Tak terasa umurnya TL ITS pada khususnya dan ITS pada
umumnya udah hampir dewasa atau dapat dikatakan udah 
tua tetapi dari hasil survey dibawah ini nama ITS koq
kaga' ada baunya sama sekali ya ????.

* Ngomong ngomong ITS itu ada kaga' ya ????????
* Dimana ya lokasinya ????
* ITS itu swasta apa negri ya ?
* Apakah udah ada alumninya ????

Pertanyaan diatas sering didengar oleh saya dan
beberapa temen saya ex alumnus ITS jika kita bekerja
didaerah jawa barat, jakarta dan luar jawa .
Apakh anda sering juga mendapat pertanyaan seperti
diatas  ?????


Dari bekas mahasiswa yang turut prihatin dan sering
mendapat pertanyaan seperti diatas.

------------------------------------------------------
        


Senin, 31 Juli 2000

        Potret Buruk Perguruan Tinggi Kita
        Oleh Otto Soemarwoto

        NEGARA kita sedang terpuruk amat parah. Ekonomi kita
        morat-marit. Politik kita amburadul. Setiap hari cuma
berita
        para elite politik yang saling menuduh dan saling mau
        menjatuhkan. Budaya kita lebih parah lagi. Kita telah
menjadi
        bangsa yang biadab. Membunuh dan membakar. Di Ambon,
Aceh,
        Jabotabek dan tempat lain. Istri membunuh suami,
suami
        membunuh istri, ayah memperkosa anaknya sendiri.
Lebih sadis
        lagi, pencuri dibunuh dan dibakar. Ada pula korban
yang
        tubuhnya dipotong-potong. Penyalahgunaan narkoba
makin marak.

        Daftar keterpurukan dapat diperpanjang lagi. Rasanya
tak ada
        lagi yang dapat kita banggakan. Bahkan malu rasanya
jadi orang
        Indonesia, apalagi kalau sedang di luar negeri.
Bayangkan, di
        mana muka kita harus disembunyikan waktu ditanya, apa
yang
        terjadi di Ambon? Mengapa penjambret dikeroyok dan
dibakar?
        Apa tidak ada polisi?

        Dalam keadaan terpuruk ini, eh muncul lagi berita
memalukan
        tentang perguruan tinggi kita. ASIAWEEK edisi 30 Juni
        melaporkan peringkat tahunan universitas di Asia,
Australia
        dan Selandia Baru. Dari 77 peserta universitas
multidisiplin
        UI menduduki peringkat 61, UGM 68, Undip 73 dan Unair
75. Dari
        39 universitas Science and Technology ITB menduduki
peringkat
        21. Peringkat UI, UGM dan ITB sebenarnya terkatrol,
karena
        salah satu kriteria peringkat ialah peringkat pilihan
oleh
        calon mahasiswa (student selectivity), yaitu
peringkat UI 5,
        UGM 6, dan ITB 1.

        Memang universitas-universitas ini merupakan
universitas
        favorit. Untuk sekadar menghibur diri, ITB kedudukan
        peringkatnya kira-kira di tengah, lumayanlah
dibanding dengan
        universitas multidisiplin kita yang menduduki buntut
daftar
        peringkat. Penghibur lara lain ialah ada kenaikan
peringkat
        dibanding dengan 1999. UI dari 70 menjadi 61, Undip
dari 77
        menjadi 73 dan Unair dari 79 menjadi 75. Tetapi pada
lain
        pihak peringkat UGM turun dari 67 menjadi 68 dan ITB
dari 15
        menjadi 21.

        Bandingkan peringkat itu dengan universitas di
Malaysia yang
        dulu meminta bantuan kita dengan pinjaman dosen kita,
        University of Malaya 47, Putra University of Malaysia
52,
        Science University of Malaysia 57. Semuanya di atas
kita, juga
        di atas UI yang kita anggap terbaik. Lagi sekedar
pelipur
        lara, ITB dengan peringkat 21 masih di atas
Technological
        University of Malaysia dengan peringkat 30. Tetapi
        dibandingkan dengan Singapura bedanya selangit,
National
        University of Singapore peringkatnya 5 dan Nanyang
        Technological University 9. Peringkat pertama
universitas
        multidisiplin diduduki oleh Kyoto University (Jepang)
dan
        dalam kelompok Science and Technology oleh Korea
Advanced
        Institute of Science & Technology (Korea).

        Jelas ada masalah serius dengan pendidikan tinggi
kita.
        Anggaran belanja adalah salah satunya. Dengan ekonomi
kita
        yang morat-marit, pemerintah tak dapat memberi
anggaran yang
        memadai. Tetapi lihatlah, misalnya, India yang
melarat.
        Jawaharlal Nehru University menduduki peringkat 40.
Juga di
        Filipina, University of Philippines peringkat 48.
Keduanya di
        atas UI. Dalam kelompok Science and Technology
lebih-lebih
        lagi. Indian Institute of Technology of Bombay,
Indian
        Institute of Technology of Delhi, dan Indian
Institute of
        Technology of Madras, menduduki peringkat 3, 4, dan
5, di
        bawah Korea Advanced Institute of Science &
Technology
        (peringkat 1) dan Pohang University of Science and
Technology,
        Korea (peringkat 2).

        Memang untuk adilnya harus juga dilihat peringkat
anggaran
        belanjanya (financial resources), peringkat
Jawaharlal Nehru
        University 33, University of the Philippines 67 dan
UI 76.
        Jadi UI paling rendah di antara ketiganya. Indian
Institute of
        Technology, Bombay, peringkat anggarannya 8, Delhi,
13 dan
        Madras 14, ketiganya jauh lebih tinggi di atas ITB
yang
        peringkatnya adalah 33. Pada lain pihak ini juga
menunjukkan
        bahwa India dan Filipina, yang sama-sama melaratnya
seperti
        Indonesia, bersedia untuk memberi anggaran yang lebih
baik
        kepada universitasnya daripada kita, sebuah indikator
sikap
        kita yang tidak menghargai universitas dan pendidikan
pada
        umumnya.

        Universitas adalah pusat pengembangan ilmu. Karena
itu riset
        merupakan tugas yang sangat penting. Dalam hal ini
peringkat
        UI adalah 77, UGM 69, Undip 59 dan Unair 75. UI
menduduki
        peringkat terendah dari semua universitas. Di luar
dugaan UI
        juga menduduki peringkat terendah dari keempat
universitas di
        Indonesia. Dalam hal riset Undiplah yang paling jago.
        Peringkat University of Malaysia 64, Putra University
of
        Malaysia 49 dan University of the Philippines 60.
Semuanya di
        atas UI, tapi di bawah Undip (kecuali Putra
University
        Malaysia). Dalam hal riset peringkat ITB adalah 21,
di atas
        Technological University of Malaysia dengan peringkat
36,
        tetapi jauh di bawah Bombay (peringkat 3), Delhi (5)
dan
        Madras (10).

        Indikator kualitas riset yang penting dan obyektif
ialah
        dirujuknya hasil riset dalam jurnal ilmiah
internasional
        (citations in international journals). Dalam hal ini
dari 77
        universitas, UI menduduki peringkat 71, UGM 76, Undip
75 dan
        Unair 77. Dalam kelompok Science and Technology dari
39
        universitas peringkat ITB ialah 36. Jadi kelima
universitas
        kita betul-betul di buntut daftar peringkat, yang
menunjukkan
        bahwa kualitas riset universitas kita sangatlah
rendah
        dibanding dengan universitas lain di Asia, Australia
dan
        Selandia Baru. Bahkan di Banglades yang amat melarat
        Universitas of Dhaka peringkat citation index-nya di
atas
        kita, yaitu 66. Sungguh menyedihkan.

        Masalah budaya

        Beberapa sebab utama dapat diidentifikasi. Anggaran
belanja
        adalah salah satunya. Penyebab lain ialah gaji yang
rendah.
        Namun di Filipina dan India gaji juga rendah. Toh
mereka
        menduduki peringkat yang lebih tinggi daripada kita.
Pada kita
        nampaknya ada masalah mendasar, yaitu belum
membudayanya ilmu
        dan teknologi dalam kehidupan akademik kita. Prestasi
jabatan
        birokrasi lebih dihargai daripada prestasi ilmiah.
Orang lebih
        bangga menjadi ketua jurusan, dekan dan rektor,
apalagi
        direktur jenderal dan menteri daripada menjadi
seorang
        ilmuwan.

        Jabatan itu memang penting dan membutuhkan
orang-orang pandai.
        Tetapi orang lalu merangkap-rangkap. Ketua jurusan,
dekan dan
        rektor ada dalam lingkup universitas dan masih dapat
dirangkap
        dengan mengajar dan melakukan riset. Tetapi jabatan
di luar
        universitas merupakan jabatan full time. Akibatnya
orang
        datang ke universitas hanya pada hari Sabtu saja. Tak
ada
        waktu untuk menyimak literatur baru dan membacanya.
Tak ada
        waktu untuk mempersiapkan kuliah. Tak pula ada waktu
untuk
        berdiskusi dengan mendalam tentang perkembangan ilmu
dan
        risetnya.

        Insentif untuk berkarya ilmiah memang sangat lemah.
Sistem kum
        kita malahan merupakan disinsentif untuk berkarya
ilmiah yang
        bermutu. Hasil akhir riset adalah publikasi, baik
yang
        bersifat teoretis maupun praktis. Tetapi riset kita
sebagian
        besar adalah riset pesanan dari pihak luar, baik
instansi
        pemerintah ataupun perusahaan. Lagi pula banyak orang
yang
        merangkap melakukan beberapa riset sekaligus.
Pembuatan
        laporan riset sekadar memenuhi pesan sponsor. Tak ada
atau
        sedikit sekali usaha untuk menganalisis datanya
dengan
        mendalam dan menulisnya dalam bentuk publikasi yang
bermutu
        dengan merujuk literatur mutakhir. Atau hanya
dipublikasi
        dalam jurnal lokal, kebanyakan dalam bahasa Indonesia
dengan
        ringkasan dalam bahasa Inggris. Walaupun jurnal itu
telah
        diakreditasi oleh Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti),
tetapi
        jurnal itu tidak dikenal dunia internasional.
Ujung-ujungnya
        publikasi itu tidak dirujuk di jurnal internasional.

        Walaupun publikasi dalam jurnal ilmiah internasional
diberi
        nilai dalam kum, jauh lebih mudah untuk mempublikasi
di jurnal
        lokal. Di jurnal internasional ada tim referie yang
anggotanya
        adalah ilmuwan ternama dalam bidang yang bersangkutan
sehingga
        benar-benar mampu menilai apakah sebuah karya ilmiah
pantas
        untuk diterima. Kriterianya ialah apakah karya itu
bersifat
        mutakhir yang mengharuskan penulisnya menguasai
literatur
        internasional terbaru.

        Gambaran yang amat bagus tentang proses riset sampai
pada
        publikasinya terdapat dalam buku The Double Helix
karangan
        Watson, seorang pemenang hadiah Nobel. Buku ini
menuliskan
        pacuan untuk menemukan struktur DNA. Proses itu tidak
mudah,
        memakan waktu penuh dan pikiran serta menegangkan.
Pacuan
        demikian tak ada di dunia ilmiah kita. Orang lebih
memilih
        mempublikasi di jurnal lokal yang syaratnya tidak
berat. Kini
        malahan banyak ilmuwan yang memilih untuk menjadi
pengamat
        atau ikut dalam talk show di TV.

        Seminar yang merupakan ajang berdiskusi dan
mengembangkan
        pikiran baru telah mengalami degradasi menjadi sarana
untuk
        mengumpulkan sertifikat untuk kum. Sering terjadi
penyajian
        makalah seperti memutar sebuah tape, saja, yaitu
makalah yang
        sama disajikan di mana-mana. Jarang sekali makalah
dikaji
        dengan cermat, dipilih dan disunting untuk
dipublikasi.
        Akibatnya laporan seminar kebanyakan juga tidak
bermutu.

        Universitas adalah tempat untuk menghasilkan pemikir
dan
        perintis kemajuan ilmu dan teknologi. Tanpa
sumberdaya manusia
        yang bermutu dalam riset dan teknologi kita akan
makin
        ketinggalan dalam persaingan global yang makin
terbuka. Dalam
        era globalisasi jika ketinggalan kita terus
berlanjut, otonomi
        universitas dengan salah satu tujuan untuk
memperbesar sumber
        keuangan akan gagal pula, karena dunia bisnis akan
memberikan
        kontrak risetnya kepada universitas yang lebih baik.

        Tugas Ditjen Diktilah untuk meninjau kembali sistem
kum agar
        tercipta instrumen insentif-disinsentif untuk
mendorong para
        dosen berkarya ilmiah yang bermutu. Sistem kum itu
harus
        mengandung unsur persaingan yang ketat tetapi sehat.
"Publish
        or perish" adalah salah satunya.

        Yang lain, seperti dilakukan oleh banyak universitas
di luar
        negeri, ialah lowongan dosen mulai dari asisten
sampai guru
        besar diisi dengan diiklankan sehingga terjadi
persaingan.

        Kita bangga pada UI, ITB dan Gadjah Mada. Tetapi
serentak
        dilihat secara regional, ternyata hanya jago kandang.
Namun
        pantaslah kita menghargai ITB, UI, UGM, Undip dan
Unair yang
        bersedia dievaluasi dan dibandingkan dengan
universitas lain
        di Asia, Australia dan Selandia Baru. Hasil peringkat
itu
        dapat menjadi cambuk untuk memperbaiki diri.

        (* Otto Soemarwoto, guru besar emeritus
           Universitas Padjadjaran, Bandung)


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Kick off your party with Yahoo! Invites.
http://invites.yahoo.com/

Kirim email ke