Baraya, ieu aya seratan nu (numutkeun abdi) sae pikeun ngilo. Hanjakal teu tiasa dirunut saha nu nyeratna. Punten ka nu nampi ngaduakalian.
 
Baktos
y

 ~Di copy dari komentator forum media Indonesia online - Bumisp

Ilmu pengetahuan adalah pembuka wawasan bagi intelektual2 yang diciptakannya. Namun tanpa kedalaman intuisi pemaknaan, ilmu pengetahuan bisa sekaligus berarti keterjebakan. Keterjebakan atas pola2, patron2 batasan2 ideal hukum pemberlakuan, yang terkadang justru tidak bercermin pada kondisi real dimana seorang intelektual berada. Seperti sebuah parodi, kadang "wawasan luas" seorang intektual bisa lebih tepat digambarkan sebagai "wawasan jauh" atau "wawasan seberang" yang tidak berelasi positif dengan hukum keberadaan dimana penerapan ilmu pengetahuan atas wawasan tersebut bisa berdaya guna.

Ini yang saya yakini sebagi KETERJEBAKAN INTELEKTUAL. Dimana kebanggaan pemikiran2 sang intelektual justru mengebiri hukum keberadaan ilmu pengetahuan untuk menjadi senjata pembangun peradaban ideal manusia – pada ruang, waktu , situasi, modal, keadaan beserta kelebihan-keterbatasan yang ada. Ini yang secara tidak langsung bisa melahirkan superego2 intelektual yang mempercayai penilaian-penalaran keilmuan mereka secara mutlak, untuk pembenaran2 motivasi2 tindakan pribadi, golongan yang sesungguhnya salah arah atau menyalahi hukum keseimbangan atas sinergi keberadaan.

Sebuah contoh yang saya yakini terjadi pada era globalisasi: Pendewaan hukum2 ekonomi pasar bebas yang terkesan canggih dan ideal membentuk persaingan bisa membutakan para intelektual bangsa untuk mampu bercermin pada realita bahwa hukum tersebut tidak-atau belum layak diterapkan pada bangsa yang masih terbelakang atau tertindas. Terciptalah intelektual2 lokal yang membenarkan penyeberangan idealisme mereka untuk lebih memprioritaskan integritas mereka pada pengayoman hukum keilmuan "ideal" tersebut sebagai dasar motivasi, dengan hilangnya kemampuan nalar atas situasi kondisi masyarakat yang justru semakin terpuruk dan tertindas disekitar mereka.

Bukankah tujuan dasar ilmu pengetahuan adalah membangun peradaban manusia yang lebih luhur dan berkeadilan? Mengangkat harkat martabat manusia? Sudah terbuktikah? Semakin menjauhkah? Fakta2 apa saja yang ada-terjadi disekitar kita? Mana yang harus didahulukan? Ilmu pengetahuannya? Atau bukti bentuk peradaban yang diciptakannya?

Tidak adanya bentuk orisinal, kejelasan atau kemandirin konsep pembentukan intelektual inilah yang secara tidak langsung menciptakan kebobrokan moral atau terciptanya intelektual2 semu bagi bangsa. Kebobrokan "moral" disini dalam artian mereka menyalahi hukum2 keadaan, situasi serta keberadaan masyarakat yang ada disekitar mereka. Mereka tidak bercermin, bidang keilmuan yang mereka kuasai tidak mempunyai arah yang jelas, sinergi, serta sensitivitas komunal pada penerapannya.

Motif2 pembenaran tindakan2 individu atau kelompok adalah bagian pemujaan ritual atas bidang keilmuan. Tidak ada kekuatan integral yang menyatukan pandangan atau dasar bagi intelektual2 tersebut untuk berdaya guna bagi bangsa. Intelektual dengan bidang-bidang keilmuan mereka berjalan sendiri-sendiri, atau bahkan mengemban misi global yang merugikan bangsa, mengingat hukum sinergi secara komunal tidak dijadikani bagian dominan yang mendasari dilahirkannya para intelektual tersebut yaitu - semangat kebersamaan dan kebanggaan berbangsa. Terutama bagi mereka yang kelak memegang tampuk kekuasaan, pelaku2 ekonomi dominan yang membentuk pola2 kemasyarakatan disekitarnya. Sebagian intelektual bangsa sama sekali tidak memiliki sentimen kebangsaan.

Pada negara2 maju unsur sentimen semacami ini memang layak untuk tidak ditonjolkan atau dipermasalahkan. Mengingat mereka tidak dalam posisi bertahan atau mengejar ketertinggalan dalam lingkup komunal mereka sebagai bangsa. Sebuah unsur yang saya yakini layak diterapkan dan kembali dibangkitkan pada bangsa2 dunia ketiga terutama yang masih jauh terbelakang. Sebuah contoh adalah politik dumping Jepang yang merupakan gambaran dimana unsur sensivitas kebersamaan semacam ini bisa mengangkat mereka dari ketertinggalan. Intusi dasar keilmuan sepatutnya memberlakukan idealisme pembedaan keberdayaan penerapan keilmuan antara negara maju dengan miskin atau berkembang untuk diterapkan. Tidak ada kebenaran ilmu pengetahuan mutlak-similar bagi para intelektual pada situasi yang jauh berbeda. Kekalahan nalar atau intuisi dalam hal inilah yang menyebabkan arus keterseretan yang justru tidak menguntungkan dan memihak para intelektual tersebut dalam sudut pandang secara keseluruhan.

Pandangan menyeluruh atas sinergi keilmuan sebagai kausa atas kenyataan-lah yang sepatutnya mendasari pemikiran2 intelektual Tanpa hal tersebut. intelektualitas justru bisa menjadi unsur negatif dalam kehidupan kemasyarakatan sebuah bangsa, karena ilmu yang diterapkan tidak membangun secara positif keberdayaan masyarakat, atau justru sebaliknya menciptakan kehancuran semisal menciptakan kepincangan yang semakin mendalam antar golongan, kehancuran moral, sarana dominasi bangsa lain, etc. Ironisnya mereka tetap akan bisa bergelar bahkan dipuja oleh awam sebagai kaum …intelektual.

Kedangkalan mencerna secara mendasar makna dan fungsi keilmuan inilah yang mengakibatkan lahirnya sosok intelektual2 yang kering makna. Kaum2 yang mengaku cerdas, namun semakin merendahkan peradaban masyarakat dan bangsa mereka sendiri. Kaum yang sesungguhnya tidak berguna bagi masyarakatnya – namun masih dipandang intelek pada kesalahan pandangan awam penafsiran.

Ilmu pengetahuan sepatutnya dikembalikan pada kesadaran dasar kegunaan untuk memuliakan manusia dan peradabannya. Bukan sekedar varibel2 global yang harus diterapkan secara mutlak pada segala bentuk tatanan, waktu, tempat, situasi yang semakin mengebiri kemampuan untuk menembus batas pelahiran orisinalitas2 pemikiran baru. Sesuai hukum keseimbangan, ilmu pengetahuan sepatutnya berlaku dinamis sesuai hokum keberadaan dimana intelektual2 tersebut berada. JUST FREE YOUR MIND!

Bahkan tatanan peradaban bangsa yang dianggap paling ideal sekalipun terbentuk melalui fase2, proses2 dan tingkatan2 tertentu. Disinilah ketajaman intuisi-nalar sepatutnya mampu membuka mata atas apa yang kita miliki dan mampu berdayakan- pada saat ini. Bukan sekedar mengambil-menerapkan secara mutlak keilmuan yang telah jauh didepan – untuk situasi kemasyarakatan yang masih dalam format ketertinggalan bertahun-tahun yang lalu.

Intelektual2 yang berguna harus memiliki keberpihakan atas keterikatan keberadaan bersama dalam sebuah wilayah sebagai bangsa. Kejelasan arah pembangunan, identitas kebanggaan, latar belakang, sejarah persatuan, budaya, etc, hal yang biasa diremehkan pada derasnya era informasi global. Hal biasa disebut sebagai semangat NASIONALISME. Kedengaran kuno dan kolot, namun hal tersebut bukanlah sebuah kebodohan. Melainkan sebuah pilihan wajib mengingat masyarakat2 dunia memang terbagi2 atas bangsa-perbangsa dengan persaingan diantaranya. Tanpa semangat tersebut bangsa ini jelas hanya akan terisi oleh intelektual2 beserta masyarakat yang kocar-kacir, berdiri sendiri2 serta merelakan diri untuk dijadikan alat atau korban2 peradaban-eksploitasi bangsa2 lain. Intelektual kita sepatutnya tidak mengidealkan ilmu pengetahuan yang tidak berpihak pada realita atau membawa unsur negatif bagi bangsa.

Bukan masalah bentuk, kecerdasan, tatanan, konsep faham, uraian, cara, penerapan, ciptaan, etc yang patut dipandang sebagi unsur utama penilai keberadaan intelektual pada lingkup wilayah ia berada. Melainkan tingkat keberdayaan harkat dan martabat masyarakat secara keseluruhanlah, yang harus dijadikan pedoman skala keberhasilan keilmuan - serta bukti intelektualitas mereka untuk mendasari terbentuk dan tegaknya sebuah bangsa yang adil makmur tanpa penindasan

Salam,


--------
Yudi,
engkau hanyalah kumpulan dari hari-hari yang terhitung, bila berlalu satu hari, hilanglah pula sebagian darimu [Hasan al Bashri]


Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail - Helps protect you from nasty viruses.

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke