (sungai) dikatakan 'aras jadi namo, namo jadi aras' (Pantarei Karo), 
dimana 
aras adalah bagian dangkal dalam aliran sungai, bagian yang beriak, bagian yang 
deras, bagian yang ribut dan pada gilirannya akan berubah jadi namo (lubuk), 
yaitu bagian yang dalam, bagian yang tenang. Jadi disini menggambarkan 
kedangkalan kontra kedalaman, keributan kontra ketenangan, dan yang satu 
berubah 
jadi yang lain lewat proses tertentu yaitu proses perubahan segi-segi 
bertentangan. 

Dan dalam pikiran, seperti 'seh sura-sura tangkel sinanggel' (begitu tercapai 
cita-cita akan muncul kesusahan), menunjukkan kegembiraan kontra kesedihan, 
proses tak henti-hentinya hal-hal bertentangan dalam pikiran manusia. 
Dialektika 
Karo kuno menunjukkan proses dan pertentangan dalam alam maupun dalam pikiran 
manusia. Dialektika Heraklitos (Pantarei) menunjukkan proses dalam alam, sungai 
mengalir tak henti-hentinya dan perubahan tak henti-hentinya. Kalau kita 
menginjakkan kaki kedua kalinya kedalam satu sungai, sungainya bukan lagi 
sungai 
ketika kita menginjakkan kaki pertama kali katanya. Dialektika alam Karo atau 
Pantarei Karo secara jelas tidak hanya menunjukkan proses, tetapi juga adanya 
segi-segi bertentangan. Kenyataan-kenyataan legendaris alamiah ini cukup 
membuktikan tingkat peradaban dan tingkat filsafat pemikiran etnis Karo telah 
ada sejak adanya Karo sebagai entitas budaya dan kultur tersendiri dan jelas 
terlihat dari perbandingan dengan perkembangan dialektika Yunani kuno 
Heraklitos. Dari logika ini menjadi jelas tak teragukan bahwa etnis Karo adalah 
salah satu dari etnis tertua dan sangat tinggi filsafat dialektikanya dibagian 
dunia Sumatera bagian timur. 

"The Batta Cannibal States", sebutan John Anderson, dalam buku Mission to the 
East Coast of Sumatra 1823, menemukan berbagai kesatuan atau berbagai struktur 
kesatuan budaya dan kultur di pantai timur Sumatra. Dia melihat perbedaan dan 
juga melihat adanya kekuasaan (states) dalam kesatuan-kesatuan itu. Tetapi 
Anderson menjadikan semua entitas yang bermacam-macam itu (selain kelompok 
islam) dengan nama bersama yaitu 'Batta'. Istilah ini pasti berasal dari kata 
'Batak', tapi dalam pendengaran dan ucapan lidah totok seorang Inggris berubah 
jadi 'Batta'. 'Batak' adalah nama julukan terhadap orang-orang atau entitas 
orang-orang kafir tak ber Tuhan bukan islam, ketika itu orang Karo, Toba, 
Simalungun dan sebagian Pakpak atau Mandailing. Mereka ini tak berTuhan tapi 
berDibata (Karo) atau Debata (Toba,Simalungun) . Asal usul kata dari bahasa 
Sanskrit yang di Bali dikatakan Dewata. Orang-orang Dibata/Debata ini adalah 
kafir pemakan babi dijuluki sebagai kelompok 'Batak' oleh orang islam, dan 
dengan lidah Inggris jadi 'Batta' dan yang kanibal, artinya bagi orang Inggris 
Anderson bukan hanya pemakan babi tapi juga pemakan orang. Istilah 'Batak' atau 
'Batta' jadi nama bersama orang-orang berDibata, satu kesatuan tersendiri dari 
pihak islam maupun dari orang Barat bahkan sampai kezaman kolonial Belanda dan 
juga termasuk demikian dalam ajaran antropologi kolonial. Antropolog orang 
Batak 
Amir Nadapdap bahkan mengatakan Gayo dan Alas sebagai Batak, dpl Batak Gayo dan 
Batak Alas. Sebaliknya antropologi Aceh mengatakan Aceh Gayo dan Aceh Alas, 
atau 
yang lebih tak mengenakkan lagi ialah dengan mengatakan Gayo dan Alas sebagai 
sub-etnis Aceh dan yang lainnya sub-etnis Batak. Ini jelas menunjukkan 
perkembangan pikiran expansionis etnis-etnis mayoritas dominan atas existensi 
etnis minoritas yang umumnya berada diluar kekuasaan atau berada dibawah 
dominasinya, dimasa nation state post kolonial sampai sekarang era reformasi, 
era yang menuntut perubahan radikal dalam hubungan saling mengakui dan saling 
menghormati, 'berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah' sesama etnis dalam 
nation multi etnis seperti Indonesia. 

Salah satu diantara kelompok yang dijuluki 'Batak' atau 'Batta' sampai sekarang 
masih mempertahankan sebagai Batak yaitu orang Toba. "Namun dalam kenyataannya, 
orang Karo dan Mandailing menolak disebut Batak. Mereka mengaku sebagai orang 
Karo dan orang Mandailing, dan sama sekali bukan Batak. Demikianlah, istilah 
Batak kini mengacu kepada Batak Toba. Jadi, dalam pembica-raan awam, orang 
Batak 
adalah orang Batak Toba, bukan Batak yang lain." (Kompas, Selasa, 2 Juli 2002) 

Salah satu entitas diantara 'Batta Cannibal States' adalah Karo, satu suku 
bangsa peninggalan entitas Haru state, sekarang terpencar atau terpusat sekitar 
Sumtim, Dairi Karo, Aceh Tenggara dan Langkat. Satu entitas struktur budaya dan 
kultur tak terpisahkan dari existensi sejarah budaya dan kulturnya serta 
filsafat hidupnya, dari way of thinking yang sangat dialektis sebagai tempat 
lahir pertama dialektika dalam kehidupan (pikiran) dan dalam hubungan dengan 
alam. 


MUG 






      

Kirim email ke