Kenging panimu dijalan, punten ach teu diterjemahkeun ka basa sunda.

Have a nice day &
Best Regards
Kang Didi

Andai Saya Presiden Yudhoyono

Saya akan menunda pencabutan subsidi minyak dan serius berjuang 
menghapus utang Indonesia.

Oleh Farid Gaban | Wartawan Kantor Berita Pena Indonesia

Ditemani secangkir english breakfast dan dua keping roti bakar isi
kacang, saya meluangkan waktu 40 menit duduk sendirian pagi ini di
beranda istana kepresidenan. Saya minta kepala rumah tangga istana
membawakan buku laporan mutakhir UNDP--Badan PBB untuk Program
Pembangunan. Dua puluh menit saya perlukan untuk membaca laporan itu,
dan 20 menit sisanya untuk merenung.

Saya baru sadar laporan UNDP itu berisi rekomendasi penting. Judulnya
"The Economic of Democracy: Financing Human Development in Indonesia".
Ada tabel dan data yang mendukung argumen di situ. Tapi, khusus untuk
bagian ini, saya minta nanti Ketua Bappenas Sri Mulyani atau Menteri
Koordinator Ekuin Aburizal Bakrie membacanya. Mereka lebih akrab
dengan angka-angka. 

Saya menyesal ketika laporan itu terbit pertengahan tahun lalu tak
sempat membacanya, atau mungkin sempat membaca tapi lupa isinya. Waktu
itu, saya sibuk mempersiapkan kampanye presiden. Kampanye yang
penting. Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung
untuk pertama kali. Dan kini saya bersyukur memperoleh mandat besar
yang bersejarah itu.

Secara ringkas buku ini mengusulkan agar pemerintah Indonesia
memperbesar dua kali lipat pengeluarannya untuk kesejahteraan sosial.
Laporan itu datang dengan kalkulasi dan angka. Pemerintah, kata
mereka, memerlukan Rp 103,7 trilyun atau sekitar 6% dari pendapatan
kotor domestik (GDP) untuk belanja sosial. Belanja ini sangat penting
untuk menjamin rakyat kebanyakan memperoleh layanan dasar pendidikan,
kesehatan, ketahanan pangan dan keamanan fisik. 

Itu bukan jumlah uang sedikit. Dan ekonomi negeri kita masih jauh dari
pulih sejak Krisis 1998, yang mempersempit kemampuan pemerintah
menyisihkan anggaran baru.

Tapi, buku itu benar, pembangunan modal manusia ini sangat penting.
Setelah reformasi, rakyat Indonesia telah memperoleh kemerdekaan dan
demokrasi politik. Namun, demokrasi sosial-ekonomi masih jauh dari
jangkauan. Rakyat kini memang bisa memilih banyak partai dan calon
presiden, namun tak banyak pilihan bagi mereka untuk mendapatkan akses
pada layanan dasar sosial-ekonomi karena terlalu miskinnya mereka. Di
mana-mana saya mulai mendengar orang kecewa dengan politik, karena
reformasi politik ternyata tak membawa kesejahteraan. Makin banyak
orang kini merindukan hadirnya kembali Orde Baru. Ini pertanda buruk
bagi demokrasi. Meski saya menghormati Presiden Soeharto, saya harus
akui banyak kekeliruan telah dibuat pemerintahnya. 

Saya sadar, hanya dengan memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial dan
ekonomi, demokrasi politik akan terancam. Padahal demokrasi politik
itulah yang telah berjasa mengangkat saya ke kursi presiden. Pemupukan
modal sosial, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, tak hanya
penting bagi demokrasi. Dalam tataran praktis, modal sosial diperlukan
untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Indonesia adalah satu-satunya
negeri Asia yang belum pulih dari Krisis 1998. Pertumbuhan ekonominya
tersendat, antara lain karena rendahnya mutu sumber daya manusia di sini.

Lebih dari segalanya, akses pada kebutuhan dasar, seperti pendidikan,
kesehatan dan pangan, adalah hak rakyat yang asasi, yang menjadi
kewajiaban pemerintah untuk memenuhinya. Hak rakyat itu dilindungi
konstitusi. Saya akan mudah dituduh inkonstitusional jika tak mampu
menyediakannya.

***
ORANG MISKIN MENYUAP UNTUK MEMPEROLEH HAKNYA YANG DASAR
***

Membaca buku laporan UNDP itu, saya sadar betapa ironisnya kita.
Bahkan di masa Orde Baru, yang dikenal zaman pembangunan, belanja
sosial di Indonesia jauh lebih kecil dibanding banyak negeri
Asia-Pasifik. Prosentase anggaran kesehatan dan pendidikan terhadap
GDP di Indonesia jauh lebih kecil dari Vietnam, dan hanya separo
Srilanka. Setelah krisis, ketika keuangan negara menciut sangat cekak,
nilai belanja sosial ini turun 40%. 

Para ekonom neoliberal memang mengatakan pemerintah hanya perlu
membangun iklim makroekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.
Sektor swastalah yang kelak bisa membiayai belanja sosial. Mereka
hanya benar sebagian. Pada kenyataannya, pengeluaran pemerintah di
sektor pendidikan dan kesehatan memang sangat kecil (sekitar 20%) dari
pengeluaran swasta. Tapi, menurut UNDP, ini mengandung bahaya.
Pengeluaran swasta cenderung dimanfaatkan oleh orang kaya, sementara
orang miskin akan gigit jari. UNDP datang dengan data mengerikan bahwa
banyak orang miskin harus menyuap untuk memperoleh layanan dasar
kesehatan.

Saya merasa telah tertipu pemandangan gemerlap Jakarta. Gedung mewah
di Jalan Sudirman-Thamrin ternyata hanya fatamorgana. Pertumbuhan
ekonomi tinggi semasa Orde Baru memang mengurangi jumlah kemiskinan
absolut. Tahun ini jumlah mereka masih sekitar 18%, atau 36 juta
orang. Tapi, data itu juga hanya sedikit bercerita. Dalam jumlah
sangat besar, sekitar separoh penduduk Indonesia hidup hanya sedikit
di atas garis kemiskinan. 

Saya tidak tahu apa komentar Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie nanti.
Tapi, saya sendiri merasa merinding membaca laporan itu, dan merasa
sangat bersalah telah mencabut subsidi minyak beberapa pekan lalu.
Lebih dari 100 juta rakyat Indonesia sangat rentan ekonominya.
Sewaktu-waktu mereka bisa jatuh miskin jika ada lonjakan harga
kebutuhan pokok. Akibat pencabutan subsidi minyak, jelas makin sedikit
uang yang bisa mereka sisihkah untuk membiayai sekolah anak atau
berobat ke puskesmas. Kristiani Herrawati, istri saya, tahu persis hal
itu.

Saya malu bahwa pemerintah hanya sedikit sekali bisa membiayai
investasi sosial mereka, bahkan sebelum pencabutan subsidi. Kini saya
sadar kompensasi pencabutan subsidi minyak itupun sangat kecil. Cuma
Rp 17 triyun, atau kurang dari seperlima yang diusulkan UNDP. Padahal,
usulan itupun hanya agar anggaran sosial kita setara dengan Srilanka.
Jangan kata Malaysia.

Tapi, bagaimana mungkin saya bisa menyediakan anggaran sosial sebesar
itu di tengah kesulitan keuangan negara? Haruskah memperbesar
pengeluaran dengan menoleransi risiko defisit seperti disarankan UNDP? 

Berlawanan dengan saran IMF dan para ekonom neoliberal, banyak negara
memang memilih menaikkan pengeluaran, hingga defisit, ketimbang
menyengsarakan rakyatnya yang dilanda krisis. Amerika Serikat salah
satu contohnya. Tapi, saya tak ingin melakukan itu. Saya setuju dengan
pandangan kaum neoliberal dalam soal anggaran berimbang ini.
Kristiani, istri saya, juga tahu bahwa "tak boleh besar pasak daripada
tiang" ketika mengelola uang keluarga. Sama halnya untuk uang negara.

Saya harus memilih mengurangi pos-pos pengeluaran lain dan
mengalihkannya untuk membiayai pemupukan modal sosial. Pos mana saja
yang bisa saya kurangi?

***
NEGERI PARADOKS BERNAMA INDONESIA
***

Saya teringat berapa besar dana yang kita keluarkan setiap tahun untuk
mensubsidi perusahaan negara, yakni sekitar 20% dari pengeluaran.
Tapi, angka yang lebih besar lagi adalah untuk membayar bunga dan
cicilan pokok utang negara. 

Ya, utang negara! Paradoks dengan Jaguar dan Lexus yang saya lihat
hilir-mudik di Segitiga Emas Jakarta, Indonesia adalah salah satu
negeri terbangkrut dan penghutang terbesar di dunia. Setelah krisis,
utang negara sempat membengkak menjadi US$ 130 milyar, atau 90% dari GDP.

Saya sadar, dengan utang sebesar itu Indonesia sudah masuk kelompok
negeri paling berat beban utangnya--heavily indebted poor countries
(HIPC). Indonesia satu kelas dengan negeri Afrika seperti Ethiopia,
Mali, Angola dan Benin, yakni negeri-negeri yang rasio utangnya
terhadap ekspor lebih dari 150% dan rasio bunga utang terhadap ekspor
lebih dari 15%. Pada 1998, rasio utang Indonesia terhadap ekspornya
jauh melampaui standar itu, mencapai 252%, dan rasio bunga utangnya
terhadap ekspor mencapai 33%!

Indonesia sudah tercekik utang. Dana publik yang harus saya sisihkan
untuk membayar utang setiap tahun mencapai 30-40% dari total
pengeluaran, jauh melebihi pos pengeluaran apapun. Tanpa koreksi,
mustahil kita bisa menyisihkan anggaran untuk program sosial yang
penting, terutama bagi kalangan miskin dan hampir-miskin.

Bagaimana mungkin fakta setelanjang itu lupa direnungkan Sri Mulyani
dan Aburizal Bakrie? 

***
MENGGALAKKAN DIPLOMASI PENGHAPUSAN UTANG
***

Kini saya harus mengubah arah: memberi prioritas tinggi untuk menuntut
pengurangan utang, agar bisa menyisihkan anggaran lebih banyak untuk
belanja sosial. Saya tak puas hanya menerima moratorium utang Paris
Club sebesar Rp 20 trilyun, yang pekan ini disetujui dan diumumkan
Ketua Bappenas Sri Mulyani. Moratorium hanya berarti penundaan
pembayaran, bukan penghapusan. 

Ketimbang setuju saja nasehat para ekonom neoliberal, yang selalu
menakut-nakuti saya soal konsekuensi tuntutan penghapusan utang, saya
akan berkunjung ke Argentina dalam waktu dekat. Saya akan meminta
saran Presiden Nestor Kirchner bagaimana resep mengurangi utang.
Membantah mitos kaum neoliberal, awal Maret ini Argentina berhasil
menghapus utang negara senilai lebih dari Rp 600 trilyun, atau
sepertiga dari total utangnya.

Indonesia memang tak bisa persis meniru Argentina, tapi saya ingin
belajar tentang semangat yang melatarbelakanginya. Saya baca di koran,
Presiden Kirchner dengan lantang berani mengatakan kepada para
kreditor: "Kami tak sanggup lagi membayar utang," katanya. "Kami hanya
bisa membayar utang dengan terus-menerus memiskinkan rakyat kami-suatu
hal yang tak ingin kami lakukan." Presiden Hector tak hanya berhasil
mengurangi beban utang negara. Dia juga sukses membangun kontrak
sosial baru dengan kalangan legislatif dan publik pemilihnya.

Dari Argentina, saya akan terbang ke Eropa. Di London saya akan
bertemu Perdana Menteri Tony Blair. Saya akan mengucapkan terima kasih
bahwa pemerintahnya sangat mendukung penghapusan utang negara miskin.
Meski harus melawan Amerika, Menteri Keuangan Inggris Gordon Brown
gigih mengajak negeri industri maju menghapus total utang Afrika.
Kunjungan saya akan merupakan pernyataan moral penting bahwa usul
mulia itu harus digaungkan lebih keras lagi, dan juga mencakup
penghapusan utang Indonesia yang selangit.

Saya akan minta Menko Ekuin Aburizal Bakrie mampir ke Brussels,
membawa serta tiga staf ahlinya--Rizal Mallarangeng, Chatib Basri dan
Lin Che Wei. Mereka saya minta mengunjungi markas Eurodad, European
Network on Debt and Development, sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Delegasi Bakrie itu juga perlu menyampaikan ucapan terima kasih
pemerintah Indonesia. Eurodad telah berjasa terus-menerus, tanpa
diminta, mengkampanyekan penghapusan utang Indonesia.

Dua tahun lalu, Eurodad membuat laporan menarik dengan judul "Towards
a Sustainable Debt Workout for Indonesia". Juru bicara kepresidenan
Andi Mallarangeng akan saya minta mengambil laporan itu dari internet
dan menyebarkannya kepada para anggota kabinet serta rekan-rekan saya
di badan legislatif agar kami bisa memperoleh pemahaman yang sama
terhadap soal serius ini.

Eurodad menyimpulkan bahwa model moratorium utang seperti sekarang,
yang resepnya disodorkan Bank Dunia, hanya sedikit saja bisa membantu
kita. Indonesia satu-satunya negeri Asia yang belum pulih dari krisis
ekonomi tujuh tahun lalu. Meski sudah mengabaikan belanja sosial,
Indonesia takkan bisa bertahan menyelesaikan utangnya dengan resep
Bank Dunia. Eurodad mengusulkan pemangkasan separoh dari total utang
luar negeri agar Indonesia bisa menyisihkan dana cukup untuk
mengurangi kemiskinan dan memupuk modal sosial. Kreditor multilateral
Paris Club, menurut Eurodad, harus melupakan 79% utang Indonesia.

Saya akan meniru semangat Presiden Argentina Nestor Kirchner, memberi
empati lebih besar kepada rakyatnya yang miskin ketimbang kepada
lembaga-lembaga keuangan internasional yang sudah gemuk koceknya.
Sikap nasionalis dan patriot sejati. Penghapusan utang memerlukan
kerja keras dan dukungan luas, nasional maupun internasional. Saya
perlu membangun kontrak sosial baru dengan publik pemilih, yang
sekarang kecewa karena penghapusan subsidi minyak.

Sambil menyeruput tetes terakhir english breakfast, saya sadar hanya
dengan itulah janji kampanye saya untuk perubahan dan demi
kesejahteraan rakyat miskin tidak kedengaran seperti retorika belaka.***





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/0EHolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke