Warisan Leluhur yang Bertahan Sejak Abad 17
(PR poe ieu, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/05/0406.htm)


IKATAN daun congkok berwarna hijau tua berbentuk panjang diikat tali yang terbuat dari bambu muda. Sama halnya dengan daun cariang yang berbentuk bulat, keduanya disusun rapi terpisah untuk kemudian digantung dalam rancatan. Sementara kayu baler kering dan haur dipilah-pilah sesuai ukuran diikat hingga jumlahnya mencapai 10 ikatan.

Ikatan kayu dan bambu tidak dijauhkan letaknya dari bahan-bahan lain seperti kelapa tua maupun muda (dawegan), beubeutian (umbi-umbian), serta 10 ekor ayam muda yang dimasukkan dalam karamba. Sementara padi yang masih dengan tangkainya belum dikeluarkan warga kampung. Demikian pula halnya sesajian berupa rurujakan, congcot tumpeng, bakakak ayam, air bunga dan berbagai olahan seperti bubur merah, bubur putih, ketan hitam, ketan putih serta makanan khas pedesaan masih diolah kaum wanita disejumlah rumah yang ditunjuk sebagai dapur panieun.

Dadasar yang dilakukan warga adat Rancakalong Kab. Sumedang dari Rurukan Rancakalong, Pasir Biru, Cibunar, Cijere, dan Legok Picung untuk menggelar upacara adat Ngalaksa. Bahkan Minggu (3/7) lalu sejak pukul 4.00 WIB kesibukan terlihat luar biasa di setiap sudut perkampungan, karena Bupati Kab. Sumedang H. Don Murdono, S.H., M.Si., sebagai Pembina Adat dan TB. Hasanuddin sebagai Pemangku Adat akan membuka resmi Upacara Adat Ngalaksa yang sebenarnya jatuh pada Senin (4/7). Hadir dalam pembukaan H. Otin Herlianto, Ketua DPRD Kab. Sumedang Taufiq Gunawansyah S.Ip., Kadisbudpar Jabar Drs. H.I. Budhyana, M.Si.,

Sejak pukul 7.00 WIB, hampir seluruh warga dari lima desa Kec. Rancakalong Kab. Sumedang sudah di Jalan Raya Rancakalong yang menghubungkan Kota Kec. Rancakalong dengan Kota Kab. Sumedang dan Subang. Warna kain hitam terlihat mendominasi dibandingkan warna lainnya. Kaum perempuan mengenakan samping dan kebaya, sementara kaum pria mengenakan baju pangsi (baju hitam) lengkap dengan totopong-nya (ikat kepala).

Menjelang pukul 8.00 WIB iring-iringan warga mulai berjalan menuju tempat yang dijadikan pusat pertemuan seluruh warga dari lima rurukan di Rancakalong. Tempat yang dituju terminal Rancakalong yang luasnya k.l. 300 meter persegi.

Sepanjang jalan raya yang dilalui, jentreng musik Tarawangsa terus dimainkan. Sekelompok anak kecil berkain kebaya dan pangsi seperti tidak mengenal lelah terus menari diikuti orang tua memainkan rengkong, musik yang dihasilkan dari bunyi suara bulir-bulir padi yang ditandu dengan ikatan tali ijuk. Tidak ketinggalan seni tradisi khas Sumedangan Kuda Rengong dan Kuda Lumping. Di belakangnya sekelompok orang dewasa memainkan dangdutan dengan formasi alat musik gendang, goong dan terompet Sunda.

Pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa tahun ini sudah disepakati tetua, pemangku, pembina maupun warga adat untuk memulai rangkaian ritual adat yang diawali Meuseul Balak atau ritual menumbuk padi yang akan dijadikan adonan makanan, pada Minggu (3/7). "Sejak bewara serta ngayu disepakati Minggu (3/7) diselenggarakan Ngalaksa karena setiap hari Senin di sini ada pantangan untuk tidak melakukan kegiatan yang ada hubungannya dengan alam," ujar Ki Soma seorang tokoh adat Rancakalong.

**

NGALAKSA merupakan upacara adat yang dilakukan warga adat Rancakalong yang kini sudah menjadi kecamatan dengan lima rurukan yang kini menjadi desa, benar-benar menjaga warisan leluhur yang diperkirakan sudah dilakoni sejak Abad ke-17.

Upacara yang tak hanya diwarnai pementasan kesenian jentreng tarawangsa, tapi juga dengan ritual yang penuh makna sebagai penghormatan pada Tuhan YME, alam dan sesama manusia, yang semuanya berpusat kepada dewi segala dewi, Dewi Sri yang di kalangan masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan Sang Hiang Sri atau Nyi Poha Aci.

Menurut Ki Soma, dulunya Ngalaksa dilaksanakan 3 atau 5 tahun sekali, dikaitkan dengan jadwal bersawah. Seperti halnya tradisi masyarakat agraris, Ngalaksa dimaksudkan menghormati arwah leluhur yang telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit padi, juga sebagai rasa syukur atas keselamatan, dan rezeki yang dilimpahkan dalam kehidupan petani.

Awalnya Ngalaksa dilakukan orang perorangan/keluarga. Kini, upacara dilakukan secara bergilir setiap tahun oleh warga rurukan se-Kec. Rancakalong dan ditempatkan di Kampung Rancakalong.

Upacara Ngalaksa diawali dua minggu sebelumnya dengan dilakukan bewara. Tetua adat memberitahu seluruh tokoh adat mengenai waktu pelaksanaan upacara adat Ngalaksa, yang tahun ini jatuh pada hari Senin, 4 Juli 2005.

Setelah bewara disebar langkah selanjutnya dilakukan Ngayu. Dalam bahasa Sunda ngahayu-hayu atau mengajak warga untuk bersama menyiapkan keperluan upacara.

Kesanggupan warga untuk melaksanakan upacara ditindaklanjuti melakukan Mera. Suatu bagian dari rangkaian kegiatan berupa membagi-bagi tugas dan bahan yang harus dibawa masing-masing warga rurukan.

Setelah semua selesai baru ritual Ngalaksa diadakan. Dimulai dari Meuseul Bakal, yaitu prosesi menumbuk padi diiringi rajah atau doa-doa yang dilakukan sejak 4.00 WIB dan baru akan berakhir menjelang tengah hari. Setelah Meuseul Bakal, Selasa (5/7) hari ini rencananya dilakukan ritual Ngibakan atau Digeulisan. Ritual ini adalah mencuci beras dengan menggunakan air combrang atau kembang laja.

Usai ritual Ngibakan atau Ngageulis, beras yang sudah dicuci dimasukan keruangan Pangineuban. Yaitu ruangan yang berada di bangunan panjang disebut bale-bale.

Selama tiga hari tiga malam, warga adat melakukan tarian yang diiringi Jentreng Tarawangsa. Didahului oleh penari pria yang biasanya seorang ketua adat sebagai penari pembuka. Jentreng Tarawangsa berlangsung semalam suntuk. Sebuah pagelaran yang hanya diiringi alat musik sederhana, biola purba dua dawai dan jentreng atau kecapi dengan tujuh dawai.

Alunan musiknya terasa lamban dan monoton, namun itulah yang membuat pendengar hanyut terbawa alunan musik. Konon, bila salah seorang penari mengalami trance, pertanda Dewi Sri menerima penghormatan mereka.

Beras yang disimpan selama tiga hari tiga malam, memasuki hari keempat diambil dan kembali ditumbuk dalam prosesi nipung. Ritual selanjutnya tepung beras diberi bumbu berupa air combrang, kelapa, gula merah dan apu (kapur) sebagai bahan pengawet. Untuk seterusnya dibungkus daun congkok dan kemudian dibagikan kepada seluruh warga adat.

Tahun ini Rurukan Pasir Biru mendapat tugas melakukan kegiatan ritual Ngalaksa yang diadakan di Kampung Budaya Rancakalong. Dipimpin Ki Ikarmita sesepuh adat Pasir Biru selama lima hari warga akan melakukan seluruh rangkaian prosesi Ngalaksa. (Retno HY/PR)***



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke