Note: maaf bila crossposting. Esai ini awalnya sebuah diari, terus dimuat di 
Selisik Republika

[HALAMAN GANJIL]

Jalan ke Rumah Buku
-------------------

>> Anwar Holid, pengunjung Rumah Buku



WAKTU angkot Ledeng-Cicaheum penuh semua dan jalan Tamansari-Siliwangi 
lancar-terkendali,
sementara aku kesulitan mendapat angkot, tiba-tiba aku memutuskan jalan kaki 
menuju Rumah Buku
(Ruku). Sangat lama aku tak jalan kaki di Bandung. Dulu sekali aku dan Iwan 
cukup rutin jalan kaki
setiap kali akhir pekan, dari Yodkali ke Sukajadi, tempat kosnya. Termasuk 
sangat jauh untuk
sebuah jalan kaki. Aku sering juga pergi jalan kaki ke Ciumbuleuit, ke rumah 
kontrakan kawan-kawan
di gang Rahayu I, nginap di sana. Jadi hari itu aku jalan dari Simpang, 
menelusuri Siliwangi,
sambil memperhatikan mobil berantai mengukur jalan, perlahan-lahan, tampak 
gemulai menjelajahi
kelokan. 

Di pertigaan Ciumbuleuit aku masuk ke gang Rahayu I, mencoba mengingat-ingat 
gang mana yang bisa
membawa aku ke Hegarmanah, tempat Ruku berada. Sebenarnya aku lupa. Sudah 
sangat lama aku tidak
pernah menelusuri jalanan bagian dalam Bandung. Aku masuk gang yang ditutupi 
rumah atau loteng.
Sangat gelap dan kadang-kadang ternyata merupakan jalan masuk ke pintu rumah 
orang. Perumahan
sangat padat dan gang sangat sempit. Memang ini lorong sempit, memisahkan rumah 
sekadar agar orang
bisa jalan satu arah. Daerah itu ada di lereng, jadi gang pun makin turun, 
sampai aku menemukan
sungai. Aku lupa nama sungai itu, yang pasti bukan Cikapundung. Dari situ aku 
mengikuti jalan
berkelok-kelok sesuai arus sungai, kemudian naik. Aku yakin itu bukan rute yang 
dulu pernah aku
tempuh. Rasanya aku dulu tidak menemukan jalan sungai, tapi langsung menemukan 
jembatan, entah di
mana itu sekarang. Kini aku harus naik untuk mencapai Hegarmanah, dengan 
berkali-kali bertanya
kepada penduduk, seperti orang tersesat. Tapi aku suka kesempatan ini. Aku 
berharap bisa langsung
sampai di jalan bercabang yang mengapit taman sederhana, dekat gang Nataatmaja, 
biar jarak ke Ruku
semakin dekat.

Masuk Ruku, keadaan seperti biasanya: nyaman, tenang, kerap ditemani alunan 
jazz. Aku ingin
membelanjakan uang setiap kali ke sana, entah dengan meminjam salah satu 
koleksi, memesan
espresso, atau membeli roti. Kopi dan teh silakan bikin sendiri. Aku pikir 
apalah arti sedikit
uang yang aku punya demi tempat sebagus ini. Aku rela, dan ingin membela. Maka 
meski sedikit aku
selalu berusaha mengeluarkannya. Tempat ini ideal sekali untuk membaca, 
menulis, mendengar musik,
memperhatikan obrolan, termasuk menonton dan bertemu kawan. Aku berharap tempat 
ini terus buka
selama aku hidup dan aku bisa memberi sesuatu untuk itu. Aku mendapat banyak 
sekali dari sini:
buku, musik, film, termasuk pertemanan, hiburan, pengetahuan, pendapatan.

Yang paling sering aku lakukan di Ruku sekarang sebenarnya hanya buka-buka 
sembarang buku,
lihat-lihat sleeve CD, menulis sesuatu. Tapi apa sebenarnya arti buku untuk 
diriku, yang
kadang-kadang gelisah oleh persoalan kecil? Sepanjang perjalanan itu 
angan-anganku mengembara ke
mana-mana. Tentang draft yang masih kacau dan belum selesai, rumah tangga, 
Ubing, Ilalang,
persahabatan, kejengkelen. Bisakah semua itu aku renungkan di bangku atau sofa 
Ruku? Aku selalu
merasa punya sedikit waktu di sana, sulit luruh dalam teks. Teks itu memang 
memberi aku makan,
wawasan. Tapi hidup selalu lebih besar dari teks.

Di sini ada banyak sekali pilihan, bahkan yang sangat asing. Aku sekadar ingin 
jadi bagian di
tempat dalam dunia yang aku tempuh dengan sadar. Bahagia karena bisa merasakan 
segala fasilitas,
nyaris disediakan gratis atas nama kebaikan dan layanan. Maka yang pantas aku 
lakukan adalah
berterima kasih, bersyukur, ikut menjaga, memelihara minimal dengan yang aku 
bisa. Untuk tahap
sangat sederhana, dengan segala kekurangan, aku perlahan-lahan melakukannya.

Seperti inilah buku seharusnya dirumahkan, diperlakukan. Ruku sejauh ini 
merupakan tempat ideal
bagiku, tempat segala hal kebutuhanku atas buku dan bacaan lain, juga seni dan 
musik, terpenuhi.
Aku selalu ingin mengenalkan tempat ini pada siapa pun, mencoba mengasosiasikan 
diri dengannya,
mentraktir orang---meski jarang. Tapi dengan niat baik seperti itu pun ternyata 
masih kurang.
Tepatnya malah keadaan itu dijadikan kesempatan orang untuk berbuat kejahatan. 
Sudah beberapa kali
Ruku kecurian, termasuk CD player, hiasan, dan sebagainya. Aku sebal mendapati 
kenyataan itu.

Ada begitu banyak buku di rumah ini, tapi di rumah kami pun buku yang belum 
dikunyah banyak
sekali. Begitu juga dengan musik, ditambah film hasil kopian atau hadiah teman. 
Seseorang bilang
semua itu ada gunanya. Ubing selalu bilang, 'Itu semua bakal ada hisabnya.'

BIASANYA aku jalan kaki pulang dari Ruku ke rumah lewat Secapa---Sekolah Calon 
Perwira, kompleks
sekolah TNI di samping perkampungan tempatku tinggal. Sebenarnya, Panorama, 
Hegarmanah,
Ciumbuleuit, Secapa, adalah tempat main masa kecilku, tempat aku dan 
kawan-kawan menjelajahi
setiap kemungkinan sudutnya; semua nyaris masih serupa selain tambah padat, 
sempit, tua, orang
silih berganti datang dan mati.

Kalau tidak jalan kaki aku harus kembali turun memotong jalan ke Setiabudhi 
lagi, buat naik
angkot. Aku akan kembali menelusuri jalan naik atau turun, dibelah oleh sungai 
kecil lain. Bisa
kurasakan naik-turun tanah ini, susunannya, karena aku adalah bagian tempat 
ini. Dari dahulu, tak
ada tempat lain yang bisa aku katakan sebagai tempat kembali, pulang, rumah, 
selain di sini.
Barangkali pada saatnya aku akan mati di mana saja, atau ditelan Bumi kapan 
saja, begitu saja,
tapi selama hidup, di sinilah tempat tinggalku. Aku masih diikat secara fisik 
di sini, di tempat
yang nyaman bagi seorang individu; tapi siapa yang tidak? Manusia bisa memilih 
terikat oleh apa
pun, boleh terasosiasi dengan segala sesuatu, boleh nyaman dengan segala 
sesuatu, dan aku pikir
itu sama saja nilainya. Kalau tidak, orang lain akan mengategorikannya---baik 
hati-hati atau
sembarangan. Dengan apa orang tidak dikaitkan? Orang betul-betul hidup dalam 
dunia terkecilnya,
dunia yang paling intim melekat pada dirinya. Lekatannya bisa yang material dan 
tidak. Aku begitu
terikat dengan Staedtler 0.3., buku, perkawinan, tempat kerja, iman (betapapun 
rapuh), musik,
komputer, dan kini ditambah 'Ruku'.[] dinukil dari diari, 18 Februari 2005, 
ditemani Miles David
Quintett, Rumah Buku.

Never underestimate people. They do desire the cut of truth. 
Jangan meremehkan orang. Mereka sungguh ingin kebenaran sejati.

© Natalie Goldberg
----------------------------------------------------------------------
Esai, resensi, artikel, dan lebih banyak tulisan. Kunjungi dan dukung blog 
sederhana ini:

http://halamanganjil.blogspot.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 




Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke