Jumat, 22 Juli 2005

440_garis_atas.gif (100 bytes)
Paguyuban Pasundan & Perubahan

PAGUYUBAN Pasundan Rabu lalu (20/7) mengakhiri kongresnya yang ke-40, setelah berlangsung sejak tanggal 18 Juli 2005 di Hotel Via Renata Cianjur. Penutupan kongres bertepatan dengan hari ketika gagasan pendirian organisasi ini dicetuskan 90 tahun yang lalu di Batavia oleh R. Djoendjoenan Setiakoesoemah dan R. Koesoema Soejana.

Lazimnya perhatian terhadap kongres sebuah ormas yang senantiasa tertuju pada pertanyaan dan dugaan siapa saja yang akan dipilih menjadi pimpinan, maka kongres organisasi yang pernah memiliki karismanya dalam sejarah pergerakan Indonesia tahun 1920 dan 1930-an ini telah menjawabnya. Jika diharap bahwa jawaban itu akan mengandung kejutan atas nama perubahan, harapan itu ternyata luput.

Tapi sebaliknya, dari konteks yang berbeda, hasil kongres itu juga mungkin bisa disebut sebagai sebuah kejutan bahwa ternyata duet H. Syafei dan H. Didi Turmudzi kembali terpilih secara aklamasi sebagai Pupuhu dan Sekretaris Jenderal Paguyuban Pasundan periode 2005-2009. Dan itu juga terjadi dengan lagi-lagi terpilihnya Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita sebagai Ketua Dewan Pangaping.

Dalam konteks hasil Kongres Paguyuban Pasundan yang baru lalu, dengan masih terpilihnya wajah-wajah lama di jajaran elitenya, apresiasi kita pun digiring ke arah pemikiran tentang kualitas kongres tersebut. Tentu saja, ada tidaknya perubahan di jajaran elite bukanlah ukuran buat menilai kualitas sebuah kongres.

Bukankah perubahan juga sebenarnya menyimpan persoalannya sendiri yang tak kalah rumitnya? Misalnya, apakah perubahan itu harus dilakukan karena sebuah kesadaran, kebutuhan, atau keinginan? Dan tentu saja semuanya adalah persoalan yang mesti dibedakan.

Namun lepas dari hal itu, dalam konteks tak adanya perubahan dalam jajaran elite yang dihasilkan oleh Kongres Paguyuban Pasundan ke-40, memang mungkin agak disayangkan. Hanya soalnya itulah kemauan para peserta kongres.

**

TAPI justru dari sudut inilah politikus senior Tjetje Hidayat Padmadinata memandangnya dari konteks seperti apa sebenarnya kualitas Kongres Paguyuban Pasundan kemarin. "Sebenarnya saya menilai tidak ada mutu yang layak untuk saya tanggapi perihal produk dari kongres itu. Tapi karena saya diminta pendapat ada baiknya saya terbuka," ujar Tjetje dalam percakapan via telefon (21/7).

Tjetje mengatakan bahwa ia sudah menduga kongres itu tak akan menghasilkan perubahan apa pun. Bahkan itu akan sangat sulit terjadi dalam Paguyuban Pasundan. Hal itu bersebab pada pandangannya bahwa di zaman "edan" seperti ini banyak orang berubah menjadi oligarki dalam organisasi dengan berbagai vested interest-nya.

"Intelektual muda di Paguyuban Pasundan pun ternyata tidak mampu dan tak berani melancarkan gerakan regenerasi kepemimpinan. Hasil kongres kemarin membuktikan hal itu. Baru di tingkat wacana saja," ujar Tjetje.

Ia pun bahkan merasa pesimis bahwa Paguyuban Pasundan akan mampu memainkan perannya di hadapan tantangan global. Jangankan tantangan global, tantangan nasional saja belum tentu akan mampu dijawabnya. "Ini statis. Mengikuti gerak pembaruan di Jabar saja akan sulit. Tapi bagi saya, pribadi-pribadi di dalam Paguyuban Pasundan adalah salah satu potensi sosial di Jabar, namun bukan organisasinya."

Pandangan dan harapan bahwa akan ada perubahan dalam Kongres Paguyuban Pasundan juga datang dari budayawan Prof. Saini KM. Namun demikian, ketika harapan itu ternyata luput, berbeda dengan Tjetje Hidayat Padmadinata, Prof. Saini KM merasa tak bisa menilainya terlalu jauh, sebab ia mengaku tidak mengetahui konstelasi politik yang terjadi di dalamnya.

Namun demikian, ia menegaskan tantangan Paguyuban Pasundan ke depan untuk memainkan perannya di lapangan kebudayaan dan pendidikan bukanlah sesuatu yang ringan. Terlebih lagi ketika waktu dan ruang hari ini dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan monokultur yang meniadakan keberagaman budaya daerah di Indonesia.

Di sinilah Paguyuban Pasundan harus mampu menjawabnya dengan mengangkat kembali kearifan lokal budaya Sunda. "Tantangan akan menjadi lebih berat jika tak ada pembaruan dalam Paguyuban Pasundan. Orang Sunda hanya akan jadi konsumen. Paguyuban Pasundan harus kembali pada etos dan khittah-nya dulu di tahun-tahun 1920-an. Pamor Paguyuban Pasundan tidak sehebat dulu. Kegiatan dan aktivitasnya terkesan dikalahkan oleh LSM-LSM baru yang penuh semangat. Sebuah organisasi biasanya akan maju jika ada orang yang 'mabuk' oleh cita-cita," ujar Prof. Saini KM.

Akhirnya kalimat terakhir Prof. Saini K.M. itu rasanya jelas ke arah mana konteksnya. Sebuah perubahan dan pembaruan memang tak akan bisa diharap terjadi jika banyak orang bukan "mabuk" oleh cita-cita. Tapi entah oleh apa. (Ahda Imran)***

SUPLEMEN

Suplemen Otokir

IKLAN

Iklan Mini Baris


Start your day with Yahoo! - make it your home page

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




SPONSORED LINKS
Culture Corporate culture Hawaiian culture
Hispanic culture Jewish culture Organizational culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke