Enggeus Kang, ngan ceuk kuring mah kudu ati - ati lamun ngutif masalah hukum islam ti Kompas mah, sabab katingalina kompas leuwih condong ka kalangan Islam Liberal (JIL)

Eka Priatna <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Nu bade ngawayuh,
mangga aos heula ieu.

:)

-eka

--
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/12/swara/302149.htm

Benarkah Poligami Sunah?

Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran
poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk
lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil
karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku
adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada
teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan.
Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak
mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi
poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan
terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh
Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad
al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih
memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan
darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan
kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir
menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka,
perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi
menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur
keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik
poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima
permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering
dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu
indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk
dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan
poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif.
Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya
sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat
yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama
istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28
tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi
berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa
hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan
pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah
penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami
Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan
"poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah
saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung
kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah
bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam
al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa
diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian
halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat
kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179).
Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk
meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad
ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda
sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak
mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami,
mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku
adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai
sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya
empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah
ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah
pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang
awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip
keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa
yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil
kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas
dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).
Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya
bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan,
dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan
"poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan
Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat
tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini
jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini
diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi,
dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti
Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar
rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib
menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap
orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi,
poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati
orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang
sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak
dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami
sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi
sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik
poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami
dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan
pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan
diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke
kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk
kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian
perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk
mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan
proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan
Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala
perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka
membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun
mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara
mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah
sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya
sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan
argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti
untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara
lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan
tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit
lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau
di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34
tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan
Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang
telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip
yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya
dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang
diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan
yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali
bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami
dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi
ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan
ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena
itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang
prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip
dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak
mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai
prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya
perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip
karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan,
untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris,
interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam
realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad
Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan
daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan
poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak
dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang
lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini
tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina
Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus,
Suriah


Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id



Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail - You care about security. So do we.

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke