Manawi kenging mairan dina pasoalan ieu, pamadegan abdi mah gumantung kana tempat di mana urang aya wanci harita (ningali bulan). Teu benten deui sareng netepan lima waktos, geuning program adzan oge aya di 5 juta kota (tempat), satiap tempat benten-benten.Kitu deui nangtoskeun waktos boboran atanapi ngawitan saum oge benten-benten setiap tempat. Eta mah perkara wajar. Kanggo urang anu kaleresan aya di Indonesia tangtos ngiringan kana kaputusan MUI wae, margi upami ngiringan kaputusan Nagari Arab mah urang kedah nuju di Arab. Logikana upami shahih ngiringan kaputusan Arab, naha waktos netepan teu nurut munding wae ka Arab anu benten waktosna sababaraha jam ??. sihapunten baktosna sim abdi.   

kumincir <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Baraya, poe ieu nu munggah haji keur wukuf di Arofah, sabab Pamarentah
Arab mutuskeun yen tanggal 1 Dzulhijjah ragrag dina 10 Januari 2005.
Hartina, mun nuturkeun pamarentah Arab Saudi, kurban teh poe isuk,
kemis. Sedengkeun di urang, pamarentah & lembaga/ormas Islam sapuk yen
10 Dzulhijjah ragrag poe jumat. Di handap artikel ngeunaan masalah
ieu, nyanggakeun...


Menyikapi Perbedaan Iduladha
Oleh T. DJAMALUDDIN

SEMULA, keputusan Majelis Tinggi Arab Saudi, Majlis Al-Qadla' Al-'Ala,
yang menetapkan 1 Zulhijah 1425 pada 12 Januari 2005, hari wukuf 9
Zulhijah 1425 pada 20 Januari, dan Iduladha 21 Januari disambut
gembira oleh banyak pihak. Kekhawatiran terjadinya kontroversi,
seperti sering terjadi lenyaplah sudah. Majelis mengumumkan tidak ada
kesaksian hilal pada akhir Dzulqaidah. Di Indonesia, keputusan itu pun
disambut dengan lega. Rapat Badan Hisab Rukyat Departeman Agama pada
22 Desember 2004 lalu sempat mengkhawatirkan terjadinya kontroversi
keputusan Arab Saudi yang menyebabkan perbedaan dengan keputusan
pemerintah RI.

Ternyata, kelegaan tidak lama. Sabtu, 15 Januari tersiar kabar melalui
mailing list pengamat hilal (bulan sabit pertama) dan media massa
bahwa Arab Saudi mengubah keputusannya. Berdasarkan laporan
terlihatnya hilal pada 10 Januari 2005, maka diputuskan awal Zulhijah
jatuh pada 11 Januari 2005.

Akibatnya hari wukuf berubah menjadi 19 Januari dan Iduladha di Arab
Saudi pada 20 Januari 2005. Tentu saja perubahan ini menyebabkan
perbedaan dengan Iduladha di Indonesia dan menimbulkan kebingungan
bagi orang awam.

Kalangan astronom jelas menolak kesaksian tersebut karena pada saat
magrib 10 Januari 2005 di wilayah Arab bulan telah berada di bawah
ufuk. Di Mekah bulan terbenam pukul 18.53 kemudian disusul matahari
pukul 18.56. Bagaimana mungkin terlihat hilal padahal bulan telah
terbenam. Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS)
mengeluarkan pernyataan bahwa kesaksian tersebut keliru.

Garis tanggal

Untuk melihat kemungkinan rukyatul hilal di seluruh dunia, biasa
digunakan hisab (perhitungan) secara global dan digambarkan sebagai
garis tanggal. Pada peta garis tanggal diketahui di daerah mana bulan
dan matahari terbenam bersamaan. Inilah garis tanggal wujudul hilal
(wujudnya hilal di kaki langit). Dengan garis tersebut diketahui bahwa
di wilayah sebelah timur garis tanggal pada saat magrib hilal berada
di bawah ufuk, sedangkan di wilayah baratnya hilal telah di atas ufuk.

Garis tanggal wujudul hilal untuk awal Zulhijah melintasi Amerika
Utara, Afrika, Yaman, dan Lautan Hindia sebelah selatan Indonesia.
Terlihat bahwa Arab Saudi dan Indonesia berada pada satu wilayah garis
tanggal. Pada tanggal 10 Januari 2005, baik di Arab Saudi maupun
Indonesia, bulan telah berada di bawah ufuk saat magrib. Jadi tidak
mungkin ada kesaksian melihat hilal pada hari itu. Dengan demikian,
tidak mungkin juga 1 Zulhijah 1425 jatuh pada 11 Januari 2005 dan
tidak mungkin Iduladha 20 Januari 2005. Dari gambar garis tanggal
beserta beberapa kriteria selain wujudul hilal, dapat disimpulkan
bahwa 1 Zulhijah jatuh pada 12 Januari 2005 dan Iduladha 21 Januari.

Kriteria kemungkinan teramatinya hilal di Indonesia yang disepakati
MABIMS (menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
dan Singapura) adalah tinggi minimal 2 derajat dan umur hilal minimal
8 jam. Garis tanggal ketinggian bulan 2 derajat juga digambarkan pada
peta garis tanggal yang melintasi Amerika Utara, Afrika, dan
Australia. Karena bulan baru atau ijtimak terjadi pada pukul 19.04 WIB
10 Januari, maka saat magrib 11 Januari umur hilal telah lebih dari 8
jam. Karenanya baru pada 11 Januari hilal kemungkinan dapat terlihat.
Maka 1 Zulhijah 1425 dapat disimpulkan jatuh pada 12 Januari 2005.
Demikian juga dengan kriteria-kriteria lainnya.

Kesaksian hilal pada 10 Januari 2005 secara astronomi harus ditolak,
karena tidak mungkin terjadi bulan yang telah terbenam dapat dilihat
berada di atas ufuk. Dapat dipastikan ada kekeliruan pengamatan. Dari
kalangan pengamat hilal seluruh dunia yang bergabung dalam ICOP
(International Crescent Observation Project), tidak ada laporan
terlihatnya hilal di seluruh dunia pada hari itu. Baru pada 11 Januari
dilaporkan pengamatan hilal dari berbagai tempat di dunia. Seperti
ditunjukkan pada peta garis tanggal, pada 11 Januari hampir seluruh
dunia berkesempatan melihat hilal yang cukup tinggi. Salah satu
pengamat di Iran berhasil memotretnya dalam kondisi kaki langit yang
berawan.

Dari analisis garis tanggal dan laporan rukyatul hilal seluruh dunia,
semestinya 1 Zulhijah jatuh pada 12 Januari 2005, hari wukuf 9
Zulhijah pada 20 Januari, dan Iduladha pada 21 Januari 2005.
Pemerintah Indonesia telah memutuskan dalam ketetapan Menteri Agama RI
bahwa Iduladha jatuh pada 21 Januari.

Menyikapi perbedaan

Dalam masalah ibadah, pertimbangan syariat lebih diutamakan daripada
pertimbangan lainnya. Walaupun secara astronomi keputusan Arab Saudi
dinilai kontroversial dan keliru, secara syariat tetap dianggap sah.
Laporan saksi yang dianggap adil telah cukup dijadikan dasar tanpa
perlu konfirmasi apa pun. Itulah keyakinan Majelis Tinggi Arab Saudi.
Karenanya di Arab Saudi dan negara-negara sekitarnya yang
mengikutinya, sah bagi mereka untuk beriduladha 20 Januari 2005.

Masalahnya kemudian timbul kebingungan pada sebagian masyarakat di
Indonesia yang akan beriduladha pada 21 Januari 2004. Sahkah saum
Arafah pada 20 Januari 2005 saat saudara-saudara kita di Arab Saudi
beriduladha? Kita ketahui, saum pada hari raya haram hukumnya. Masalah
ini sederhana saja. Dalam ibadah kita tidak boleh ada keraguan, pilih
mana yang kita yakini.

Bila kita yakin mengikuti Arab Saudi, saum pada 20 Januari jelas
haramnya karena kita yakin hari itu Iduladha. Tetapi lain masalahnya
kalau kita mengikuti ketetapan pemerintah Indonesia yang menganggap 20
Januari masih 9 Zulhijah, maka sunnah untuk saum Arafah pada hari itu.
Tidak haram saum karena yakin hari itu bukan Iduladha. Tidak boleh ada
keraguan dengan mengikuti Iduladha seperti ketetapan di Indonesia,
tetapi juga meyakini Iduladha seperti di Arab Saudi. Tidak ada dua
kali Iduladha yang diyakini, salah satunya harus ditinggalkan.

Keyakinan untuk merayakan Iduladha berdasarkan penetapan 1 Zulhijah di
masing-masing tempat telah dilaksanakan di banyak negara. Dewan Fiqih
Islamic Society of North America (ISNA) akhirnya juga beralih
mengikuti rukyatul hilal setempat, walau sebelumnya selalu mengikuti
Arab Saudi dalam penetapan Iduladha. Keputusan itu diambilnya, antara
lain setelah berkonsultasi dengan ulama Arab Saudi yang menyatakan
tidak ada beda penetapan Idulfitri dan Iduladha. Kita harus konsisten,
bila Idulfitri ditetapkan berdasarkan rukyat setempat, demikian pula
dengan Iduladha.

Sebagian kalangan masih banyak yang berpendapat bahwa Iduladha
semestinya mengacu pada hari wuquf di Arafah. Namun tidak ada dalil
yang kuat yang menyatakan Iduladha mesti sehari sesudah wukuf,
semuanya bersifat ijtihadiyah yang bisa diperdebatkan. Tidak salah
juga Iduladha dilaksanakan 10 Zulhijah, karena wukuf 9 Zulhijah. Dan
10 Zulhijah dapat berbeda di setiap tempat bergantung saat terlihatnya
hilal. Ada juga yang berpendapat Iduladha (hari raya kurban), bukanlah
Idul Hajj (hari raya haji) yang terikat dengan ritual di tanah suci
dan hanya ada di tanah suci. Sehingga tidak semestinya Iduladha selalu
mengacu pada hari wukuf. Bagaimanapun juga tidak mungkin disamakan
waktunya dengan waktu di tanah suci.

Itulah perbedaan pendapat yang ada di masyarakat. Silakan ikuti mana
yang dianggap paling meyakinkan dan menenteramkan dalam beribadah.
Kita tidak bisa memaksakan pendapat dalam hal ini. Persaudaraan tetap
harus dijaga. Salat Iduladha hukumnya sunnah, namun menjaga
persaudaraan wajib hukumnya.

Untuk menenteramkan umat ketika terjadi perbedaan dalam penentuan hari
raya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor
2/2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Fatwa MUI
menyatakan bahwa penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit
pertama) dan hisab (perhitungan astronomi) oleh pemerintah c.q.
Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Ini menegaskan bahwa kedua
metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar.
Keduanya merupakan komplemen yang tidak terpisahkan. Masing-masing
punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri.
Otoritas diberikan kepada pemerintah sebagai "Ulil Amri" yang wajib
ditaati secara syariat. Fatwa MUI juga menegaskan bahwa seluruh umat
Islam Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI tentang
penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.

Otoritas syar'iyah pemerintah RI (dalam hal ini dilaksanakan oleh
Menteri Agama) tentu tidak boleh dilaksanakan secara sembarang.
Karenanya fatwa itu menyatakan wajib bagi Menteri Agama berkonsultasi
dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan instansi
terkait. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat
walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla'-nya sama dengan
Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI. Ini
menyatakan bahwa di mana pun ada kesaksian hilal yang mungkin dirukyat
dalam wilayah hukum Indonesia (wilayatul hukmi) maka kesaksian
tersebut dapat diterima. Juga kesaksian lain di wilayah sekitar
Indonesia yang telah disepakati sebagai satu mathla', yaitu
negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura).

Terkait masih banyaknya kalangan yang mengikuti Arab Saudi dalam
penetapan Iduladha sehingga berbeda dengan penetapan di Indonesia, ada
yang menarik dari penuturan seorang wakil di Badan Hisab Rukyat dari
ormas Islam yang biasa mengikut Arab Saudi. Seorang mufti Arab Saudi
pernah memberikan tausiyah (nasihat) bahwa menjaga ukhuwah lebih
diutamakan daripada memisahkan diri dalam pelaksanaan Iduladha demi
mengikuti Arab Saudi. Karenanya ormas Islam tersebut kemudian
mengikuti penetapan Iduladha di Indonesia, walau belakangan kembali
lagi pada sikap semula.

Upaya penyatuan Iduladha memerlukan pendekatan ukhuwah, bukan dengan
memperdebatkan dalil dan logika ilmiah yang mungkin tidak berujung.
Saum arafah dapat dilaksanakan berdasarkan pendapat masing-masing,
mengikuti hari wukuf di Arafah atau tanggal 9 Zulhijah di Indonesia.
Saum bersifat pribadi, sehingga tidak tampak perbedaannya di
masyarakat. Namun untuk pelaksanaan Iduladha mestinya dapat
diseragamkan. Sebagian besar ulama membolehkan melaksanakan salat
Iduladha selama hari tasyrik sehingga ada toleransi bagi yang
mengikuti Arab Saudi untuk menunda salat Iduladha untuk bersama dengan
saudara-saudara lainnya di Indonesia. Pelaksanaan kurban juga bisa
dilaksanakan selama hari tasyrik sehingga tidak bermasalah dalam hal
ini. Alangkah indahnya bila ukhuwah diutamakan dalam menghadapi
perbedaan pendapat.***

Penulis, Peneliti Matahari dan Antariksa Lapan Bandung, Anggota Badan
Hisab Rukyat Jabar dan Depag

--
sikandar


Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id



Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail - You care about security. So do we.

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




Yahoo! Groups Links

Reply via email to