On Sat, Oct 15, 2005 at 11:11:20PM +0700, Priyadi Iman Nurcahyo wrote: > hmmm, IMHO masalahnya lebih kepada kita sendiri. yang disebut 'mereka' itu > lebih kepada perusahaan asing daripada negara asing secara keseluruhan.
per-definisi iya. kita sering terjebak di ruang intelektualitas kita sendiri sehingga tidak lagi bebas berekspresi hi..hi.. contoh sederhana, adi anggota DPR, mengadakan kunjungan studi banding ke negeri ndiwek. ambil anggaran negara, padahal setelah di sana punya agenda bisnis pribadi. contoh lain, adi seorang pengusaha besar pemungut puntung rokok, dengan kekuatannya (duit) adi berhasil melobby DPR/pemerintah untuk menyusun undang-undang expansi monopoli pemungutan puntung rokok se asia tenggara. dll..dll.. siapa sih yang melakukan explorasi minyak di timur tengah? siapa 'mereka' itu? :-) bisa dipahami kalau pemikiran saya tidak sama dengan seruan semacam 'ganyang silicon valley', bukan? ok. itu satu sisi. sekarang dari pada buruk rupa cermin dibelah, kita lihat dulu siapa 'kita'. > perusahaan eksis untuk berlomba mendapatkan keuntungan, bukan berlomba untuk > berbuat sesuatu demi bangsa ini. kalau kitanya sendiri mengizinkan mereka > untuk berbuat tidak baik, ya mereka akan lakukan untuk memaksimalkan > keuntungan mereka. kalau kita bisa disogok, mereka akan menyogok kita. nah itu dia. tapi, kondisi ini tidak mempengaruhi evil-nya-evil ('mereka') bukan? yang terjadi adalah tumbu-oleh-tutup. ya kita beresin itu. buat aturan main (UU) yang jelas. beri jalan kepada rakyat untuk membubarkan institusi secara legal. tidak main petak-umpet seperti sekarang, yang sudah seringkali kita dengar: - kita serahkan semuanya kepada aparat penegak hukum - kita harus menghormati supremasi hukum, dan menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum yang berlaku - dll wis. ngono thok. titik. jadi, kita benahi di dalam. kita mulai dulu dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri untuk mencegah evil-nya-evil itu masuk. sementara kita selesaikan juga masalah di dalam. jangan sampai kita 'terjerembab' oleh logika kita sendiri. adi ya adi, dia tetap adi sebagai bapaknya kristi yang seringkali sok menasehati, dan dia tetap adi waktu menjalankan mobil melewati jalan tol di bahu jalan. kalau dia terpilih jadi gubernur dia masih tetap adi, jadi tidak perlu berbicara sok normatif (ngomong soal supremasi hukum misalnya) tapi aslinya bulus. tidak perlu melakukan aksi tutup mulut sewaktu jadi sekjen apjii (misalnya) berdalih tidak layak untuk konsumsi publik, atau adi yang jadi bungkam gara-gara MoU. ya adi tetap adi. kalau ada aturan main yang membuat adi jadi naif gitu ya kita ganti aturannya. keep it small and simple. kita ini kan sekarang hidup di dalam/sebagai, katakanlah, naive society :-) selalu berkedok dibalik kesantunan, salah-salah menyatakan apa yang benar bisa dianggap tidak santun :-) ini kan keblinger society namanya. ujung-ujungnya ya bisa ditebak, emosi berlebihan (destruktif), merasa gagah dengan lenggang kangkung keluar sidang DPR, main gebrak-gebrakan meja, lempar-lembaran duit .. eh.. kursi. menjunjung tinggi falsafah diam itu emas (no komen). disuruh memberikan aspirasi tapi ke depan, samping kiri kanan, belakang, atas bawah ketemu jalan buntu semua. tiba-tiba main pat-gulipat menelorkan pemalakan bandwidth 20%, tiba-tiba ada peraturan yang menyerahkan pengurusan domain kepada bapak dukuh patangpuluhan (itu tempat tinggal saya di yogya, maksudnya patangpuluhan kilometer dari yogya he..he.. j/k). itu satu sisi, yang jelas kepentingan untuk bisa mengelola sumber daya alam kita yang sudah mefet, sudah di depan mata. sebelum kita bisa lepas dari naive/keblinger society *) ya jangan biarkan evil-nya-evil itu masuk. (mestinya ....). Salam, P.Y. Adi Prasaja *) bukannya karena jebakan (berkedok) intelektual ini yang membuat kita seringkali kesulitan memberantas korupsi di negara kita?