"Aib" JM Coetzee 
----------------

>> Katrin Bandel, Peneliti Sastra Indonesia, Tinggal di Yogyakarta 

Aib
Judul asli: Disgrace
Penulis: J. M. Coetzee
Penerjemah: Indah Lestari
Penerbit: Jalasutra, 2005
Tebal: 317 hlm; format: 15 cm x 21 cm
ISBN: 979-3684-33-X
Harga: Rp.35.000,-


David Lurie, tokoh utama novel Aib karya JM Coetzee (1999), adalah seorang 
antihero. Sebagai dosen
senior dengan keahlian sastra Inggris zaman Romantik, dia seperti sudah hampir 
dengan sendirinya
melambangkan segala sesuatu yang 'ketinggalan zaman' di Afrika Selatan 
pasca-apartheid. Sebagai
orang kulit putih, dia menjadi bagian dari bekas penguasa/penjajah yang dapat 
dianggap mesti 'tahu
diri' dalam sebuah negeri dengan mayoritas penduduk kulit hitam yang baru 
membebaskan diri dari
sistem rasis.

Sebagai laki-laki, apalagi laki-laki tua hidung belang yang meniduri 
mahasiswinya, dia merupakan
prototipe laki-laki yang dicurigai para feminis. Keahliannya pun menjadi ciri 
khas 'sistem lama',
yaitu mempelajari dan mengajarkan karya para 'master' sastra Eropa (kebanyakan 
Inggris) yang
semuanya laki-laki kulit putih.

Dalam studi pascakolonial, pendidikan kolonial, antara lain pendidikan sastra, 
sering disebut
sebagai salah satu cara pengukuhan kekuasaan. Karya-karya pengarang Eropa 
diajarkan sebagai kanon
yang 'universal', sedangkan sastra dan budaya lokal tidak diacuhkan sehingga 
anak didik mendapat
kesan hanya Eropa yang berbudaya dan 'beradab'.

David Lurie dalam novel Aib mewakili kanon lama tersebut, tetapi kanon itu kini 
sudah kehilangan
pamor dan kekuasaannya. Di Cape Technical University, tempat dia mengajar, 
Fakultas Sastra dan
Bahasa telah ditutup dan kini dia terpaksa mengajar Ilmu Komunikasi. Hanya satu 
mata kuliah sastra
yang masih bisa diajarkannya setiap semester. Akan tetapi, mahasiswanya 
tampaknya hanya mengikuti
kuliah sebagai kewajiban saja. Sebagian teman kerjanya pun menganggap dia 
sebagai 'peninggalan
masa lalu' yang sebaiknya disingkirkan.

Lurie bukan hanya mengajar dan berkarya ilmiah tentang 'kanon lama' tersebut, 
karya dan kisah
hidup para sastrawan itu---terutama Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris 
yang sedang menjadi
fokus studinya---selalu menjadi rujukannya dalam kehidupannya sehari-hari. 
Tidak pernah dia
menyebut sastrawan Afrika Selatan atau negara Afrika lainnya, yang kulit putih 
atau kulit hitam.
Juga tidak ada sastrawan perempuan yang mendapat perhatiannya. Kesempitan 
wawasan ini membuat
Lurie terasing di negeri dan lingkungannya.

Keterasingan Lurie makin mendalam setelah dia dipecat sebagai dosen, lalu 
tinggal di pedalaman
bersama anaknya yang menjadi petani. Pada suatu saat dia duduk di halaman 
belakang rumah seorang
kawan sambil menyanyikan syair opera tentang Byron yang sedang dikarangnya. 
Ketika dia memergoki
beberapa anak kecil sedang mengintipnya, dia menyadari betapa bagi mereka 
dirinya tentu tampak
seperti orang gila. Bagaimana mungkin sebuah opera dalam bahasa Italia tentang 
seorang pengarang
Inggris yang sudah lama mati dapat memiliki makna bagi penduduk kampung di 
pedalaman Afrika!

Ada dua peristiwa utama yang dialami David Lurie yang membawa perubahan besar 
dalam hidupnya.
Keduanya adalah kasus pelecehan seksual: yang pertama melibatkan dirinya 
sebagai pelaku, yang
kedua terjadi pada Lucy, anak perempuannya.

Kasus pertama adalah affair Lurie dengan seorang mahasiswinya, Melanie Isaacs, 
yang berakhir
dengan sangat memalukan bagi Lurie: Melanie mengadukan hal itu sebagai 
pelecehan seksual (sexual
harassment), dan Lurie dipecat oleh universitasnya.

Kasus ini jauh dari sederhana. Meskipun pada saat meniduri Melanie pertama 
kali, Lurie menyadari
bahwa persetubuhan itu tak diinginkan Melanie, toh tidak terjadi pemaksaan. 
Melanie tidak menolak,
dia memilih bersikap pasif dan membiarkan Lurie menggaulinya.

Beberapa waktu kemudian, Melanie bahkan muncul di rumah Lurie dan minta 
diizinkan tinggal di sana
untuk beberapa waktu. Setelah terjadi hubungan seks beberapa kali, Melanie 
kemudian menghilang
kembali. Lalu, pacarnya melibatkan diri, juga keluarganya. Akhirnya Lurie 
tiba-tiba dihadapkan
pada kenyataan bahwa dirinya sedang dituntut karena melakukan pelecehan seksual.

Setelah dipecat, Lurie 'melarikan diri' ke tempat anaknya yang memiliki 
sebidang tanah di
pedalaman Eastern Cape. Lucy hidup sebagai petani, menanam bunga dan kentang 
yang dijualnya di
pasar, dan di samping itu membuka tempat penitipan anjing. Kasus kedua terjadi 
di situ, pada Lucy.
Suatu hari mereka didatangi tiga laki-laki kulit hitam yang tidak mereka kenal, 
dirampok, dan Lucy
diperkosa. Lurie tidak dapat membantu anaknya sebab dia dilukai dan dikunci di 
kamar mandi.

Kasus ini pun jauh dari sederhana. Pemerkosaan yang terjadi pada Lucy bisa 
dipahami sebagai
semacam aksi balas dendam orang kulit hitam terhadap orang kulit putih. Di 
samping itu, ternyata
Petrus, laki-laki kulit hitam yang bekerja untuk Lucy dan telah membeli separuh 
tanah darinya,
terlibat dalam kasus tersebut.

Bentuk keterlibatan itu tak dapat sepenuhnya dipahami Lurie dan Lucy, tetapi 
tampaknya bukan
secara kebetulan saja Petrus sedang tidak di tempat saat perampokan dan 
pemerkosaan itu terjadi.
Juga, ternyata salah satu dari ketiga penjahat itu, seorang pemuda yang 
tampaknya terganggu
kesehatan mentalnya, merupakan kerabat Petrus yang bahkan kemudian ikut tinggal 
bersama Petrus dan
keluarganya.

Tampaknya hubungan antara Petrus dan Lucy menjadi kunci peristiwa itu. Petrus 
awalnya bekerja pada
Lucy sehingga relasi kekuasaan tidak jauh bergeser daripada yang lazim di zaman 
apartheid: Si
kulit hitam menjadi tenaga kasar yang bergantung pada majikannya yang kulit 
putih. Tetapi kemudian
Petrus membeli sebagian tanah Lucy.

Setelah mendapat dana bantuan dari pemerintah, dia pun mampu membangun rumah. 
Petrus kini lebih
pantas disebut tetangga meskipun dia masih bekerja pada Lucy. Relasi kekuasaan 
berubah, status
Petrus tidak lagi lebih rendah daripada Lucy. Namun, Petrus belum puas dengan 
keadaan itu. Dia
menginginkan tanah yang lebih luas lagi. Kehadiran Lucy terasa mengganggu.

Tampaknya peristiwa perampokan dan pemerkosaan berfungsi sebagai semacam 
ancaman: Lucy
'disadarkan' bahwa tanpa perlindungan Petrus keamanannya tidak terjamin. Di 
akhir novel, Lucy
pasrah: dia menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga' atau 
'simpanan'-nya, menyerahkan
seluruh tanahnya dan sebagai imbalan menerima perlindungan dari Petrus. Relasi 
kekuasaan sama
sekali berbalik, kini Lucy yang sepenuhnya tergantung pada Petrus.

Dalam kedua kasus ini, David Lurie tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang 
terjadi. Apa yang
dipikirkan dan dirasakan Melanie tetap menjadi rahasia baginya. Karena seluruh 
novel diceritakan
dari perspektif Lurie, bagi pembaca pun kisah Melanie tetap menjadi teka-teki. 
Mengapa Melanie
tidak menolak dengan tegas ketika diajak berhubungan seks oleh Lurie? Mengapa 
dia tiba-tiba
mengadukan peristiwa itu sebagai pelecehan seksual? Benarkah dia merasa 
dilecehkan atau dia
ditekan oleh keluarga dan pacarnya?

Persoalan jarak antargenerasi juga sangat berperan dalam hubungan Lurie dengan 
anaknya. Cara Lucy
menghadapi musibah yang terjadi padanya sama sekali tidak dapat dipahami 
ayahnya. Lucy memilih
tidak melaporkan kasus pemerkosaan itu kepada polisi. Dia juga memilih tidak 
menggugurkan anak
yang dikandungnya akibat pemerkosaan itu. Dia bertahan hidup di rumah dan 
tanahnya, dan dengan
tegas menampik desakan ayahnya untuk meninggalkan tempat itu.

Bagi Lucy, Afrika Selatan pasca-apartheid dengan masyarakatnya yang tidak lagi 
disegregasi adalah
apa yang perlu dihadapinya. Dia berpendapat mungkin pemerkosaan yang dialaminya 
adalah bayaran
yang harus direlakannya sebagai orang kulit putih yang ingin berdiam di tempat 
itu. Dia sangat
trauma dan sadar bahwa dengan menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri 
ketiga'-nya dia sangat
merendahkan diri, tetapi dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik.

Ketika di akhir novel David Lurie menemui keluarga Melanie untuk berusaha 
sekali lagi memberi
penjelasan dan menyampaikan permintaan maaf, ayah Melanie berkomentar: 'How the 
mighty have
fallen'---betapa yang berkuasa telah jatuh. Kata 'mighty' membuat Lurie 
tercengang. Apa dirinya
pantas disebut 'berkuasa'?

Sebetulnya, dalam kedua kasus yang dialami Lurie, relasi kekuasaan telah 
berbalik dan dia tidak
dapat lagi dikatakan berada di pihak yang kuat dan berkuasa. Ketika dituduh 
melakukan pelecehan
seksual, Lurie sadar bahwa dirinya berada di pihak yang lemah.

'Kesadaran jender' di kampusnya telah dengan sangat kuat memengaruhi pandangan 
dan perasaan orang
maupun prosedur kampus dalam menangani kasus semacam itu sehingga Lurie tidak 
bisa mengharapkan
simpati dan pembelaan. Hal yang serupa berlaku dalam peristiwa yang menimpanya 
bersama Lucy. Dia
dan Lucy sebagai orang kulit putih kini berada di pihak yang lemah, tanpa 
perlindungan orang kulit
hitam mereka tak dapat hidup dengan aman.[]

NOTE:
Resensi ini awalnya dimuat di rubrik 'Buku', Kompas, Minggu, 23 Oktober 2005. 

Never underestimate people. They do desire the cut of truth. 
Jangan meremehkan orang. Mereka sungguh ingin kebenaran sejati.

© Natalie Goldberg
----------------------------------------------------------------------
Esai, resensi, artikel, dan lebih banyak tulisan. Kunjungi dan dukung blog 
sederhana ini:

http://halamanganjil.blogspot.com


                
__________________________________ 
Yahoo! FareChase: Search multiple travel sites in one click.
http://farechase.yahoo.com




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/0EHolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to