Benjang, Gulat Tradisional Sunda

04/7/2004 15:53 — Hanya mereka yang terlatih yang lolos dari arena tanpa cedera. Bagi yang tak terlatih, jangan coba-coba. Ini adalah benjang, olah raga keras yang bisa membuat tangan dan kaki patah atau tubuh cedera karena bantingan.


Gulat tradisional Sunda
>>>


Gulat tradisional Sunda
>>>


Download RealPlayer
Liputan6.com, Jakarta: Keramaian memecah keheningan di Desa Ciwaru, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, malam itu. Suara musik bamplang diseling sorak- sorai penonton membuat suasana desa yang terletak di lerang Gunung Manglayang, ini menjadi semarak. Malam itu hampir seluruh warga Desa Ciwaru berkumpul di halaman rumah seorang warga desa yang sedang menggelar hajatan khitanan.

Sebagaimana biasanya, hajatan-hajatan penting bagi warga Desa Ciwaru selalu dimeriahkan dengan cara mengundang para atlet benjang untuk bertarung. Meski tampak seperti pertandingan gulat, pertarungan ini bukan sebuah pertarungan gulat yang sebenarnya. Ini adalah pertarungan benjang, olah raga asli Desa Ciwaru yang telah ada sejak 200 tahun silam.

Di Ciwaru, benjang adalah olah raga yang sangat populer. Bahkan, benjang lebih populer dari pencak silat. Benjang menjadi ajang bagi para lelaki desa untuk menunjukkan keperkasaan dan keberanian. Olah raga ini juga menjadi ajang bagi orang tua untuk menyampaikan pesan-pesan moral.

Pertarungan di pesta khitanan ini juga lebih ramai dari biasanya. Hampir semua petarung benjang malam itu turun arena. Mereka sengaja datang untuk melihat kekuatan lawan. Sebab, tak lama lagi akan ada kompetisi resmi di tingkat kecamatan. Seorang di antara mereka yang turun bertarung adalah Asep Komar. Saat itu, Asep turun sekadar berlatih. Tenaga lelaki ini masih banyak disimpan untuk kompetisi antarperguruan benjang keesokan harinya.

Asep Komar adalah jawara benjang yang sangat terkenal di Ciwaru. Usianya masih muda, tapi kemampuannya bermain benjang sangat tinggi. Di kampungnya belum ada seorang pun atlet benjang yang berhasil mengalahkannya. Bakat benjang Asep tak lepas dari pengaruh bapaknya, Dadang, pendiri dan pelatih perguruan benjang, Libot Muda. Dadang adalah mantan pemain benjang yang sangat disegani pada masa mudanya.

Benjang adalah gulat tradisional Sunda yang telah ada sejak 1802. Benjang muncul bahkan sebelum gulat modern dikenal di Indonesia. Sejarah benjang berawal dari tradisi para petani di Kecamatan Cilengkrang. Awalnya, permainan adu fisik ini digelar di atas tumpukan jerami pada saat musim panen. Teknik kuncian dan belitan mulai ditemukan seiring dengan digunakannya instrumen musik bamplang sebagai pengiring pertarungan. Dari sinilah kemudian dikenal istilah benjang dengan aturan permainan yang telah dibakukan.

Kini, benjang semakin berkembang di Ciwaru. Dari dasar ilmu benjang, mereka mempelajari teknik gulat dan mencoba mengikuti pertarungan gulat modern. Beberapa di antaranya menangguk sukses menjadi juara di tingkat lokal maupun nasional. Satu di antaranya adalah Asep Komar, anak Dadang.

Meski telah menguasai teknik-teknik gulat modern, kesetian mereka terhadap benjang ternyata tak pernah luntur. Benjang seolah menjadi roh bagi kehidupan mereka. Apalagi di Cilengkrang, kebanggaan sebagai jawara benjang ternyata lebih dihargai daripada sebagai juara gulat. Tak heran jika Asep memerlukan persiapan yang lebih baik menjelang turun di kompetisi antarperguruan yang segera digelar.

Hari menjelang malam, kesibukan di perguruan Libot Muda mulai terasa. Seluruh anggota perguruan hadir termasuk para suporter. Sebuah truk telah disewa untuk mengangkut mereka menuju ibu kota Kecamatan Cilengkrang. Atlet-atlet benjang Libot Muda akan bertarung dalam sebuah kompetisi antarperguruan benjang. Kompetisi tanpa hadiah tetapi begitu penting karena akan dikukuhkan peserta yang akan menjadi jawara.

Berbeda dengan tarung bejang untuk hajatan yang dilakukan di atas tanah, tarung benjang untuk kompetisi dilakukan di atas sebuah panggung. Seiring suara musik bamplang, kompetisi benjang pun dimulai. Para atlet dari beberapa perguruan benjang berkumpul di seputar panggung. Satu demi satu mereka membuka tantangan kepada lawan dengan ngibing atau menari.

Dalam benjang, lawan tidak ditentukan berdasarkan aturan yang rumit. Pertimbangannya hanya satu jika ingin bertarung: turun menari dan jika telah menemukan lawan yang cocok, bukalah baju untuk bertarung. Jika tidak berani, maka menyingkirlah dari panggung. Lawan juga tidak diukur berdasarkan berat badan seperti halnya gulat. Ukurannya sangat sederhana, keberanian dan kemampuan mengukur kekuatan diri dan lawan.

Melalui ukuran itu, Asep sebagai seorang jawara benjang terlihat turut dalam ajang ini. Dua kali turun ngibing ternyata tidak ada seorang lawan yang berani menghadapinya. Baru ketiga kali ngibing, dia menemukan lawan tanding. Di bawah pantauan ayahnya dan puluhan pasang mata penonton, Asep menunjukkan keperkasaannya. Gerakannya lincah dan bertenaga. Dua kali dia membuat lawannya terlentang kalah.

Belum puas mendapat lawan dengan berat badan yang seimbang, Asep turun lagi. Kini, ia mendapatkan lawan lebih besar. Hasilnya, seri. Sekali Asep menelentangkan lawannya. Sekali pula dia terlentang.

Pertarungan benjang terus berlangsung hingga tengah malam. Satu demi satu, para atlet menunjukkan keberaniannya. Anehnya, sepanjang pertandingan berlangsung tak ada luapan emosi yang menggebu. Namun justru inilah hebatnya benjang, yang menang diajarkan untuk tidak sombong dan yang kalah harus disemangati. Untuk itu juga pemenang justru harus mencium tangan yang kalah.

Tak terasa seluruh atlet pun telah turun bertanding. Ada yang kalah dan menang. Meski tak ada hadiah bagi pemenangnya, puluhan mata penonton yang menyaksikan kehebatan mereka bertarung adalah hadiah yang luar biasa. Mata penontonlah yang mengukuhkan mereka sebagai jawara-jawara benjang.(AWD/Tim Potret)


Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke