Wilujeng
enjing para wargi sadayana..
Ieu aya ti milist sabeulah.
Punten
teu disundakeun…
Baktos
Lukman
________________________________________________________________________________________________________________________
Senin, 26 September 2005, Republika
Rahasia Kenaikan Harga BBM
Oleh : Revrisond Baswir
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM)
dalam waktu dekat ini tampaknya sudah tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Presiden SBY beberapa
hari lalu, walaupun
besarannya belum ditetapkan, pemerintah sudah
berketetapan hati untuk
menaikkan harga BBM untuk kedua kalinya tahun ini
pada 1 Oktober yang
akan datang.
Berbeda dengan persiapan kenaikan harga BBM di
masa lalu, yang didahului
dengan kampanye sosial untuk memperoleh dukungan
masyarakat, pemerintah
kali ini tampaknya tidak memerlukan banyak penjelasan
untuk mendasari
keputusan yang hendak dibuatnya.
Sebagai misal, pemerintah kini tidak merasa perlu
untuk mengampanyekan
bahwa subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya,
atau penghapusan
subsidi BBM perlu dilakukan untuk mendorong
penggunaan energi
alternatif.
Alih-alih melakukan kampanye, sebagaimana
dikemukakan Wakil Presiden
Yusuf Kalla, pemerintah kini justru secara terbuka
menyatakan
kesiapannya untuk menghadapi segala risiko
pembuatan keputusan tersebut.
Disengaja atau tidak, hari kesaktian Pancasila
yang jatuh tepat pada 1
Oktober, tampaknya sengaja dipilih sebagai bagian
dari kesiapan untuk
menghadapi segala risiko tersebut.
Jika demikian halnya, faktor apakah sesungguhnya
yang mendorong
pemerintah untuk mengambil keputusan yang sangat
tidak populer itu?
Semula sempat beredar argumentasi yang mencoba
menjadikan kenaikan harga
minyak mentah internasional sebagai alasan yang
utama. Tetapi
argumentasi tersebut ternyata sangat mudah
dipatahkan.
Berdasarkan data-data yang tersedia, transaksi ekspor-impor
migas
Indonesia ternyata terus-menerus mengalami surplus. Surplus transaksi
ekspor-impor migas Indonesia untuk tahun 2004 mencapai
6,5 miliar dolar
AS. Tahun 2005 dan 2006, surplus transaksi
ekspor-impor migas Indonesia
diperkiran meningkat menjadi 9,8 miliar dolar AS
dan 7,5 miliar dolar
AS.
Artinya, alih-alih dapat dipakai sebagai argumen
untuk menaikkan harga
BBM, kenaikan harga minyak mentah di pasar
internasional justru lebih
banyak menguntungkan Indonesia. Semakin tinggi harga
minyak mentah di
pasar internasional, semakin besar surplus
transaksi ekspor-impor migas
Indonesia.
Sejalan dengan itu, argumentasi lain yang dicoba
dipakai pemerintah
untuk mendukung kenaikan harga BBM adalah soal
dampak kenaikan harga
minyak mentah internasional terhadap pembengkakan
subsidi BBM. Menurut
pemerintah, kenaikan harga minyak mentah di pasar
internasional
berdampak pada semakin besarnya kesenjangan antara
harga BBM di
Indonesia dan harga BBM di negara lain.
Walaupun angka-angka besaran subsidi BBM yang
disodorkan pemerintah
cenderung mendukung argumentasi ini, tetapi
pemerintah sesungguhnya
belum mengemukakan cerita yang sebenarnya di balik
angka-angka tersebut.
Sebagaimana diketahui, besaran subsidi BBM yang
tercantum dalam APBN
dihitung dengan asumsi bahwa semua BBM yang
dikonsumsi masyarakat
diperoleh dengan cara mengimpor. Padahal, sebagai
negara produsen migas,
hanya separuh dari hasil eksplorasi migas di Indonesia yang
di ekspor.
Sisanya diolah di dalam negeri untuk dikonsumsi
masyarakat.
Dengan latar belakang seperti itu, berarti hanya
sekitar separuh dari
nilai keseluruhan subsidi BBM yang tercantum dalam
APBN yang benar-benar
dibiayai secara tunai. Sisanya hanyalah rekening
offset yang saling
meniadakan antara pos penerimaan migas dan pos
subsidi BBM. Artinya,
dari Rp 100 triliun subsidi BBM yang tercantum
dalam APBN-P (perubahan
kedua), hanya sekitar Rp 50 triliun yang dibiayai
secara tunai.
Kini mari kita bandingkan nilai subsidi tunai BBM
tersebut dengan beban
angsuran pokok dan bunga utang. Sebagaimana
tercantum dalam APBN-P,
angsuran pokok dan bunga utang luar negeri tahun
2005 berjumlah Rp 53
triliun. Sedangkan angsuran pokok dan bunga utang
dalam negeri, dengan
asumsi pelunasan pokok mencapai Rp 30 triliun,
seluruhnya berjumlah Rp
72 triliun.
Berdasarkan angka-angka tersebut dapat disaksikan
betapa subsidi BBM
sama sekali tidak dapat dipakai sebagai alasan
meningkatnya beban fiskal
dan defisit anggaran pemerintah. Beban fikal
terbesar justru bersumber
pada sangat besarnya beban pembayaran angsuran
pokok dan bunga utang.
Jumlah keseluruhannya untuk tahun 2005 mencapai Rp
125 triliun.
Bila demikian halnya, mengapa pemerintah merasa
lebih terganggu oleh
subsidi tunai BBM yang hanya berjumlah Rp 50
triliun? Sebagaimana sudah
sering saya kemukakan, jawabannya terletak pada
penuntasan pelaksanaan
agenda liberalisasi sektor migas sebagaimana
'diperintahkan' oleh IMF
dan Bank Dunia. Sesuai dengan UU Migas No 22/2001,
yang rancangannya
dibuatkan oleh USAID itu, sektor hilir migas Indonesia kini
terbuka
untuk dimasuki oleh pengusaha swasta.
Sebab itu, terlepas dari harga minyak mentah di
pasar internasional,
tahun 2005 ini memang telah dijadwalkan sebagai
tahun terakhir
tercantumnya subsidi BBM dalam APBN. Selanjutnya,
harga BBM akan
dilepaskan ke mekanisme pasar.
Perlu diketahui, sehubungan dengan pemberian izin
kepada para pengusaha
swasta untuk memasuki sektor hilir migas, antara
lain membuka SPBU, saat
ini sudah terdapat sekitar 107 investor asing dan
domestik yang memiliki
izin prinsip untuk memulai usaha mereka.
Nah, sebagaimana dikemukakan oleh para pejabat
pemerintah, selama harga
BBM masih bersubsidi, selama itu para calon
investor migas ini tidak
dapat merealisasikan rencana investasi mereka.
Selamat berinvestasi.
EDITORIAL 19 September 2005
PERLU PERJUANGAN RADIKAL TAPI DAMAI
Dalam menghadapi konstelasi politik global yang
didominasi ekonomi
pasar, dimana secara substansial negara bangsa (nation
state) sudah
tidak ada lagi, terlibas oleh dominasi pasar
global, bahkan sampai
pemilihan presiden pun ditentukan oleh pasar, kita
perlu pikiran-pikiran
dan solusi-solusi yang bersifat radikal. Demikian
dikemukakan oleh staf
pengajar Fakultas Hukum UGM Denny Indrayana, SH,
LLM, Phd pada acara
diskusi 60 tahun Indonesia merdeka : Forum Kajian
Sosial Kemasyarakatan
(FKSK) yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) bekerjasama
dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) dan Majelis
Taklim Wisma Dharmala Sakti di kawan Jalan Jendral
Sudirman Jakarta hari
Rabu siang, 24 Agustus lalu.
Prof. Hikmahanto, Phd, Dekan Fakultas Hukum UI,
yang juga sebagai
pembicara waktu itu mengatakan bahwa hukum
internasional yang berlaku
sampai sekarang ini adalah hukum yang disepakati
bangsa-bangsa Eropa
setelah mereka menjadi negara-negara bangsa pasca
runtuhnya imperium
Rumawi setelah perjanjian Westphalia.
Dan hukum internasional ini sering
dijadikan alat politik oleh negara-negara besar
untuk memaksakan
kepentingannya kepada negara-negara berkembang
termasuk Indonesia.
Oleh
karena itu, mesti ada perjuangan alternatif untuk
keluar dari situasi
buruk seperti itu. Dan Khilafah sebagai salah satu
alternatif radikal
-meminjam istilah pak Denny-- perlu diperjuangkan
dengan cara-cara yang
simpatik dan non kekerasan. Semoga kita bisa
bersama-sama
memperjuangkannya.
Ya, kata radikal, sebagaimana juga kata
fundamentalis dan ekstrimis,
sering dipakai oleh pihak Barat dan antek-anteknya
untuk memojokkan
setiap kelompok Islam yang tidak mereka sukai.
Bahkan, kini ditambah
dengan kosa kata baru, khususnya sejak
"tragedi" 911: terorisme! Saking
hebatnya propaganda Barat, kata radikal yang
sebenarnya bersifat netral
itu (berasal dari kata radict yang artinya akar)
menjadi sangat buruk,
sehingga orang takut melakukan sesuatu yang
bersifat radikal!
Dalam situasi dunia yang hampir bangkrut karena
dominasi sistem
kapitalisme global yang begitu busuk dan
menghasilkan bangsa-bangsa
kafir penjajah imperialis yang rakus ini, apa yang
disampaikan kedua
pakar hukum di atas tampaknya patut disambut
dengan suka cita.
Sebab, siapapun kita tampaknya sudah jenuh dengan
segala kerusakan
akibat dari dipaksa dan ditindasnya umat ini
dengan sistem kehidupan
yang tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia
itu. Tentu kita "neg"
kalau melihat sajian iklan, sinetron, clip musik,
dangdutan, dan segmen
kriminal di TV manapun setiap hari. Belum lagi
kalau jalan di pasar,
terminal, dan mall...tidak sedikit remaja putri
obral aurat ala Jenifer
Lopez dan konco-konconya. Sementara para politisi
beretorika bak
pahlawan bangsa sambil meningkatkan rating
kemewahan mereka...bahkan ada
kisah di balik berita : dalam kunjungan ke
instansi kepolisian setingkat
Polda pun sopir-sopir mereka mengambili amplop-amplop
tebal buat sang
"wakil rakyat". Apalagi ke instansi
lain? Sementara berita teranyar
tentang rekening sejumlah jenderal polisi yang
kini tengah diteliti
Mabes Polri sampai ratusan milyar bahkan ada yang
mencapai bilangan
triliun. Bagaimana pula dengan jenderal angkatan
darat, laut, dan udara?
Sementara korupsi di berbagai departemen
kedengarannya masih berjalan
seperti sedia kala dan para bankir dan konglomerat
yang menggondol
triliunan uang negara santai-santai saja. Terlebih
setelah BPPN tempat
mengambil kembali aset-aset bernilai ratusan
triliun mereka dengan harga
super murah malah sudah disulap jadi lembaga lain
sehingga seperti
diputihkan urusannya.
Ya kita sangat "neg" tatkala mendengar
gebrakan KPK terhadap para
anggota KPU padahal dulu mantan presiden Jimmy
Carter yang ikut terjun
dalam "mengamati" proses pemilu
memuji-muji hasil pemilu di sini. Apa
sekaliber beliau yang tentunya diback up para
observer yang canggih
sampai tidak tahu ada kecurangan-kecurangan itu?
Belum lagi kalau kita jalan-jalan pada dua bulan
terakhir ini akan
melihat fenomena pembangunan pom-pom bensin baru
dengan kualifikasi baru
di sana-sini yang mengingatkan kita pada 102
pemain swasta yang akan
terjun dalam bisnis BBM di negeri ini pada bulan
November tahun ini.
Artinya bensin dengan harga pasar internasional
terpaksa harus kita
nikmati sebentar lagi. Revrison Baswier
menghubungkan hal itu dengan
anjloknya rupiah dan membubungnya harga minyak
sampai mendekati 70 USD
per barrel. Ya kita telah begitu "neg"
dengan statemen pemerintah yang
mencabut subsidi BBM (lengkap dengan retorika
program-program kompensasi
dana BBM) dengan alasan subsidi itu dinikmati oleh
orang-orang kaya,
sementara APBN tahun 2005 menunjukkankan alokasi
110 triliun untuk bayar
cicilan utang dan bunganya, meningkat sekitar 20
triliun dari APBN tahun
sebelumnya, tentu demi manusia dan lembaga super
kaya! Lebih-lebih 63, 9
triliunnya adalah sekedar untuk membayar bunganya
yang tentu ! dalam
pandangan Islam (agama mayoritas umat di negeri
ini) dosanya suaaaangatt
besaarr! Na'udzubillahi mindzalik!!
Maka harus ada solusi radikal! Yakni penggantian
sistem sekuler warisan
penjajah ini dengan sistem khilafah warisan
baginda Rasulullah saw. yang
akan menerapkan syariah secara kaffah, termasuk
penanganan urusan BBM
dan barang-barang tambang dan barang-barang milik
umum lainnya untuk
membiayai pendidikan unggul yang gratis, pelayanan
kesehatan yang prima
juga dengan cara gratis, baik untuk si kaya maupun
si miskin, menjamin
lapangan kerja, memberikan kemudahan kepada
swasta, dan lain sebagainya.
Juga untuk mengatur sistem politik dan
pemerintahan sehingga tidak ada
calo-calo politik dan jabatan yang ironisnya marak
di DPR , dan menjamin
bahwa orang yang memegang kekuasaan adalah yang
berhak lantaran
kemampuan, kepandaian, dan ketakwaan, bukan karena
punya uang banyak
atau dicukongi orang. Sistem yang sederhana, tanpa
menghambur-hamburkan
sumber daya seperti yang yang tampak pada fenomena
pilkadal! Dalam sebuh
hadits dikatakan bilamana diangkat seseorang untuk
jabatan kekuasaan,
sementara masih ada orang yang lebih layak
darinya, maka itu adalah
suatu pengkhianatan!!!
Namun tentunya untuk mewujudkan solusi tersebut
perlu perjuangan. Bahkan
perjuangan dengan jiwa dan semangat yang radikal.
Tapi dengan cara-cara
konseptual (pemikiran), politik, dan non kekerasan
alias damai.
Singkatnya radikal tapi damai!
Kalau kita lihat dalam riwayat, dakwah Rasulullah
saw. bersifat radikal.
Nabi saw. menyerukan : "Ucapkan Lailahaillallah
(tiada tuhan selain
Allah), niscaya kalian sukses" kepada kaum
Quraisy yang kental dengan
tradisi menyembah banyak tuhan berhala. Dan beliau
konsisten dengan
seruan tauhid itu dan berhasil mewujudkan tatanan
masyarakat dan negara
atas dasar itu sampai akhir hayat beliau saw.
Allahu Akbar!
Kenapa radikal tapi kok non kekerasan? Ada dua pertimbangan.
Pertama,
secara syar'i, Rasulullah saw. melarang penggunaan
cara-cara kekerasan
untuk perjuangan dakwah. Beliau pernah melarang
sahabat Abdurrahman bin
Auf r.a. tatkala minta izin memerangi kaum Quraisy
yang represif kepada
para pengemban dakwah di kota Makkah. Beliau bersabda: "Aku
diutus
dengan kemaafan, janganlah kalian memerangi qaum
(Quraisy) itu". Bahkan
dalam baiat Aqobah kedua, tatkala orang-orang
Anshar meminta izin
memerangi orang-orang di Mina, Nabi saw.
menolaknya dengan mengatakan:
"Kita belum diperintah untuk itu".
Kedua, tindakan-tindakan fisik akan mudah
diplintir oleh pers yang pro
kekufuran. Bahkan dalam skala yang lebih massif,
penggunaan senjata
untuk perjuangan memerlukan dukungan keuangan yang
besar, pasukan,
persenjataan, dan keahlian militer yang besar dan
terus-menerus. Cara
perjuangan seperti ini sangat rentan infiltrasi
(penyusupan) .
Negara-negara kafir imperialis semacam AS dan
Inggris punya kemampuan
dan jam terbang yang tinggi untuk memasukkan
agen-agennya yang
berpura-pura sebagai ahli agama yang akan
menawarkan bantuan untuk
meng-cover semua kebutuhan tersebut. Saat itulah
perjuangan bisa dengan
mudah digulung dan disimpangkan.
Oleh karena itu, ada beberapa karekter perjuangan
Rosulullah yang wajib
diteladani ; (1) pemikiran : dengan membangun
kesadaran dan opini umum
pro syariah dan khilafah ; (2) politik, dengan
pertarungan konsep
pemikiran (shiroul fikr) tentang pemeliharaan
urusan umum dan membongkar
kebijakan-kebijakan yang tidak Islami dan tidak
memihak kepentingan
publik serta kebijakan konspiratif yang sarat
intervensi kapitalisme
global; (3) tanpa kekerasan, yakni tanpa
menggunakan senjata tajam,
tumpul, api, dan senjata-senjata fisik lainnya)
untuk mengganti sistem
yang telah sakit parah terjangkiti penyakit
"sipilis" (sekularisme,
pluralisme, dan liberalisme) dan menggantinya
dengan menegakkan sistem
khilafah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dengan berpegang teguh kepada risalah Islam dan
metode dakwah Rasulullah
saw. umat ini akan mencapai tegaknya kembali
Daulah Khilafah Rasyidah
ala Minhajin Nubuwwah kedua kalinya di abad ini,
insyaallah! Ya, barang
kali ada yang berfikir itu perubahan sangat
radikal. Namun bila
diperjuangkan dengan konsepsi yang matang, politik
yang cerdas, dan cara
tanpa kekerasan lalu sudah menjadi kesadaran dan
opini publik, tentu
artinya publik sudah menerimanya dan merasa damai
dengan hal itu.
Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariiq!
(Muhammad Al Khaththath).
[Non-text portions of this message have been
removed]
Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
YAHOO! GROUPS LINKS