Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html

BBM NAIK, LALU APA?

Wacana seru kenaikan harga BBM sebenarnya sudah berlangsung bertahun-
tahun lamanya, bahkan sudah sejak menjelang kejatuhan Suharto di 
tahun 1998 lalu. Kini pemerintah SBY-JK mengumumkan akan menaikkan 
harga BBM pada bulan Juni 2008. Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM 
atau dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah barangkali 
menggambarkan carut-marutnya pengelolaan negeri ini, meskipun 
katanya negeri ini sudah direformasi.

Contoh pahit akibat dari kenaikan BBM sudah kita alami pada akhir 
jaman Suharto dulu. Kenaikan BBM menjadi salah satu faktor yang 
menentukan dan mempengaruhi faktor lainnya dalam kekacauan yang 
mengiringi jatuhnya Suharto. Begitu juga ketika pemerintahan Gus Dur 
menaikkan BBM pada tahun 2001. Kenaikan BBM sering disederhanakan 
menjadi soal populer atau tidak populer sebuah pemerintahan sehingga 
sering digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan sebagai 
justifikasi. Padahal kenaikan BBM seharusnya bisa dilihat penguasa 
sebagai kesempatan untuk menunjukkan tanggungjawab mereka pada 
negeri ini sekarang dan di masa depan. 

Meski sudah lebih dari 10 tahun wacana seru kenaikan BBM 
berlangsung, tetapi rencana menaikkan BBM saat ini masih tetap 
menimbulkan gonjang-ganjing, kebingungan, kepanikan, keputusasaan, 
kemarahan, di semua lapisan masyarakat dan yang mungkin akan 
bermuara pada kekacauan lagi.

Di berbagai media, sudah banyak macam-macam ahli atau ekonom yang 
menyatakan pendapatnya mengenai kenaikan BBM. Nampaknya lebih banyak 
ekonom yang menyatakan BBM harus naik. Sekedar mengambil contoh, 
Faisal Basri adalah seorang yang setuju BBM harus naik. Sementara 
itu Rizal Ramli malah tidak setuju, meski di tahun 2001 lalu ketika 
ia menjadi menko perekonomian di pemerintahan Gus Dur, ia menaikkan 
BBM. Pendapat manakah yang benar? Bagaimanakan mengukur mana yang 
lebih sahih, sehingga layak dijadikan patokan? Saya tidak tahu, 
begitu juga masyarakat, karena bukan ahli atau ekonom. Apalagi 
sering juga wacana-wacana seperti itu ditunggangi kepentingan 
politik. Saya hanya tukang potret situasi saja. Tetapi saya mengira, 
dua-duanya memang benar, sehingga istilah yang dulu populer 
dikenakan pada Suharto ketika menaikkan BBM, yaitu "maju kena, 
mundur kena" juga cocok dikenakan pada SBY-JK yang meski di tahun 
2005 lalu juga sudah menaikkan BBM, tetapi dapat selamat dari 
gonjang-ganjing.

Rakyat kurang mampu untuk mengukur kebijakan mana yang mana yang 
lebih sahih untuk diambil. Namun rakyat bisa merasakan di tiap 
keputusan yang diambil, apakah pemerintah peduli pada rakyat. Adakah 
strategi pro rakyat yang mengiringi ketika kebijakan menaikkan BBM 
ini diambil?

Beberapa argumen dari Rizal Ramli yang menolak kenaikan BBM 
sesungguhnya bisa digunakan SBY-JK untuk menjadi sebuah strategi 
yang mengiringi kebijakan kenaikan BBM supaya bisa menjadi kebijakan 
pro rakyat 
(http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=876 ). 
Tanpa strategi ini, pemerintah SBY-JK akan terkesan tidak mau 
bekerja keras dan tentu saja tidak pro rakyat sebagaimana sudah 
dituduhkan sejak ingkar janji kampanye pemilu pada tahun 2005 untuk 
tidak akan menaikkan BBM. 

Pemerintah harus serius menunjukkan pada rakyat langkah-langkah yang 
pro rakyat, seperti memberantas korupsi. Jangan lagi mengeluarkan 
pernyataan kontra-produktif seperti yang baru-baru ini SBY lontarkan 
terhadap cara kerja KPK yang baru saja menangkap basah seorang 
tersangka yang anggota DPR, Al-Amin Nasution dengan uang suap di 
tangannya. SBY mengkritik cara yang dilakukan KPK agar jangan 
menjebak katanya. Kritik ini sungguh kontra-produktif dengan gerakan 
pemberantasan korupsi yang cukup gencar dilakukan. Kritik ini 
membingungkan semua orang, mengapa menjebak seorang koruptor dinilai 
salah oleh SBY. Seorang yang bersih, tentu tidak dapat dijebak. 
Hanya koruptor yang bisa dijebak. Lagipula apakah Al-Amin dijebak? 
Tentu bukan, karena Al-Amin dikuntit berbulan-bulan lamanya. 
Sehingga muncul pertanyaan, apakah SBY tidak serius memberantas 
korupsi? Padahal pemberantasan korupsi hampir mencapai sarang 
koruptor di masa ini, yaitu gedung DPR. Barangkali dengan diobrak-
abriknya sarang koruptor di Senayan ini upaya pengembalian dana BLBI 
yang Ratusan Trilyun Rupiah bisa lebih lancar. Bahkan definisi 
korupsi mungkin perlu diperluas menjadi termasuk tidak kompeten 
dalam bekerja, sehingga pengelola kota-kota besar seperti gubernur 
Jakarta perlu dijerat hukuman ketika tidak becus mengelola 
infrastruktur jalan yang selalu rusak atau tidak becus menyediakan 
transportasi umum di ibukota negara. Harusnya mereka tahu, kondisi 
jalan yang hancur dan tidak tersedianya transportasi umum yang layak 
di kota-kota besar bisa mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang 
memboroskan BBM yang amat besar sehingga milyaran rupiah terbuang 
percuma setiap harinya di seantero jabodetabek. 

Langkah-langkah pro rakyat lainnya adalah mereformasi tata niaga 
migas dan menghapuskan mafia impor migas. Juga mengumumkan kepada 
rakyat secara terbuka tentang data produksi Pertamina yang selama 
ini simpang siur alias misterius. 

Jika subsidi BBM dikurangi, maka seharusnya pemerintah juga 
mengurangi subsidi untuk bank rekapitalisasi sebesar Rp.30 Trilyun, 
bagaimana pun caranya. Karena rekapitalisasi hanya dinikmati oleh 
orang-orang yang super kaya. Pemerintah juga harus berusaha untuk 
melakukan restrukturisasi utang luar negeri agar tidak menjadi beban 
terbesar APBN.

Juga harus melakukan efisiensi di semua sektor kegiatan, bahkan 
membuat protokol hemat energi. Lakukan efisiensi anggaran 
kementerian atau lembaga negara, serta BUMN seperti PLN hingga 
sekian puluh persen. Jangan lagi ada cara berpakaian para pejabat 
penyelenggara negara yang ditempeli benda-benda amat tidak penting 
seperti lencana mengkilat keemasan atau atribut-atribut mirip 
kepangkatan seperti di militer. Entah siapa yang memiliki ide konyol 
tolol seperti itu untuk mendandani para pejabat penyelenggara negara 
hingga seperti badut itu. Penghematan ini mungkin bisa menutup 
defisit APBN hingga puluhan Trilyun Rupiah. 

Pemerintah juga harus aktif mengupayakan sumber-sumber energi 
alternatif. Bukan hanya NATO, no action talk only. Konversi BBM ke 
Bahan Bakar Gas (BBG) harus menjadi program utama bukan iseng-iseng. 
Jangan cuma menghambur-hamburkan uang untuk sebuah konferensi 
perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Seharusnya 
konferensi itu bisa menginspirasikan kita untuk membuat protokol 
sendiri untuk bangsa ini dalam melakukan penghematan energi dan dan 
mencegah global warming. Sayangnya setelah konferensi itu pemerintah 
hanya tidur. Tidak ada program yang nyata untuk konversi BBM ke BBG, 
padahal BBG kita melimpah dibanding BBM. Ada tersedia BBG untuk 40 
tahun dibanding BBM yang cuma 10 tahun menurut  John S. Karamoy, 
Direktur Indonesian Petroleum Association, Indonesian Gas 
Association dan president director PT. Medco Energy International 
( http://www.indomedia.com/bpost/092000/24/serba/serba.htm ) Bahkan 
hingga menjelang subsidi BBM akan dicabut pun penggunaan BBG untuk 
kendaraan tetap tidak digalakkan. Konferensi itu nyaris tidak 
berbeda dengan kumpul-kumpul selebritis supaya mendapat coverage 
dari media cetak dan elektronik. Tidak lebih. Padahal seorang 
teknisi mesin industri di kota Bekasi baru-baru ini telah berhasil 
merubah mesin sepeda motornya yang semula mengkonsumsi bahar bakan 
bensin menjadi mengkonsumsi gas elpiji dengan menggunakan tabung 
kecil yang biasa digunakan di rumah tangga. 

Pemerintah juga harus menjelaskan rencananya tentang dana subsidi 
BBM yang dicabut itu akan dialokasikan kemana. Apakah dana subsidi 
BBM yang menjadi sebesar 200 Trilyun Rupiah itu (karena kenaikkan 
harga minyak dunia) akan digunakan untuk membangun lapangan kerja? 
Untuk pendidikan? Untuk kesehatan? Untuk infrastruktur yang selalu 
hancur? Atau sebagian akan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) 
kepada masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya amburadul di tahun-
tahun yang lalu? Memangnya berapa juta masyarakat miskin di 
Indonesia? Tidak jelas! Karena datanya belum lagi diperbaharui. Soal-
soal seperti ini tidak akan jelas atau kabur dan membingungkan di 
masyarakat, kecuali pemerintah memang sungguh-sungguh mau membuat 
masyarakat menjadi jelas. 

Sayangnya, meski tinggal hitungan minggu atau hari lagi menuju 
kenaikan BBM, pemerintah hingga saat ini belum mengumumkan kepada 
rakyat mengenai strategi mereka yang jelas dan gamblang atau 
meyakinkan dalam mengurangi atau bahkan mengatasi dampak dari 
kenaikan BBM ini. Memang pemerintah sudah mengumumkan secara singkat 
saja pada 14 Mei lalu
 ( 
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/05/14/3062.html ), 
tentang upaya pemerintah sejauh ini untuk mengatasi dampak kenaikan 
harga minyak dunia. Banyak yang bisa diperdebatkan dari argumen-
argumen yang digunakan pemerintah dalam pengumuman itu. Bahkan 
Sejauh ini pemerintah hanya mengatakan bahwa hal-hal normatif 
semacam ini: "kenaikan BBM tidak terhindarkan lagi untuk 
menyelamatkan APBN dan negeri ini". Padahal tentu rakyat tidak 
mengerti tentang berapa dan bagaimana hitungan APBN, apalagi mengapa 
APBN harus diselamatkan. Rakyat tentu tidak mengerti, bahwa 
sebenarnya ada pengeluaran negara yang lebih besar dan lebih 
mencekik rakyat di negeri ini selain untuk pengeluraran untuk 
subsidi BBM yaitu utang luar negeri yang disebabkan oleh dirampoknya 
dana BLBI oleh konglomerat hitam. Pembayaran hutang negara ini 
hampir separuh dari APBN.

Rakyat hanya bisa mengerti hal-hal sederhana yang mereka hadapi 
sehari-hari. Misalnya bagaimana mereka membeli sembako setelah 
kenaikan BBM? Bagaimana membayar listrik? Bagaimana membayar biaya 
transportasi? Apakah perusahaan tempat mereka bekerja sekarang akan 
dapat bertahan dan menaikkan gaji mereka? Atau apakah usaha jasa 
atau dagang yang sedang mereka jalan bisa terus hidup? Bagaimana 
membiayai kesehatan? Juga bagaimana membiayai pendidikan bagi anak-
anak. Bukankah biaya sekolah bukan hanya yang dibayar setiap bulan 
tetapi juga termasuk buku, alat tulis, biaya dan alat-alat praktek, 
biaya wisata belajar, hingga ongkos transportasi ke sekolah dan 
pulang, atau makan dan minum yang menyehatkan, bahkan juga biaya 
bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Biaya-biaya ini 
diperlukan seorang siswa sekolah dari SD hingga SMA sekedar agar 
berjalan normal ketika BBM dinaikkan. Apakah itu masih akan berjalan 
seperti biasa? Atau akan mencekik mereka?

Mari kita lihat dalam hitungan hari-hari mendatang, apakah kita 
telah memilih manusia yang berakal budi atau hanya memilih baboon 
dalam pemilu 2004 lalu.

Jojo Rahardjo

Kirim email ke