punten pami tiasa "jihad" dina posting nembe teh
ngangge tanda kutip "...".
jihad teh kedah dilakonan ku sadaya ummat islam,
sabab dina alquran ge diserat sababaraha kali kecap jihad teh.
ngan... sok aya anu nyalahgunakeun eta kecap ku
jalan anu teu sapagodos sareng atikan islam. di dieu ge tangtos seueur pabentar
deui.. anu koneng, anu hideung. janten tanda kutip tadi teh numutkeun
abdi mah urgent..
----- Original Message -----
Sent: Friday, 25 November, 2005
10:31
Subject: Re: [Urang Sunda]
Nyaan sae pisan seratan pa Goenawan. Mudah-mudahan diantara
sabahagian nu bade niat jihad kabujeng maos heula artikel ieu. (Boro bujeng
sigana nya, pan riweuh ngadamelan bom....amit-amit ketang, atos atuh ah!
cekap!!! Korban mah korban nyeueuran, bari jeung maranehna ka Surga oge
Wallahu'alam...)
Waluya <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
Ieu
aya artikel sae deui, soal Azahari, kenging copy-paste tina
millis tatangga.
Baktos, WALUYA
Azahari dan
Indonesia
Oleh Goenawan Mohamad
Azahari dan Noordin Top masuk
diam-diam dari Malaysia ke Indonesia, dan membaur dengan orang
setempat. Mereka bukan orang asing, jika asing berarti ganjil dan
tak dikenal. Tapi mereka bukan orang sini.
Mereka merekrut orang
lokal yang dilatih untuk meledakkan bom, membunuh orang secara acak, dan
sejak itu Indonesia pun terjerembab. Sejak itu negeri ini, yang kita
nyanyikan sebagai negeri aman sentausa, jadi tempat yang dianggap tak
aman dan tak sentausa.
Tentu saja Azahari dan Noordin Top mengatakan
mereka melawan Amerika Serikat dan Zionisme. Tentu saja mereka akan
mengatakan jihad mereka adalah bagian dari perang global yang kini
berkecamuk. Tapi pada akhirnya yang terluka bukanlah Amerika Serikat atau
Israel, melainkan Indonesia -- sebuah negeri yang bagi kedua orang
Malaysia itu tak punya makna apa-apa.
Mereka memang bukan orang
sini. Kata sini mengimplikasikan sebuah perbatasan, antara dalam dan
luar. Harus diakui perbatasan itu tak datang dari Tuhan atau alam,
melainkan dari sebuah proses politik dalam sejarah. Perbatasan itu juga
tak kekal. Tapi apakah yang tak kekal tak punya arti dan tak punya
kekuatannya sendiri?
Azahari dan orang sejenisnya - yang bercita-cita
mendirikan sebuah kekhalifahan Islam yang mengatasi negara-bangsa -
berangkat dari semangat de-lokalisasi: melintasi lokalitas yang mereka
anggap membatasi diri. Mereka tak mau bersetia kepada sebuah tanah
air. Yang pasti, mereka tak mau bersetia kepada Indonesia.
Mereka
berangkat bersama asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang universal, yang
berlaku di mana saja dan kapan saja. Mereka seiring dengan dinamika abad
ini, yang menerjang atau menyeberangi perbatasan nasional, dinamika yang
digerakkan ilmu, teknologi, dan kapitalisme mutakhir. Hari ini, agama
bersekutu dengan tele-tekno-ilmu, kata Derrida dalam sebuah simposium di
Capri di tahun 1994 - sebuah kalimat yang tetap punya gema satu dasawarsa
kemudian.
Tapi pada saat yang sama, terjadi juga sebuah tabrakan.
Agama, seperti yang dibawakan orang macam Azahari, mengandung
kontradiksi: di satu sisi ia mengklaim dirinya universal, tapi di sisi
lain, semakin ia jadi bendera identitas kelompok, semakin ia melawan
sifat universalnya sendiri. Maka ketika agama jadi identitas kelompok,
globalisasi yang dibawakan oleh modal, ilmu dan teknologi pun
seakan-akan jadi ancaman - meskipun sebenarnya televisi, internet, serta
teknik persenjataan dan pembunuhan, yang berasal dari
tele-tekno-ilmu, adalah penopang gerak de-lokalisasi mereka. Dalam
pemikiran agama macam ini, identitas kelompok bertaut dengan
de-lokalisasi. Itu artinya agama, dalam kata-kata Derrida, terlepas
dari semua tempatnya yang pas, bahkan dari pengertian tempat itu
sendiri.
Tapi bisakah kebenaran agama, ketika diamalkan, berlangsung
tanpa tempat dan terlepas dari konteks lokal apapun? Pernahkah?
Khalil Abdul Karim, seorang mantan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir, pernah menganalisa bahwa sejarah Islam sejak sebelum
dan segera sesudah Nabi Muhammad s.a.w. tak dapat dilepaskan dari
posisi politik suku Quraish di sekitar Mekah. Ia menyebut
bukunya (diterjemahkan dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta)
Hegemoni Quraish.
Buku itu mungkin tak sepenuhnya tepat. Tapi
sulit dibayangkan Islam terlepas dari keterpautan dengan yang sempit di
sebuah ruang dan sebuah waktu. Khalifah Usmani yang berpusat di Turki,
yang konon melintasi perbatasan negara-bangsa itu, pada dasarnya bagian
dari pengalaman dan kepentingan tahta Turki itu
sendiri.
De-lokalisasi selalu mustahil: Islam yang diamalkan akan
senantiasa terkait dengan sebuah petak di muka bumi. Sesuatu yang
bukan-global, yang telah ada sejak beratus-ratus tahun, terus bertahan:
sebuah wilayah dan sehimpun manusia yang identifikasi dirinya
disebutkan dengan nama sebuah negeri ataupun bangsa.
Itulah tanah
air. Tanah air adalah tempat seseorang terlempar. Di sana ia memilih
untuk menerima posisi itu secara aktif ataupun pasif, secara bersemangat
atau pasrah. Tanah air, seperti yang terjadi ketika republik ini lahir
dari penjajahan, adalah sebuah peristiwa: sesuatu yang mengguncang
kehidupan dan menggerakkan hati.
Tapi tanah air juga sebuah
pengalaman: sebuah proses tumbuhnya akar. Kita tak perlu mengaitkan
akar itu dengan asal-usul darah dan tanah, Blut und Boden, seperti
dalam nasionalisme Jerman yang sesat. Akar itu bukan sesuatu yang harus
disakralkan, dan tempat kita hidup dan berasal, Heimat, bukanlah sesuatu
yang suci. Tanah air terbentuk terus oleh sejarah, oleh kerja kita, dan
itu sebabnya ia, dengan bekas darah dan keringat, punya arti bagi
kita...
Indonesia, tanah air kita, lahir seperti itu, melalui
revolusi - satu hal yang tak dialami orang Malaysia macam Azahari.
Revolusi itu melibatkan rakyat banyak yang menderita di bawah penjajahan
Belanda. Revolusi itu sebuah peristiwa, levenement dalam pengertian
Badiou, khususnya peristiwa solidaritas, dengan pengorbanan dan rasa
bangga. Tapi sebagai peristiwa, revolusi selalu punya akhir, tak
dapat diulangi, dan setelah itu Indonesia pun terjadi, tumbuh,
dan akhirnya jadi sebuah proyek bersama. Proyek itu makin disadari
sebagai sesuatu yang tak sempurna, karena menyadari keterbatasan
manusia.
Itu sebabnya Indonesia sebagaimana ia dirikan di tahun 1945
adalah tanah air dengan banyak harap tapi juga cemas, dengan gairah tapi
juga gentar. Naskah Proklamasi itu tak ditulis dengan cetakan
yang sempurna; ada coretan dalam teks yang ditandatangani Bung Karno
dan Bung Hatta. Di situlah ia berbeda dengan negara Islam yang
membawa nama sesuatu yang yang kekal dan tak akan salah. Negara
Islam, terutama dalam impian Azahari, adalah sebuah keangkuhan
kepada sejarah. Sebaliknya Indonesia: ia tak menafikan dan tak takut
bahwa dirinya tak akan pernah salah, bahkan berdosa.
Itulah
sebabnya demokrasi niscaya: demokrasi adalah sebuah mekanisme untuk
selalu memperbaiki diri, mengurangi langkah yang keliru. Dan kita tahu,
Indonesia telah berjalan panjang dan terbentur-bentur, tapi sampai hari
ini bangkit lagi - juga dengan harap dan cemas.
Azahari tak memahami
ini: ia dan kawan-kawannya tak punya kaitan dengan pengalaman kita,
apalagi dengan sejarah revolusi Indonesia. Mereka meledakkan bom
berkali-kali, merusak negeri ini berkali-kali, dan kita merasakan
sakitnya.
Apa gerangan hasilnya, selain sebuah jalan ke surga yang
diyakini sementara orang - sebuah firdaus yang instan, sebuah kenikmatan
yang seketika, seperti banyak hal yang ditawarkan di pasar dunia yang
serba tak sabar sekarang?
Mungkin Azahari dan kawan-kawannya,
ketika mereka memasarkan surga yang instan, mereka tahu jihad mereka
akan gagal. Amerika akan tetap tegak dan Zionisme tak punah. Jika
demikian, Azahari dan kawan-kawannya siap mati dengan harapan bisa ke
sorga bagi diri sendiri, bukan dengan harapan untuk memenangkan
orang-orang yang mereka bela di muka
bumi.**
Yahoo!
Music Unlimited - Access over 1 million songs. Try it free.
Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
YAHOO! GROUPS LINKS
|