On 10/26/05, adi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> > Punya data soal ini? Atau hanya menduga?
>
> berapa uang gedung masuk ITB, berapa uang SPP, berapa total mahasiswa
> yang ditampung, berapa yang dibantu. silakan sebutkan saja Pak.

Wah saya tidak punya data statistiknya. Jadi apa yang saya omongkan
memang tidak ilmiah. Tapi dari hasil bergaul dengan mahasiswa
saya melihat bahwa sebagian besar mahasiswa saya adalah dari
golongan menengah.

Orang mengira bahwa "angkatan 45" (yaitu yang bayar Rp 45 juta)
di ITB adalah yang dominan. Atau dengan kata lain, mahasiswa ITB
termasuk golongan orang kaya. Ini tidak benar, kecuali (mungkin,
mungkin lho) yang di SBM (School of Business & Management) yang
baru dibentuk itu.

Uang SPP saya juga tidak tahu. Nanti saya cari tahu.
Kalau mahasiswa bimbingan saya, saya tahu. SPP-nya Rp 700 ribu/
semester. Tapi dia termasuk angkatan lama yang harus lulus
tahun ini.


> > Dalam satu kuliah saya, pernah saya mengajak mahasiswa untuk
> > Ada mahasiswa ITB yang hanya makan 2 atau bahkan 1 kali sehari.
>
> saya dulu makan nasi kucing Rp 150,- satu kali sehari (malam, biar bisa
> tidur) supaya masih bisa bayar Rp 500,- per jam di rental komputer,
> indekos Rp 12.500,-, bayar spp Rp 115.000,-, bayar uang gedung Rp 0,-
> itu karena saya di fakultas kedokteran, kalau di teknik lain lagi,
> fisipol lain lagi, kemungkinan lebih murah.

Nah, semangat juang yang kayak gini kurang :(
Saya juga dulu waktu belajar komputer, basisnya adalah majalah yg
dibeli di emperan loak Cikapundung. :)


> sekarang bisa gitu? turu kebon ... lantas orang mencari excuse bahwa
> dulu murah kan karena disubsidi. lah .. subsidi itu sudah dipakai berapa
> puluh tahun.

Coba cek di luar negeri deh. Apa ada perguruan tinggi yang
pemasukan utamanya hanya dari SPP? Saya tidak punya referensi
lengkapnya, tapi ketika diskusi di kampus ada yang menyebutkan
referensinya, maksimum dari SPP itu hanya cover 20% biaya operasional.

> itu soal subsidi, belum soal hak
> eksklusif PTN, yang sudah jadi anggota DPR/MPR masih membimbing
> mahasiswa,

memang sulit juga. tadinya saya termasuk yang sebal dengan orang
kampus yang jadi anggota DPR/MPR (atau di birokrasi lainnya).
tapi ternyata cari orang yang memiliki logika itu susah.
(saya gak ngomong soal integritas dan moral lho.)
makanya terpaksa pakai orang kampus.

saya sering mengusulkan di kampus soal gaji dosen yang harus
disesuaikan dengan beban kerja dia. kalau dia gak di kampus,
ya semestinya gak digaji! tapi ternyata mentah karena yang
namanya PNS :(


> berikut anomali lain, tapi tetap statusnya diatas
> 'disamakan'. mestinya statusnya diganti 'diridhoi' :-) belum bbrp guru
> besar yang untuk memenuhi statuta PTS, namanya dipajang, dan tetap ada
> embel-embel 'profesor'.

saya tidak tahu prosentase yang seperti itu, tapi saya
akui bahwa itu ada!

tapi jangan lupa juga ada banyak dosen yang saya tahu yang
seharusnya kalau di luar negeri sudah bisa jadi profesor
akan tetapi di sini tidak bisa karena ... (banyak hal).
saya tahu banyak kawan yang tetap golongan IIIa meskipun
telah belasan tahun mengajar.
(saya pernah dimarahi oleh seorang profesor yang memang
benar2 profesor, bukan sekedar nama. pasalnya, saya bilang
ke dia, saya gak peduli dengan keprofesoran dll.
dia mengatakan bahwa saya tidak boleh tidak peduli.
ada benarnya. tapi saya sudah muak dengan sistem kepangkatan,
gelar, dsb.)
seorang kawan, dosen, masih tetap kebingungan cari kontrakan.
dia masih belum sanggup membeli/mencicil rumah.

jadi lihatlah dari dua sisi.

> ada dosen yang +/- setahun ndak pernah ke kampus tapi kerja di
> perusahaan swasta. upss.. ini case-by-case ya hi..hi..

yup. ada. tapi ...
di Silicon Valley pun begitu mas :)


gini deh. coba mas adi jadi dosen di PTN selama 10 tahun!
cobain deh. :-)
saya sering ketawa melihat orang2 yang hanya ngasih seminar
satu dua kali kemudian mengatakan bahwa mengajar itu gampang.
setelah disuruh ngajar penuh 1 tahun, baru kerasa dia :)
komitmen mengajar itu *susah*!


> Tapi bagaimana
> pengentasan Indonesia dari kondisi yang sekarang. CMIIW, seperti yang
> saya sudah berkali-kali bilang: kalau cuman jadi *kacung* IT di SV,
> Indonesia akan tetap terpuruk. Indonesia bisa bangkit dengan
> pemberdayaan UKM dan sektor pertanian, sukur-sukur bisa merambah export.
> seyogyanya semua resources, termasuk perguruan tinggi, mengarah ke situ.

Mimpi kali ya? ;-)
Bukannya saya tidak setuju dengan pemberdayaan UKM dan sektor
pertanian, tapi agak lucu kalau saya ngomong soal pertanian.
Lain halnya kalau IPB yang ngomong soal pertanian.
Itu baru kompeten.

Tahun lalu saya terlibat diskusi di kampus ITB yang intinya
mengatakan bahwa sektor pangan itu penting. Tapi mosok ITB
mau terjun juga ke pertanian? Nanti dikira rakus mau semua
bidang. Tapi saya bilang, ya kalau memang negara membutuhkan
mengapa tidak?


> > Pengalaman saya di luar, kerja dan hobby bisa blur.
> > Saya masih ingat suatu saat lagi jalan-jalan di Silicon Valley.
>
> saya sedang tidak berbicara sebagai adi atau budi rahardjo sebagai
> pribadi. tetapi Indonesia sebagai civil society, punya/butuh aturan main
> untuk itu.

apakah di Amerika juga tidak ada aturan main?
di sana pun ada aturan main, tapi orang tidak uplek ngurusin
aturan main sehingga lupa soal kerjaan sesungguhnya.

di buku thomas friedman ada analogi yang lucu soal negara2.
saya ambil seingatnya ya. dia ambil contoh kalau negara2 itu
menjadi satu kota, apa cirinya?

cina: aturan main gak jelas. tapi jalan gak ada yang bolong,
lampu penerangan pinggir jalan gak ada yang mati. dll.
india: aturan main, sangat jelas. bahkan polisi sangat pegang
aturan main. tapi jalan bolong-bolong, lampu pinggir jalan
gak ada yang ngurusin.

mungkin bisa kita tambahkan ya,
indonesia: aturan main gak jelas, jalan bolong2, dan lampu
kagak ada yang bener nyalanya? tragis.

> > Waktu di Canada pun saya kerja melebihi requirement.
> > Bahkan sebelumnya saya kerja voluntir, yang tentunya tanpa
> > digaji. Tujuannya hanya satu: get the job done!
>
> ini non-sense untuk pemberdayaan Indonesia.

justru di sinilah letak kesedihan saya.
katanya sifat 'gotong royong' merupakan ciri orang indonesia.
pada kenyataannya di luar negeri, tanpa digembar-gemborkan,
semangat itu ada!

orang pikir negara maju pasti punya dana besar dan semua berjalan
dengan aturan yang baik. ndak juga. saya masih ingat kawan2
membantu menetworkkan public library dengan komputer2 bekas.
nggak nunggu adanya dari government.
get the job done!

kalau di indonesia, begitu diajak voluntir ... ngabur deh.
(mas adi mungkin bisa merasakan ketika ngajak groups.or.id :)
begitu diajak kerja, nanya dulu ... dibayar berapa.

> > Problemnya, lagi-lagi ... kebanyakan orang hanya berteori alias
> > ngomong doang. Tidak banyak orang yang rajin menghasilkan isi
> > (content) secara lokal.  Detik.com merupakan salah satu yang
> > konsisten.  Itulah sebabnya mereka berhasil.
>
> untuk penyamaan visi orang ya harus ngomong Pak. sesekali coba datang
> ke, misalnya, kalsel, susuri jalan antara banjarmasin - kota baru, kalau
> mulai ada yang hijau-hijau, cari puskesmas.

he he he. belum tahu kalau saya jalan-jalan juga kan? ;-)
problem di daerah, memang lain lagi.
pemahaman saya, problem yang akut di daerah itu: KKN (dalam konotasi
yang kurang baik), khususnya dalam hal kekeluargaan/nepotisme.

tapi saya kan tidak bercita-cita meng-silicon-valley-kan
semua daerah di Indonesia? di Indonesia paling banter juga
punya 1 silicon valley.

> nah kalau ada anak-anak muda
> main gitar di situ, seperti rumah biasa, cuman ada plang-nya thok yang
> membedakan dari rumah yang lain, jangan kaget kalau yang satu lulusan
> akademi gizi, satunya akademi kesehatan lingkungan. nah .. kalau sudah
> sampai ke situ, kumpulin orang-orang sekitar, saya kasih tahu dulu,
> capek lho Pak, jarak rumahnya *jauh-jauh*, setelah semua terkumpul
> bilang ke mereka: GET THE JOB DONE!

yang ini problemnya lain: orang2nya MALES!

tapi apakah ini hanya terjadi di Indonesia?
ternyata tidak. coba saja pergi ke "kampung2" di luar negeri.
sama saja, mas! di sana juga gitu.

(contoh kasus: lihatlah New Orleans dan hurricane kemarin!)
pemalas, dead beat, tukang mukulin istri, banyak juga di Amerika.
dan tentu saja di India, Cina, Vietnam, dan seterusnya.


> jangan terlalu banyak bersemedi, nanti ilmu ginkangnya terlalu tinggi
> jadi susah menjejakkan kaki ke bumi. masalah di Indonesia has nothing
> todo with silicon valley. kecuali kita sedang membicarakan negara antah
> berantah yang lain.

he he he. mas adi kan nggak tahu kalau saya juga "jalan" :)
tapi kan kalau ke pelosok nggak usah cerita2 lah.
(saya juga mempraktekkan hal2 sosial yang tidak ada hubungannya
dengan teknologi, tapi itu bukan bahasan di milis ini kan?)
saya cukup membumi kok. apa yang saya ceritakan tidak hanya
teori yang ngawang2. ya saya paham banyak selebriti (including
IT celebrity) di Indonesia yang kepakarannya hanya bermodal
teori (baca majalah kali?). saya termasuk yang ikutan mencoba
turun. get my hands dirty.

back to the original topic.

Gini. Amerika pun hanya punya 1 (baca: SATU) Silicon Valley.
Mereka pun punya masalah kemiskinan, pembodohan sekolahan, dll.
Orang2 di SV pun menerima kritikan, masalah di Amerika has
nothing todo dengan Silicon Valley.
Sama seperti di Indonesia. Tapi toh Silicon Valley jalan.

Contoh lagi. India. Yang tinggal di Bangalore pun hanya sebagian
kecil dari India. Yang namanya melarat itu lebih dari Indonesia.
Coba aja bandingkan New Delhi dan Jakarta. Jauh... New Delhi
tertinggal. Mereka pun punya banyak masalah yang have nothing
todo dengan Bangalore.
World Bank memiliki data berikut.
China:
   1990 - 375 juta rakyat di bawah kemiskinan (didefinisikan
   dengan hidup di bawah $1/hari)
   2001 - 212 juta
   2015 - diperkirakan hanya tinggal 16 juta di bawah poverty
India (+ Pakistan dan Bangladesh?)
   1990 - 462 juta
   2001 - 431 juta
   2015 - 216 juta
Afrika, lebih parah. Bukannya berkurang ... malah nambah
jumlah penduduk yang dihidup di bawah kemiskinan. :(
It's sad.

Perhatikan bahwa jumlah orang miskin di sono masih lebih jauh
daripada di Indonesia. Jadi jangan bilang bahwa masalah di
Indonesia lebih berat daripada masalah di China dan India.
Toh, mereka tetap memiliki pusat teknologi di Bangalore,
Mumbai, Beijing, Shanghai, ...
Mereka tidak merengek-rengek, tapi: GET THE JOB DONE.

Kalau kita bicara masalah, maka Amerika/India/China semua sama.
Mereka juga punya masalah besar seperti kita, yang juga jauh
dari teknologi.

Tapi, tetap ada orang2 (sedikit) yang tetap memikirkan bagaimana
cara memajukan Silicon Valley, Bangalore, ... dll.
Tujuannya memang bukan untuk *pemerataan* di seluruh negara.
( Kadang-kadang saya berpikir bahwa orang2 sering memikirkan
pemerataan, tapi justru pemerataan kemiskinan :(  )
Bagaimana tech area ini bisa ikut menyumbang pemasukan (devisa)
bagi negaranya?

Bukan kita tidak memikirkan masalah lain di Indonesia.
Justru kita pikirkan adalah, kemampuan apa yang kita miliki
yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi masalah.
Kebetulan kita2 ini memiliki latar belakang kemampuan IT.
Apa yang bisa kita manfaatkan? Kirim body bags ke LN?
Atau ... main gitaran saja di pinggir jalan dan ngedumel
orang2 pertanian nggak mikirin soal impor beras, dsb?


Mudah-mudahan paham maksud yang ingin saya sampaikan.
(Terus terang saya masih mengalami kesulitan mengkomunikasikan
apa yang saya maksud melalui tulisan. Harus banyak belajar.)

-- budi

Kirim email ke