Catatan: Esai ini awalnya posting yang saya kirim ke sejumlah milis dan kenalan di Net. Ada setidaknya 30 respons, dengan masukan/wawasan berbeda-beda; mulai dari yang dibuang saja hingga revisi. Setelah direvisi posting ini dimuat dalam kolom Selisik, Republika, 14/08/05. Saya berterima kasih kepada semua orang yang memberi respons. Maaf bila menerima cross posting.
[SELISIK] Naskah yang Ditolak Sebaiknya Diapakan? --------------------------------------- >> Anwar Holid DALAM rentang karir saya yang masih pendek di dunia penerbitan, gagal merekomendasikan naskah untuk diterbitkan setelah copy editing (baca pertama) kerap mengganggu pikiran, tak jarang menorehkan persoalan yang sulit ditenangkan. 'Naskah yang ditolak sebaiknya diapakan?' tanya saya di beberapa milis, ingin dapat respons dari banyak orang dan wawasan mereka yang lebih pengalaman. Pilihan pertama yang paling mudah memang mengembalikan ke penulis; baik dengan komentar kenapa ditolak, ditambah saran, atau sekadar surat penolakan. Tapi apa tidak ada alternatif perlakuan dari penerbit terhadap naskah yang ditolak? Misalnya mendiskusikan agar penulis & penerbit mencari cara untuk menerbitkan naskah, menciptakan strategi agar naskah jadi sesuatu yang memiliki bobot, keistimewaan; atau penyunting (pembaca awal) menempuh sudut pandang baru agar bisa menemukan keunggulan naskah. Akhirnya naskah itu kembali memiliki peluang terbit, meski nanti penjualannya biasa saja, tak sempat membuat riak, tak sempat diperbincangkan, apalagi jadi bestseller. Sering saya membaca naskah yang tak bisa direkomendasikan agar diterbitkan, meskipun naskah itu sebenarnya sudah utuh; hanya saja belum 'menggerakkan' atau tidak sampai mampu mengesankan agar segera diusulkan diterbitkan. Naskah seperti itu memiliki sedikit kekurangan, tapi akibatnya tidak jadi terbit. Padahal kalau dilihat di pasar, toko buku, selalu ada buku yang kualitasnya buruk, biasa saja; bahkan ada yang diterbitkan tergesa-gesa, disertai banyak kesalahan. Lebih parah, bahkan terbit karena dipesan, ada yang berani bayar (membiayai) asal buku itu terbit, meski isinya sampah atau kebohongan. Bila infrastruktur penerbitan sudah kuat, tampaknya menerbitkan dan menjual buku kadang-kadang sekadar masalah mengemas, bagaimana melakukan strategi pemasaran, promosi, dan penjualan agar buku akhirnya dibeli, diserap masyarakat. Soal isi, terserah respons pembaca; kan ada peribahasa 'sampah dari orang lain bisa dianggap sebagai harta karun bagi orang lain.' Mau bagus, jelek, tidak mengesankan, medioker, yang penting hitung-hitungan ekonomi dan ongkos produksi tercapai. Kan setelah terbit penulis puas, kerja kerasnya membuahkan hasil, memungkinkan dia mendapatkan untung, begitu juga dengan penerbit. Karena itu barangkali bagus jangan terlalu banyak pertimbangan bila menerbitkan naskah, toh soal baik-buruk juga relatif. Asal ada poin untuk alasan kenapa naskah itu layak terbit, terbitkan saja; adanya kekurangan isi, argumen mentah, kelemahan epistemologi, penyampaian yang buruk, jangan jadi keberatan, alasan hingga akhirnya naskah itu gagal terbit. Sebab bila terlalu rewel, menuntut, menimbang, selesai baca naskah akhirnya menolak, menganggap belum layak terbit. Satu sisi kans penulis tertutup; di sisi lain penerbit gagal mengeluarkan judul baru, karena takut rugi atau citranya buruk. Padahal penulis sudah bekerja keras, merasa tugasnya menulis selesai, dia sendiri mungkin kehabisan ide untuk menilai lagi atau memperbaiki naskah itu. Memang ada proses rewriting (tulis ulang) dan penyuntingan; tapi barangkali itu proses yang sulit, selain menguras energi, waktu dan biaya. Apalagi dalam konteks Indonesia, jarang sekali ada penerbit yang mau membiayai proyek penulisan naskah yang dinilai potensial jadi buku. Kenapa tak ambil langkah sederhana, begitu ada naskah yang relatif utuh, ada isinya, terbitkan saja, meskipun masih memiliki kekurangan. Bukankah nanti ada revisi, edisi baru, bahkan kemungkinan penjelajahan menulis buku baru? ALTERNATIF lain memperlakukan naskah ditolak adalah mencari, menyewa lembaga penerbitan bernama 'literary agent.' Meski masih sangat asing, usaha ini sudah dirintis sejumlah pihak; mereka bisa memberi sejumlah layanan termasuk evaluasi naskah, analisis isi, menyunting, sampai menawarkan naskah sekaligus kontrak pada penerbit yang dianggap potensial. Istilahnya menjadi 'dokter buku.' Salah satu manfaat paling berguna dari literary agent adalah membantu penulis memoles, menciptakan naskah sampai layak ditawarkan ke penerbit. Mereka membantu agar penulis jangan sampai mengirimkan 'unsolicited manuscripts', yakni naskah yang sebenarnya tak diminta, yang akhirnya sangat mungkin tak dibuka oleh penyunting, apalagi sempat dibuka atau dilirik isinya---karena penyunting sudah begitu sibuk dan rutin. Di industri penerbitan yang sudah besar dan kompleks, naskah menumpuk tak sempat dilihat itu dinamai 'slush pile', alias 'gundukan lumpur.' Kan kasihan. Betapa orang menulis dengan harapan diterbitkan, karena suatu keadaan atau halangan, naskah itu tertimbun, menumpuk, tak bisa terbit. Tapi barangkali memang ada saatnya tidak semua naskah bisa terbit; tidak semua kerja keras penulis, yang berhasrat mewujudkan buku, ingin menerbitkan ide yang awalnya abstrak, ada dalam imajinasi, gagasan, akhirnya berbentuk ikatan pikiran utuh, yang bisa dinalar dan diraba. Persis petani, kadang-kadang harus gagal panen, meski sudah kerja keras, menanam, beli pupuk, menyiangi, dan seterusnya. Tidak semua yang berlatih keras akhirnya menang. Jadi bila ada naskah dinilai belum atau tidak layak terbit, penulis harus tahu gelagat adanya kekurangan dalam tulisan; barangkali harus direvisi dan dipoles lagi. Penolakan adalah kesempatan bagi penulis untuk lebih tega pada diri sendiri dan karyanya. Penulis harus mempertanyakan segala sesuatu, mencari setiap kemungkinan kesalahan, mencermati sekali lagi kalimat atau argumen yang masih meragukan, barangkali ada pilihan menjadikan lebih baik. Pilihan terakhir, bila penulis telah merasa, mengukur, menilai, menyiapkan bahwa naskah itu matang, tak punya celah untuk diserang, namun tetap ditolak, saatnya dia berpikir untuk menerbitkan sendiri. Dengan begitu dia belajar berisiko atas bukunya; bertaruh atas tulisan dan gagasan yang dia yakini. Lepas dari kekurangannya, self-publishing memungkinkan naskah yang ditolak siapa pun akhirnya bisa hadir, untuk kemudian mencari, menemui pembacanya sendiri. Barangkali, itulah pertarungan terakhir bagi naskah yang ditolak.[] Stones taught me to fly Love taught me to cry Life taught me to die © 2002, Damien Rice ('Cannonball') ____________________________________________________ Start your day with Yahoo! - make it your home page http://www.yahoo.com/r/hs ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hdo000p/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705013556:TM/Y=YAHOO/EXP=1124082268/A=2896129/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail">DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today</a>!</font> --------------------------------------------------------------------~-> Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/