Buku, Dialog, dan Kekuasaan yang Menista 
----------------------------------------

>> Arif Susanto, e-mail:  "Arif Susanto" <[EMAIL PROTECTED]>

Sejarah menunjukkan bahwa kebebasan berpikir menjadi pilar utama bagi lahirnya 
banyak pencapaian
luar biasa di negeri-negeri besar. Saya ingin menambahkan catatan kecil yang 
paradoksal dengan
pernyataan di atas, yaitu bahwa pencapaian luar biasa dalam berbagai bidang 
tidak mesti terjadi di
negara yang mempraktikkan kebebasan. Jerman pada masa pemerintahan Hitler 
dikenal memimpin dalam
teknologi persenjataan (terutama roket), sementara Uni Soviet di bawah Nikita 
Kruschev menjadi
negara pertama yang mampu mengorbitkan pesawat ke angkasa luar. Tetapi, 
terdapat perbedaan besar
antara negara yang besar karena dilandasi oleh kebebasan dan serangkaian 
pemikiran cerdas
dibandingkan negara yang besar karena kekuasaan yang mencengkeram. 

Keberhasilan yang lahir sebagai pencapaian pemikiran yang merdeka dapat 
bertahan lebih lama dan
memiliki dampak ikutan. Maksudnya, keberhasilan itu tidak hanya akan dinikmati 
dalam jangka
pendek, satu pemikiran akan diikuti oleh pemikiran lainnya sehingga 
keberhasilan yang satu akan
dilanjutkan dengan keberhasilan lainnya. Begitu seterusnya. Selain itu, 
kebebasan berpikir
melahirkan kontrol yang efektif satu pihak terhadap pihak lainnya sehingga 
tidak muncul penafsir
tunggal kebenaran. Dalam situasi yang demikian masyarakat yang komunikatif akan 
terbentuk. 

Saya percaya bahwa kebebasan berteman akrab dengan kedewasaan dan kecermatan 
dalam berpikir serta
melihat. Jika tidak, mana mungkin peradaban yang merdeka mampu menghasilkan 
pemimpin dan pemikir
besar yang menyumbang terbentuknya kehidupan modern? Sebaliknya, kekuasaan yang 
mencengkeram akrab
dengan kepicikan. Dalam hubungan kekuasaan seperti ini, kehendak untuk 
mengobjektivasi pihak lain
sebagai pihak yang dikuasai adalah suatu keniscayaan. Akibatnya kekuasaan 
didayagunakan hanya
untuk kepentingan sempit penguasa. Sokongan yang mungkin dilakukan oleh sang 
penguasa terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan lebih didorong oleh hasrat kekuasaan, bukan 
keinginan untuk
memajukan peradaban.

Gagasan kebebasan akan gagal menopang sejarah, jika kekuasaan merampasnya lalu 
mencampakkannya di
pojok takhta. Jika pengetahuan mesti mengabdi kepada kekuasaan semata, sangat 
mungkin ia akan
gagal memahamkan kepada manusia tentang makna hidup yang beradab. Sebab, hanya 
peradaban yang
berpijak pada kebebasan dan pengetahuan yang akan mampu melahirkan pencerahan 
nalar.

Suatu ketika Sindhunata (2004) pernah menulis begini “Hidup yang berkaki kuat 
adalah hidup yang
menyejarah. Namun, bagaimana kita bisa tahu sejarah jika kita tidak membaca? 
Hidup yang berkaki
kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Namun, bagaimana 
kita tahu akan yang
luas dan mendapat inspirasi untuk penjelajahan jika kita tidak membaca? Hidup 
yang berkaki kuat
adalah hidup yang percaya akan adanya penopang yang menyangga kelemahan kita, 
atau menguatkan diri
kita tanpa kita sadari. Namun, bagaimana kita tahu akan rahmat dan anugerah 
tersebut bila kita
tidak membaca?”

Membaca dalam konteks yang dimaksud oleh Sindhunata tentu tidak sekadar 
membaca. Bukan sebuah
pembacaan a la kadarnya yang hanya melihat teks sebagai sekumpulan alfabet atau 
sekadar mengadopsi
bacaan tanpa sikap kritis terhadapnya. Setidaknya, saya meyakini demikian. 
Pembacaan yang a la
kadarnya cenderung memerosokkan ke dalam rezim pemutlakan. Tanpa alternatif dan 
tanpa dialog.
Kebijaksanaan tidak lahir dari pandangan yang bersifat kaku dan berdimensi 
sempit. Menganggap yang
lain salah, sementara diri sendiri benar. Mendaku diri suci, sembari mencemooh 
yang lain sebagai
nista. Menuding yang lain buruk, sedangkan diri sendiri tanpa cela.

Pernah ada pada suatu masa dalam sejarah negeri kita, penguasa menjadi penafsir 
tunggal kebenaran
dan kebaikan. Ialah masa ketika rezim Orde Baru mengedepankan kehendak kuasanya 
secara sepihak
ketimbang kebebasan bertukar pikiran. Dalam praktiknya, setiap barang cetakan 
(tulisan dan gambar)
memperoleh pengawasan ketat dari institusi pemerintah. Pada masa awal 
berdirinya Orde Baru,
Komando Operasi untuk Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk pada10 
Oktober 1965
menjadi lembaga yang sangat berkuasa untuk melakukan kontrol dan pelarangan 
peredaran sebuah buku.
Pada masa berikutnya, Kejaksaan Agung ganti memegang peran yang menentukan 
dalam kebijakan
pelarangan buku. Tetapi, bukan berarti lembaga lain tidak memiliki kewenangan 
yang sama dan
tumpang tindih penuh ketidakjelasan. Bakin, Bakorstanas, Bais, Polri, dan 
Departemen Agama dapat
mengusulkan pelarangan atau bahkan mengeksekusi pelarangan secara sepihak atas 
sebuah buku yang
dianggap mengganggu stabilitas politik dan melanggar undang-undang (Jaringan 
Kerja Budaya, 1999). 

Berbagai alasan dapat diajukan sebagai pertimbangan untuk melakukan pelarangan 
terhadap sebuah
buku. Dari alasan ideologi, politik, masalah SARA, sampai pada usaha untuk 
membatasi serbuan
pornografi. Secara umum batasan pelarangan sendiri sebenarnya sangat kabur. 
Sebuah buku dapat
dilarang karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Aturan ini 
sebenarnya sangat terbuka
untuk diinterpretasikan. Celakanya, hanya penguasa yang berhak mengartikan apa 
batasan
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Kenyataannya, pelarangan 
peredaran sebuah
buku lebih banyak akibat ketersinggungan penguasa karena adanya informasi atau 
analisis yang
mempersoalkan praktik kotor dalam pengelolaan negara.

Sejarah berdirinya rezim Orde Baru sendiri sesungguhnya secara tragis diawali 
antara lain oleh
kebijakan pelarangan. Sejumlah buku dilarang terbit dan disebarluaskan karena 
‘dianggap’
menyebarkan ajaran Marxisme/Komunisme. Kata dianggap perlu mendapat tanda petik 
karena tidak
jarang sebuah buku dilarang tanpa pernah dibaca dan dianalisis secara mendalam 
oleh lembaga
pemerintah. 

Hingga 1996 diperkirakan sekitar 2.000 buku telah dilarang sejak 1965. Sebanyak 
70 judul buku
dilarang beredar di semua lembaga pendidikan pascapembunuhan tujuh perwira 
militer pada 1 Oktober
1965. Pemberangusan ini diikuti pula dengan larangan terhadap karya-karya 87 
pengarang yang
ditengarai memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Larangan 
penyebarluasan ajaran
Marxisme/Komunisme terus memakan korban hingga pada 1967 sebanyak 174 judul 
buku dan majalah
dilarang peredaran dan kepemilikannya. Meski jumlah pelarangan menunjukkan tren 
penurunan pada
tahun-tahun berikutnya, namun praktik ini masih terus berlangsung. Pada 1980-an 
secara rata-rata
sebanyak 14 judul buku dilarang setiap tahunnya (Sen & Hill, 2001).

Sebagai perbandingan dapat dipaparkan data yang dikoleksi oleh Balairung, 
majalah mahasiswa
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang mengurai praktik pelarangan peredaran 
buku dan benda
cetak lainnya pada periode 1983-1992.

Tabel
Frekuensi Pelarangan Buku dan Benda Cetak Periode 1983-1992

Tahun   | 1992 | 1991 | 1990 | 1989 | 1988 | 1987 | 1986 | 1985 | 1984 | 1983
-----------------------------------------------------------------------------
Jumlah  | 6    | 16   | 10   | 11   | 10   | 11   | 28   |  17  |  6   | 6
Judul   | 

        Sumber: Balairung, No. 17/ Th. VII/ 1993


Persoalan penyebaran Komunisme sering menjadi penyebab dilarangnya sebuah buku 
oleh rezim Orde
Baru. Tetapi, mengingat kenyataan bahwa sejumlah buku dinyatakan terlarang 
hanya karena
pengarangnya dianggap memiliki keterkaitan dengan PKI, sementara karangannya 
tidak bercerita
sedikit pun tentang Komunisme, sesungguhnya hal itu merupakan tragedi.

Karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer yang masuk dalam kategori masterpiece 
dikutuk oleh rezim
Orde Baru sebagai buku-buku terlarang hanya karena Pram pernah menjadi salah 
satu aktivis Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra). Di antara karya tersebut adalah tetralogi Pulau Buru 
yang telah menarik
perhatian banyak pemerhati sastra internasional. Cetakan maupun foto kopi 
tetralogi tersebut
beredar ‘di bawah tanah’ di kalangan aktivis dan pemerhati sastra pada era 
1980an hingga 1990an.
Aktivitas semacam itu yang membuat Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan 
Bambang Isti
Nugroho---ketiganya pegiat Kelompok Studi Sosial Palagan, Yogyakarta---divonis 
masing-masing 8
tahun 6 bulan, 6 tahun, dan 7 tahun penjara pada Mei 1989 (Forum Keadilan, 9 
Juni 1994).
Pengadilan menilai bahwa aktivitas mereka merupakan tindak pidana subversi. 

Di ranah ilmu sosial, kebijakan ekonomi Orde Baru menjadi salah satu aspek yang 
menarik perhatian
para akademikus. Namun, beberapa buku ekonomi politik juga menerima vonis 
larangan pihak kejaksaan
karena kritik dan analisisnya yang tajam terhadap praktik ‘favoritisme’. Buku 
Yahya Muhaimin
berjudul Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 yang 
berasal dari disertasi
doktoralnya sempat mendapat gugatan dari seorang pengusaha kerabat Soeharto 
karena data buku itu
menyebut tentang pemberian hak monopoli cengkeh oleh pemerintah kepada sang 
pengusaha.

Berbagai bentuk pengekangan terhadap kerja intelektual mengakibatkan sedikit 
sekali akademikus,
peneliti, dan penulis Indonesia mampu menghasilkan karya bermutu. Pengawasan 
berlebihan terhadap
barang cetakan dan aktivitas keilmuan membuat perkembangan ilmu pengetahuan 
(terutama ilmu sosial)
di Indonesia jadi relatif mandek. Sebelum melakukan suatu penelitian, misalnya, 
peneliti harus
menempuh jalur perizinan yang berbelit dan birokratis. Bahkan proses pengurusan 
perizinan ini
harus melibatkan Dinas Sosial dan Politik yang akan meneliti sang peneliti 
berikut objek
penelitiannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses depolitisasi yang 
dilakukan oleh rezim
Orde Baru terhadap seluruh elemen di luar negara berperan besar dalam 
menumpulkan daya kritis para
intelektual Indonesia sehingga mereka gagal menyumbangkan karya-karya bermutu 
bagi kemajuan
Indonesia.

Akibat minimnya informasi dan analisis kritis karya ilmiah yang dihasilkan oleh 
intelektual lokal,
buku-buku karya penulis asing menjadi lebih diminati untuk dibaca. Namun, 
karya-karya akademikus
asing---yang biasanya analisisnya lebih lugas didukung seperangkat data 
berakurasi tinggi---juga
jadi sasaran pelarangan. Buku Militer dan Politik yang merupakan terjemahan 
dari buku Army and
Politics in Indonesia karya Harold Crouch dilarang beredar pada 1986. Buku ini 
berisi analisis
tentang sejarah kemunculan militer Indonesia sebagai kekuatan politik dan 
ekonomi serta berbagai
pergulatan politik sejak masa awal kemerdekaan hingga rezim Orde Baru berdiri 
dengan kukuh. Buku
Yoshihara Kunio berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara (The Rise of Ersatz 
Capitalism in
Southeast Asia) terbitan 1990 juga dilarang beredar akibat analisisnya tentang 
gejala kapitalisme
kroni di lingkungan seputar kekuasaan Soeharto. Bahkan pada 1989 buku Harry 
Poeze berjudul Tan
Malaka: Pergulatan Menuju Republik yang menceritakan perjalanan hidup dan 
pergulatan pemikiran Tan
Malaka juga dilarang beredar, padahal ini adalah murni karya biografi 
intelektual dan tidak
dimaksudkan sebagai upaya penyebaran ideologi. Selain itu, terdapat pula 
beberapa buku berbahasa
Inggris yang juga dilarang beredar di Indonesia karena menampilkan data dan 
analisis kritis
tentang praktik kotor dalam kekuasaan Soeharto dan orang-orang dekatnya, antara 
lain The
Indonesian Tragedy (Brian May), Soeharto and His Generals (David Jenkins), dan 
Indonesia: The Rise
of Capital (Richard Robison) 

Melihat kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pelarangan buku secara 
sistematik dimaksudkan
sebagai upaya menekan kehendak intelektual (intellectual will) dalam 
mengembangkan kebebasan
berpikir dan menumpulkan daya kritis terhadap kondisi sosio-ekonomi dan 
sosio-politik yang
berjalan dalam cengkeraman otoritarianisme rezim. Intelektual tidak saja 
dipaksa abai terhadap
manipulasi kekuasaan, bahkan dipaksa untuk tidak berpikir karena aktivitas 
berpikir diarahkan
untuk terformat dalam kerangka bentukan penguasa. Kehendak bebas dipasung, 
sementara negara
mengembangkan intelektual-intelektual mekanis yang hanya menjalankan kehendak 
kekuasaan negara.

Kita patut meratapi babak tragedi yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia 
ini. Terbitnya
harapan akan bersemainya demokrasi pascamundurnya Soeharto patut didayagunakan 
untuk mengembangkan
kultur dialog. Dialog akan membuka kemungkinan saling kritis. Dialog dapat pula 
menghadirkan
alternatif kebenaran. Tanpa itu hubungan antarindividu, sosio-politik dapat 
menjadi asimetris,
ketika yang satu menempatkan pihak lain sebagai objek kuasa tanpa niat 
mengundang hadirnya
keterbukaan dan kebebasan.[]

http://arifsusanto.blogspot.com


Never underestimate people. They do desire the cut of truth. 
Jangan meremehkan orang. Mereka sungguh ingin kebenaran sejati.

© Natalie Goldberg
----------------------------------------------------------------------
Esai, resensi, artikel, dan lebih banyak tulisan. Kunjungi dan dukung blog 
sederhana ini:

http://halamanganjil.blogspot.com


        
                
__________________________________ 
Yahoo! Mail - PC Magazine Editors' Choice 2005 
http://mail.yahoo.com





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/0EHolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke