Anu kasirat ku kuring dihandap, “pamarentah ngan
ukur bisa ngadata, can bisa ngabantu sacara nyata.”
Tapi basa kampanye pilkada, nepika bebeakan, beak sawa, balong munding sapi, keur meunangkeun
eta pilkada.
Coba mun dibagikeun
ka dulur urang nu rawan pangan
tea….benul teu baraya ?
Kaburrrr…..
-----Original Message-----
From: urangsunda@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf
Of ikmals
Sent: Monday, January 23, 2006
8:57 AM
To: urangsunda@yahoogroups.com
Subject: [Urang Sunda] sedih
euy....di Sukabumi oge rawan pangan
Nagn bisa bati ngaheruk wae, maso warta di Kompas
ngeunaan dulur nu di Sukabumi kakeunaan rawan pangan, deudeuh teuing kidulur,
mugya sing sabar dina kaayaan walurat, sing di pasihan rizki nu sae tur Halal,
amiin
=====================================================================
Rawan Pangan di Sukabumi, Ratusan Warga Makan Ganyong
(Kompas Minggu)
Sedikitnya 100 warga Kampung Cimarayah, Ciujung,
dan
Seuseupan, Desa Walangsari Kecamatan Kalapanunggal,
Kabupaten Sukabumi, dilaporkan menderita rawan
pangan.
Ratusan warga yang berada di kaki Gunung Halimun
itu, hanya
mampu makan nasi atau bubur sekali dalam sehari.
Selebihnya perut mereka diganjal dengan singkong,
ganyong
(sejenis talas), talas, atau pisang yang direbus.
Sejauh
ini tidak tercatat adanya warga yang jatuh sakit
atau
meninggal akibat musibah rawan pangan tersebut.
Berdasarkan pemantauan di lapangan Minggu (22/1)
sebenarnya
kondisi memprihatinkan ini sudah berlangsung lama.
Namun,
dalam sepekan terakhir ini kondisinya semakin
memprihatinkan. Masalahnya, bantuan dari para
tetangga yang
terbilang mampu sudah terhenti.
Kondisi serupa ternyata ditemukan juga di Kampung
Cimanggutengah,
Desa Kabandungan Kecamatan Kabandungan. Di desa ini,
tercatat ada
104 jiwa yang menderita rawan pangan, sebagian
besar adalah
jompo
yang pada umumnya berusia di atas 60, tetapi masih
bekerja
sebagai pemetik teh di Perkebunan Jayanegara Indah
dengan
pendapatan rata-rata Rp 1.250/hari. Sebagian dari
para
jompo ini bertempat tinggal di gubuk perkebunan.
Salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten Sukabumi,
Marwan
Hamdani
mengatakan, kasus rawan pangan di Kabupaten
Sukabumi
sebenarnya
ibarat gunung es. Kejadian serupa sudah lama
terjadi di
beberapa
daerah lainnya terutama di wilayah Sukabumi
selatan.
"Ini persoalan serius dan akut bagi kabupaten
Sukabumi,
sementara
pemerintah daerah belum mampu mengatasinya secara
terencana," kata Marwan, yang juga salah satu
pengurus
partai politik (Parpol) itu.
Menurut dia, kemiskinan di Sukabumi lebih
disebabkan oleh
ketimpangan struktural yang membuat kehidupan para
petani
di daerah tidak berdaya dalam menghadapi realitas
hidupnya.
Para petani yang sebagian besar hanya berkapasitas
sebagai
buruh
tani atau buruh perkebunan itu, katanya,
tersisihkan secara
ekonomi akibat tidak adanya perhatian serius dari
pemerintah.
Seperti dilansir media massa, Ny Erum (65), Ny.
Een (50),
Saol (40) tiga keluarga penderita rawan pangan di
Kampung
Cimarayah
menyebutkan, sejak dua pekan terakhir, singkong,
ubi jalar,
atau
pisang mentah, menjadi menu pokok yang dikonsumsi
dua kali
dalam
sehari. Sedangkan nasi atau bubur nasi --kalau
ada-- hanya
dimakan pada siang hari. "Bagi saya tidak
makan nasi dua
hari berturut-turut dianggap sudah biasa. Tapi,
anak-anak
harus tetap makan nasi atau bubur," kata
Saol.
Diakui warga, sebagian besar penderita rawan
pangan,
sebelumnya
bekerja di perkebunan. Namun, baru-baru ini
perkebunan
tersebut
gulung tikar. Akibatnya, karyawan harian di
perusahaan itu
berhenti bekerja.
Sedangkan di Cimanggu Tengah, sebagaimana diakui
oleh Kades
Kabandungan, Tata Saklan, penderitaan ke-14
warganya ini
sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, mereka
tetap
bertahan karena pada saat-saat tertentu mendapat
bantuan
dari pembelian beras miskin atau bantuan lainnya.
"Di kompleks perkebunan ini ada 37 jompo yang
masih bekerja
sebagai pemetik teh. Setiap hari para jompo ini
hanya mampu
mengumpulkan rata-rata 6 kg pucuk teh dengan upah
Rp165/kg.
Jadi, penghasilan mereka kurang dari Rp1.000/hari.
Sangat
pantas jika para jompo dan warga lainnya menderita
rawan
pangan. Masalahnya, harga beras di sini
Rp3.700/liter.
Sementara, penghasilan mereka hanya satu per tiga
liter
setiap harinya," tutur Iwan, Kepala Dusun II
Desa Kabandungan.
Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
YAHOO! GROUPS LINKS
|