naha atuh... suci teh urang sunda lain?
On Tue, 30 Nov 2004 08:54:33 +0700, Nia Sri Winiarsih <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Punten teu disundakeun... > > Nia > > > > > -----Original Message----- > From: Nia Sri Winiarsih > Sent: Tuesday, November 30, 2004 8:53 AM > To: [EMAIL PROTECTED] > Subject: [Urang Sunda] FW: > > > Hasil Tim Penguak Misteri > > > > DUKUNGAN terhadap Suciwati terus mengalir. DPR berjanji membentuk tim > > gabungan. Rabu lalu, di luar agenda resmi, Presiden Susilo "SBY" Bambang > > Yudhoyono menerima istri mendiang Munir itu. Suciwati ditemani Mufti > > Makarim dari Kontras, Rachland Nashidik dari Imparsial, dan Todung Mulya > > Lubis, seorang pendiri Kontras. > > > > SBY mendukung dibentuknya tim pencari fakta (TPF) independen. "Beliau > > mengikuti kasus ini dari hari ke hari," kata juru bicara presiden, Andi > > Mallarangeng. Rachland mengusulkan, TPF dibentuk berdasarkan keputusan > > presiden dan hasilnya dilaporkan ke presiden. > > > > TPF merupakan bagian dari tim penyelidikan pro-justisia. Sejumlah nama > > diusulkan Rachland sebagai anggota, seperti Amien Rais, Syafi'i Ma'arif, > > Todung Mulya Lubis, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara. Anggotanya ditambah > > dari kepolisian dan kejaksaan. > > > > Perkembangan ini membuat penyelidikan kematian Munir makin ramai. Maklum, > > kematian Munir memang tak wajar. Salah satu pendiri Kontras yang juga > > pejuang hak asasi manusia itu diduga dibunuh pihak tertentu. > > > > Tanda-tanda kematian Munir muncul ketika pesawat Garuda jenis Boeing > > 747-400 nomor penerbangan GA 974 tiba di Bandara Changi, Singapura, pukul > > 00.40, setelah terbang selama satu jam 45 menit dari Bandara > > Soekarno-Hatta, Jakarta. Di Changi, penumpang beristirahat satu jam 10 > > menit. Saat itu, Munir mengirim pesan singkat ke telepon genggam istrinya, > > Suciwati, di Bekasi, "Kok perut saya nggak enak, ya? Jangan-jangan mag saya > > kambuh." > > > > Suciwati tak terlalu hirau akan hal itu. Ibu dua anak ini tidak pernah > > menyangka SMS itu sebagai pesan terakhir suaminya. Setelah terbang selama > > 10 jam dari Changi menuju Bandara Schipol, Amsterdam, tepatnya pukul 11.05 > > WIB (7 September 2004), Munir didapati telah meninggal. Ketika itu, pesawat > > yang ditumpangi Munir masih berada di langit Hongaria. Singapura-Amsterdam > > memerlukan waktu 13 jam penerbangan. > > > > Sepanjang perjalanan Singapura-Amsterdam, Munir begitu tersiksa. Tak lama > > setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi, tepatnya pukul 01.50 > > waktu setempat, Munir didera sakit perut, mual, dan berak-berak. Persis > > orang sakit kolera atau muntaber. Setelah terbang tiga jam, Dokter Tarmizi > > Hakim yang tidur terkaget-kaget ketika dibangunkan oleh pramugari. > > > > Tarmizi baru saja berkenalan dengan Munir saat keduanya berpapasan di pintu > > pesawat di Bandara Changi. Saat itu, Tarmizi ngobrol dengan pria kelahiran > > Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 itu. "Tak ada tanda-tanda sakit. Juga > > nggak mengeluh," kata Tarmizi. Makanya, ia kaget bukan kepalang saat Munir > > bercerita sudah muntah dan berak sekitar enam kali dalam setengah jam. > > > > Munir yang duduk di kursi nomor 40G mengerang. Tarmizi segera memberi Munir > > obat muntah dan obat mencret yang selalu di bawanya ketika pergi. Tapi > > sakit Munir tak kunjung reda. "Ia gelisah dan mengaduh terus," ujar > > Tarmizi. Selama setengah jam menemani Munir, Tarmizi menyaksikan Direktur > > Eksekutif Imparsial itu enam kali muntah-muntah. > > > > Oleh Tarmizi, Munir segera diberi obat penenang. Toh, sakit perut Munir > > sebentar hilang, sebentar muncul lagi. Tarmizi menduga, Munir mengalami > > keracunan makanan. Munir sendiri mengaku tidak ada makanan aneh yang > > disantap selama perjalanan, bahkan sebelum lepas landas dari Jakarta. > > > > Dari pramugari Tarmizi tahu Munir minum air jeruk. Padahal, pria bertubuh > > ceking dan berambut pirang itu sudah lama menderita sakit mag. "Tapi minum > > air jeruk tidak akan membuat menderita seperti ini," kata Tarmizi. Setelah > > agak tenang, Munir ingin beristirahat. Ia tiduran telentang di dekat WC. > > Setelah Munir tidur, Tarmizi pun lelap. > > > > Begitu bangun, hari sudah pagi. Tarmizi segera makan. Kepada pramugari, ia > > bertanya ihwal kondisi Munir. "Alhamdulillah, Dok, ia tidur," kata > > pramugari. Munir memang tidak di tempat semula, tapi sudah pindah ke depan. > > Tiba-tiba Tarmizi diminta oleh pramugara Madjid Nasution melihat kondisi > > Munir. "Kok tidak bergerak, Dok," kata Nasution. Saat diperiksa, Munir > > sudah meninggal.> > > > > "Nggak biasa orang muntah dan berak meninggal secepat ini," kata Tarmizi. > > Tarmizi menduga, pasti ada sesuatu. Makanya, ketika mendarat di Bandara > > Schipol, Belanda, ia minta kepada polisi setempat agar diberi hasil otopsi. > > Ia dijanjikan otopsi selesai sehari. Setelah ditunggu-tunggu, lebih dari > > sepekan hasil otopsi Munir yang akan kuliah hukum di Utrech itu tidak > > kunjung keluar. > > > > Nun jauh di kawasan Ridderkerk, kota kecil dekat Rotterdam, Belanda, Sri > > Rusminingtyas, 40 tahun, kebat-kebit. Toh, udara dingin pagi yang menggigit > > tak menghalanginya untuk pergi. Bersama suaminya, Leo Fontijne, ia pergi ke > > Rotterdam Central Station. Dari sana, Sri naik kereta menuju Schipol. Dalam > > perjalanan, ia membayangkan cengiran khas temannya, Munir. "Kalau ketemu, > > aku mau ngomel. Datang kok pagi benar, dingin, males bangun," Sri > > menggerutu. > > > > Menurut pesan singkat Munir ke Sri sebelumnya, pesawat diperkirakan > > mendarat di Schipol pukul delapan pagi. Makanya, ia berusaha datang > > setengah jam sebelumnya. Sandwich dua tangkup plus air mineral dibawa biar > > nanti tiba di bandara, Munir bisa sarapan. Karena belum tahu rencana Munir > > berikutnya, Sri telah menyiapkan rumahnya sebagai tempat singgah. > > > > Sri mengenal Munir pada tahun 2000. Saat itu, Munir aktif di YLBHI, > > sementara Sri di Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan. Sri juga nitip > > ijazahnya yang lupa dibawa ketika pindah ke Belanda. Tak lama di Schipol, > > pesawat GA 974 mendarat. Para penumpang berhamburan di pintu keluar. Detik > > demi detik, dan menit berganti jam, tapi wajah yang ditunggu tak juga > > nongol. > > > > Sampai sebuah pengumuman dalam bahasa Belanda menyebut-nyebut nama Munir. > > Sri ngedumel karena tak mengerti bahasa Belanda. Tiba-tiba telepon > > genggamnya berdering. Seseorang yang bekerja di Imparsial meneleponnya. > > "Mbak Sri di mana?" "Aku di Schipol, nunggu Munir. Tapi dia belum nongol." > > Dari seberang terdengar suara lagi, "Kami baru dapat berita dari Garuda, > > katanya Cak Munir meninggal. Coba dicek, bener nggak." > > > > Sri menggigil. Telepon terputus. Dalam kondisi panik, Sri segera bertanya > > ke kru Garuda yang keluar dari pesawat. Para kru membenarkan, tapi tidak > > berani bercerita lebih jauh. Akan ada pernyataan dari Garuda. > > > > Sri pun langsung menuju information desk. "I'm waiting for Munir. Could > > somebody tell me what happened with him?" Sri nyerocos. Sang officer > > menyarankan Sri bertanya kepada tiga orang yang sedang berjaga di mulut > > pintu kedatangan Garuda. Sri melontarkan pertanyaan yang sama. Ketika > > petugas mengangguk, Sri pun histeris. "Aku sendirian. Bayangin, mau jemput > > teman tapi sudah jadi mayat. Di negeri orang pula," kata Sri kepada Gatra. > > > > Setelah itu, Sri diajak ke kantor polisi Schipol. Ia diinterogasi soal > > kesehatan Munir, juga pertanyaan apakah Munir punya musuh. "Setahu saya, > > beberapa kali Munir menerima ancaman pembunuhan, diteror, dan sebagainya," > > kata Sri. Petugas yang menginterogasi bengong. Mereka bertanya, siapa si > > Munir itu? Setelah bercerita panjang lebar tentang aktivitas Munir, polisi > > baru ngeh. > > > > Polisi yang menginterogasi lantas mengontak sana-sini. Akhirnya, semua > > akses ke lokasi sekitar Garuda ditutup. Tak ada seorang pun yang boleh > > mendekat. Polisi berseragam biru digantikan oleh Marsose, polisi khusus di > > bawah polisi militer yang khusus menangani kasus pembunuhan dan > > kriminalitas. Sejak diambil alih Marsose itu, Sri sudah menduga bahwa Munir > > meninggal tak wajar. > > > > Dalam kondisi bingung, tiba-tiba Leo menelepon dan menanyakan apakah Sri > > sudah tiba di bandara. Karena Sri histeris, Leo yang menikahi Sri pada 5 > > Juni lalu itu segera meninggalkan kantor. Setelah Leo datang, suasana makin > > tegang. Karena Sri shock, hanya Leo yang dibawa ke kamar mayat Schipol > > untuk mengidentifikasi Munir. Belakangan baru Sri. Setelah memastikan mayat > > Munir, sejak itu Sri jadi wakil keluarga Munir di Belanda. > > > > Kecurigaan Sri Rusminingtyas dan Dokter Tarmizi Hakim soal ketidakwajaran > > kematian Munir terjawab oleh hasil otopsi Netherland Forensich Institute > > (NFI). Otopsi itu menemukan, dalam tubuh Munir ada timbunan racun arsen.> > > Jumlahnya tidak tanggung-tanggung: mencapai 460 miligram --lebih dari tiga > > kali dari kemampuan tubuh manusia untuk bisa bertahan hidup. > > > > Siapa yang meracun Munir? Edwin Partogi, Ketua Divisi Operasional Kontras, > > mencurigai seorang pegawai penerbangan yang mengajak Munir pindah tempat > > dari kelas ekonomi ke kelas bisnis dalam perjalanan Jakarta-Singapura. Ia > > putra seorang pakar paranormal yang dekat dengan aparat berwajib. Siapa > > dia? "Nanti saja, ada saatnya," kata Edwin kepada Julkifli Marbun dari > > Gatra. > > > > Berita kemungkinan Munir diracun itu pertama kali dilansir oleh koran sore > > NRC Handesblad, 11 November lalu. Berita yang dilaporkan oleh Dirk > > Vlasblom, koresponden NRC Handesblad di Indonesia, itu bikin geger. > > Kabarnya, Dirk mendapatkan info itu dari Dirjen Urusan Amerika dan Eropa, > > Departemen Luar Negeri, Arizal Effendi. Tapi, baik Dirk maupun Arizal > > membantahnya. "Tak benar itu," kata Dirk kepada Rahman Mulya dari Gatra. > > > > Dugaan itu didasari kabar, sebenarnya pada 14 September sudah ada > > kesimpulan otopsi dari Bandara Schipol bahwa Munir meninggal karena > > diracun. Otopsi ini diuji lagi oleh NFI. Akhir September, setelah ada > > kesimpulan NFI, hasil otopsi itu dikirim ke Indonesia. Namun kabar ini > > dibantah oleh Arizal Effendi. > > > > Mantan Duta Besar (Dubes) RI untuk Australia yang selama ini bungkam itu > > menceritakan, pukul 10.30 pada 11 November menerima kedatangan Dubes > > Belanda untuk Indonesia, Rudolf Jan Treffers. Sang dubes menyerahkan dua > > buah fotokopi, satu berbahasa Belanda, satunya lagi berbahasa Inggris. > > Rudolf berpesan agar dokumen itu diserahkan ke pihak berwenang. > > > > Arizal segera melaporkan ke Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Ternyata > > Wirajuda di Myanmar. Ia berusaha menghubungi Menteri Koordinator Bidang > > Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS serta Kapolri Jenderal Da'i > > Bachtiar, tapi keduanya tak ada di tempat. Baru sore harinya ia menemui > > Kabareskrim Mabes Polri, Komisaris Jenderal Suyitno Landung. Sementara juru > > bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa, menginformasikan hal itu > > ke Suciwati. > > > > Inilah yang kemudian memicu debat. Menurut Rachland Nashidik, keluarga > > Munir berhak tahu hasil otopsi itu. Tapi usaha Suciwati dan Imparsial ke > > polisi membentur tembok. Menurut polisi, dokumen tersebut belum lengkap. > > "Itu analisis, bukan hasil otopsi," kata Suyitno Landung. Arizal Effendi, > > ketika ditanya soal ini, mengaku tidak tahu apakah analisis atau hasil > > otopsi. Ia sempat membaca, tapi isinya amat teknis. Ada unsur kimia segala. > > > > Kepada Elmy Diah Larasati dari Gatra, Suyitno membantah mempersulit > > Suciwati mendapatkan hasil otopsi. "Hasil itu milik polisi karena kematian > > Munir tidak wajar," katanya. Toh, Rabu lalu, ia memberi kesempatan Suciwati > > untuk membacanya. Guna memperdalam dokumen itu, Polri membentuk tim > > investigasi. Di dalam negeri, orang-orang Garuda sudah dimintai keterangan. > > > > Sebanyak tujuh orang tim lainnya, antara lain Anton Charliyan (polisi), > > Budi Sampurna dan Ridla Bakri (Universitas Indonesia), serta Andi Amhad > > Basari (Departemen Luar Negeri), sejak Jumat lalu berada di Belanda. > > Tujuannya, meminta salinan asli otopsi. Sayang, tim datang tanpa persiapan. > > Meskipun pegawai Kedubes RI di Den Haag sibuk bukan main, tim nyaris tak > > membuahkan hasil apa-apa. Maklum, tim datang akhir pekan di sore hari, saat > > Departemen Luar Negeri Belanda hendak tutup. > > > > Tim diterima Robert Milders, Director Asia Oceania. Saat itu terungkap > > bahwa belum ada surat resmi dari Pemerintah RI tentang kedatangan tim ini. > > "Suratnya diusahakan menyusul," jawab Mulya Wirana, wakil KBRI, ketika > > ditanya oleh Milders. Surat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang dikirim ke > > Belanda, Selasa lalu, baru diterima Rabu sore. Sampai tulisan ini naik > > cetak, tim belum membuahkan apa-apa. "Pertemuan tidak membicarakan hal > > substansial," kata Usman Hamid dari Kontras yang mewakili keluarga Munir.> > > > > Khudori, Bernadetta Febriana, dan Asmayani Kusrini (Den Haag) > > [Nasional, Gatra Nomor 3 beredar Jumat, 26 November 2004] > > > > > > > > Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id > > Yahoo! Groups Links > > > Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id > > Yahoo! Groups Links > > > > > ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/0EHolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/