Ieu aya artikel tina website http//www.pantau.or.id nu nyarioskeun salah 
saurang baraya urang Kang Engkus Ruswana nu sok sering nyerat dina millis 
kisunda  (member kisunda), oge Mei Kartawinata sareng "Agama" Buhun. 
Artikelna nyanggakeun :

Negara, Agama dan KTP *)
Oleh Agus Sopian

Ada tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana.
Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius
lagi: dia sedang dalam kontrol negara?
Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk
mengintip gerak-gerik rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya.
Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis
Indonesia. Mereka  dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan
kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor
mereka.  Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET,
singkatan dari "eks tapol".

Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak.
Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg
sama sekali. Mereka malahan tak bisa mengetuk pintu-pintu lainnya. Semua
kebebasan sipilnya tertutup, kecuali derita panjang. Terkadang derita itu
menjalar sampai ke anak-cucunya.

Dan sekarang, perlukah Ruswana dikontrol sebegitu rupa sehingga ruang
kebebasan sipilnya juga harus ditutup, semua atau sebagian? Saya mengenal
Ruswana cukup lama. Dan rasa-rasanya dia tak memadai untuk dikerangkeng
dalam definisi orang berbahaya. Dia suami dari seorang istri, Tuti Ekawati,
seorang ibu rumah tangga yang ramah. Ruswana bapak dari tiga anak, yang
kesemuanya tak pernah punya pertalian dengan kasus-kasus yang dapat dianggap
membahayakan negara.

Ruswana yang saya kenal adalah seorang planolog lulusan Institut Teknologi
Bandung (ITB) tahun 1983, dan kini bekerja sebagai konsultan ahli sistem
perencanaan pembangunan pada Local Governance Support Program (LGSP), sebuah
lembaga kontraktor untuk United States Agency for International Development
(Usaid).
Saya baru tahu di belakang hari kalau KTP strip itu ternyata penanda buat
seorang penghayat aliran kepercayaan. Ruswana memang pemeluk Agama Buhun,
suatu aliran kepercayaan yang bersumber dari ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Di Indonesia, penganut Agama Buhun tak sedikit. Data yang terekam oleh
peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan populasi
100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran
kepercayaan terbesar di Indonesia.  Dikatakan terbesar lantaran angka itu
adalah 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran
kepercayaan yang terdaftar, total jenderal penghayat mencapai 400 ribu jiwa
lebih.

Semua penghayat umumnya mendapat KTP strip. Negara menggolongkan mereka
sebagai pemeluk "agama lain-lain" dan praktis segolongan dengan penganut
Konghucu, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur,
Kaharingan, Pahkampetan, Bolim, Basora, Tonaas Walian dan banyak lagi.
Sebagai penganut "agama lain-lain", banyak dari mereka yang harus berurusan
dengan ranjau-ranjau birokrasi yang cenderung diskriminatif itu. Bukan hanya
dijatah KTP strip, adakalanya bisa lebih menyakitkan lagi: mereka
dipersetankan untuk punya KTP.

Contoh paling terkenal adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda
Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais
dari Cigugur, Kuningan. ADS (Agama Djawa Sunda), inilah cap buruk yang
diberikan kolonial Belanda untuk ajaran Madrais. Si empunya lakon belakangan
ditangkap, lalu dibuang ke Ternate dan baru kembali ke kampung halamannya
sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan pengembangan ajarannya, terutama di
sekitar kampung halamannya. Agama Sunda Wiwitan versi Madrais, akhirnya
dikenal juga sebagai Agama Cigugur.

"Saya sudah mendapatkan KTP sekarang," kata Dewi Kanti, awal Maret  lalu.
Tengah malam sebentar lagi tiba, Dewi Kanti masih bersemangat menceritakan
pengalamannya untuk memiliki KTP. Katanya, selama bertahun-tahun dia tak
pernah berhenti mendata kasus-kasus KTP para penghayat untuk meyakinkan
birokrasi catatan sipil. Agustus 2005, dia baru mendapatkan KTP, atau
setelah birokrasi menggantungnya tiga tahun.

Pahit yang dirasakan Dewi Kanti dimulai dari upacara pernikahannya dengan
Okky Satrio yang berlatar adat Sunda Wiwitan. Birokrasi sipil tak terima.
Pasangan itu gagal memeroleh Akta Nikah. Orang tahu, Akta Nikah adalah bahan
baku untuk Kartu Keluarga, dan Kartu Keluarga bahan baku untuk KTP.
Gara-gara tak punya KTP, Dewi Kanti kehilangan hak asuransi dari suaminya,
saat bekerja pada suatu perusahaan sekuritas.  Kepahitan telah berlalu, KTP
sudah di tangan Dewi Kanti, tapi suaminya tak lagi jadi karyawan swasta.
Kini dia jadi petani.

***

Di kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum
Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei
Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang
melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua lainnya Aji Dipa dan
Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).

Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata "agama" menurutnya
adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk "ada" dan gamana untuk "aturan
atau jalan". Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai "ada aturan atau
jalan (lebih baik)" dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei
Kartawinata bermuara.
Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama
Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar
ketuhanan. Kemanusiaan berdasar persamaan.  Kebangsaan berdasar karakter dan
nation building.

Apa boleh buat, negara melarang apa yang diyakini Ruswana sebagai agama.
Larangan ini ada aturan yuridisnya: UU No. 1/1965, yang kemudian diikuti
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1/1969.
Kombinasi aturan ini dipagari Ketetapan MPR No IV/1978 yang menggariskan
bahwa "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama."
Sebuah frasa aneh, dan nyaris tak memiliki logika. Pertanyaannya, apakah
ketidakpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan agama?
Apapun, demi aturan main dan loyalitas pada negara, para pemeluk ajaran Mei
Kartawinata menamai agama mereka Aliran Kepercayaan Perjalanan, biasa
disingkat AKP,  sebuah nama yang kemudian dijadikan nama organisasi bagi
salah satu sekte penghayat ajaran Mei Kartawinata. Siapa Kartawinata?

Nama itu pernah dikenal dalam jagat politik Indonesia tahun 1950-an. Dia
pendiri Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Pada pemilihan umum
1955, Permai mendapatkan dua kursi di konstituante. Kartawinata juga pernah
menjadi nama penting dalam jagat seni. Dia  menjadi figur sentral di balik
pendirian Pebadi (Paguyuban Dalang Indonesia). Kartawinata suka wayang.
Melalui wayang, dia memompakan ajaran-ajarannya.
Peneliti Abdul Rozak - sehari-harinya menjabat dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Sunan Gunung Djati, Bandung - banyak memberikan
informasi seputar riwayat hidup Mei Kartawina melalui bukunya itu. Di luar
pendekatannya terhadap teologi Agama Buhun, Engkus Ruswana mengafirmasi
kebenaran fakta di dalam buku itu. Tokoh-tokoh Agama Buhun lainnya seperti
Aa Suara Adinegara, Usup Sudarsa, Suparman, atau Endang Rasidi, menyatakan
sependapat.

Menurut Abdul Rozak, Kartawinata lahir 1 Mei 1897 atau 1898 di Bandung. Dia
mendapatkan pendidikan dari sekolah rakyat. Usia remajanya dihabiskan di
lingkungan kediaman Sultan Kanoman Cirebon. Pada 1929, dia pergi ke Subang
dan bekerja di sebuah percetakan. Di sini Kartawinata tertarik pada dunia
pergerakan, dan setahun kemudian dia mendirikan organisasi Perjalanan.
Kartawinata mulai mengembangkan ajarannya, hasil kontemplasinya pada laku
air.

Dia sering memperhatikan Sungai Cileuleuy.  Pikirnya, dalam perjalanan
menuju lautan, air sungai itu memberi kesejahteraan pada lingkungannya. Pada
pepohonan. Pada binatang. Pada manusia. "Sungguh suatu perbuatan yang sangat
mulia dan sangat luar biasa."
Kartawinata ingin dirinya seperti air.

Dia tak sendirian dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Kartawinata dibantu
dua sahabatnya, M. Rasyid dan Sumitra. Rasyid berasal dari Bandung, anak
keluarga kaya di kawasan Pasar Baru. Sedangkan Sumitra seorang yang berasal
dari Garut. Mereka sering bersama-sama menerima wangsit, suara dari suatu
sumber tanpa wujud dan rupa. Adakalanya, wangsit datang hanya pada
Kartawinata seorang, terutama saat sedang merenung di pinggir Sungai
Cileuleuy.

Ajaran Mei Kartawinata didengar orang. Dari hari ke hari, pengikutnya makin
bertambah. Tak hanya orang-orang yang sebelumnya sama sekali tak beragama,
tapi juga mereka yang sudah memeluk agama tertentu.
Kolonial Belanda menganggap Kartawinata menggangu ketertiban umum. Maka,
seperti juga nasib yang menimpa Pangeran Madrais, Kartawinata jadi korban
katastrofi politik represif kolonial Belanda.  Tahun 1937, Kartawinata
ditangkap dan dipenjara di Bandung. Di masa pendudukan militer Jepang,
lagi-lagi Kartawinata dipenjara. Itu tahun 1943. Lalu, ketika Belanda datang
lagi, pada 1947, Kartawinata masuk bui Cirebon. Dua tahun kemudian,
Kartawinata jadi penghuni penjara Glodok di Jakarta.

***

Ada banyak nama untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar AKP, Perjalanan atau
Agama Buhun, orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila,
Agama Yakin Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau
Jawa-Jawi Mulya. Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama
Kuring". Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau
"Saya". Prosekusi libel "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan
pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.

Cap semau gue telah lama menancap, sekurang-kurangnya sejak Mei Kartawinata
meletakkan alam sebagai "kitab suci". Ruswana menerangkan esensi itu.
Katanya, alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh
manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa
membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.

Di bawah keyakinannya akan "kitab suci" itu, Ruswana menimbang bahwa agama
yang dianutnya bukanlah berasal dari sinkretisme antara Islam dan budaya
Sunda. Ini sekaligus tanggapannya untuk pendapat-pendapat yang terus
berkembang, yang pada pokoknya menyatakan ajaran-ajaran Mei Kartawinata
berasal dari sinkretisme itu, bahkan sinkretisme adat Sunda dengan aneka
macam agama: Islam, Kristen, Hindu. Pendapat ini berlatar pada riwayat hidup
Mei Kartawinata, yang diketahui sempat bergumul dengan macam-macam teologi
ketuhanan dari rupa-rupa agama.

Abdul Rozak mengungkapkan bahwa di masa kecil, Kartawinata mengenal teologi
Kristen dari sekolahnya, HIS Zendingschool. Semasa remaja, dia masuk
pesantren-pesantren dan diduga belajar kitab kuning. Kemudian, Kraton
Cirebon mengenalkan dia pada pada ajaran-ajaran kebatinan.

Kraton Cirebon dalam sejarahnya memang masyhur sebagai salah satu tempat
pertumbuhan ajaran-ajaran kebatinan. Yang terkenal adalah Ngelmu Sejati atau
Ngelmu Hakekat, kadang disebut juga Ngelmu Makrifat. Kaum santri menyebutnya
Ngelmu Engkik atau Ngelmu Garingan -- kontra "ilmu basah" yakni ilmu-ilmu
yang didapatkan para santri, yang selalu bersinggungan dengan air, baik
untuk mandi maupun wudhu.
Mei Kartawinata diduga mendalami Ngelmu Sajati itu. Dasar argumentasinya
adalah bahwa Kartawinata pandai membaca kitab kuning, suatu kunci yang bisa
membuka gerbang teologi Murjiah, yang nyata-nyata mendukung pemikiran
kebatinan itu.

Ngelmu Sejati sendiri, dalam pandangan Abdul Rozak, berasal dari
tulisan-tulisan yang disebut Primbon. Sumbernya, penjabaran ajaran tasawuf
Wihdah al-Wujud gagasan Ibnu Arabi. Bisa dipahami kalau dalam ajaran Ngelmu
Sejati terdapat istilah-istilah dalam ajaran tasawuf tadi, seperti alam
Ahadiat,  alam Wahdat, Wahdaniyat, alam Arwah, alam Mitsal, alam Ajsam, atau
al-Insan al-Kamil.

Ruswana menolak pendekatan itu. Menurutnya, penggunaan  istilah-istilah
tadi -- yang antara lain terekam dalam kitab Budi Daya, buku panduan bagi
penghayat ajaran-ajaran Mei Kartawinata --  lebih bermuara pada situasi dan
kondisi masa-masa awal penyebaran ajaran-ajaran Mei Kartawinata.
Dulu, tutur Ruswana, banyak penganut ajaran Mei Kartawinata yang berasal
dari kalangan Islam. Mereka, salah satunya Haji Sujai, menuntut Kartawinata
menjelaskan inti ajaran dalam istilah yang mereka pahami. Kartawinata manut.
Di belakang hari, Kartawinata bahkan menggunakan pula istilah-istilah dalam
bahasa Belanda, semata untuk melayani komunitas pengguna bahasa Belanda.
Juga istilah-istilah dalam bahasa Cina untuk keperluan yang sama.
***

Bagaimana dengan pengaruh Hindu? Kemungkinan pengaruh itu selalu ada. Hindu
dan Budha, menurut catatan sejarah, masuk ke Indonesia dalam kurun abad ke-2
hingga ke-4. Lebih dari cukup buat kedua agama itu untuk menjangkarkan
pengaruh religiusitasnya, baik melalui penetrasi maupun akultrasi, ke dalam
masyarakat Indonesia sejak masa silam. Apalagi keduanya masuk ke Indonesia
dengan cara-cara damai melalui hubungan dagang.

Fakta berikutnya, sebelum Islam datang, hampir seluruh kerajaan di
Indonesia, mulai nama kerajaan hingga rajanya sendiri, menggunakan nama-nama
Hindu atau Budha. Di Kalimantan, raja-raja Kutai, yang dianggap sebagai
raja-raja tertua di Indonesia menggunakan nama-nama Hindu sejak Kundungga
digantikan keturunannya mulai Devawarman, Aswawarman hingga Mulawarman.

Di Sumatra, kerajaan tertua Kanto Li - nama Cina untuk kerajaan Sriwijaya
awal di Palembang - juga diperintah oleh raja-raja bernama Hindu atau Budha.
I Tsing, musafir dari Cina, yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M,
memberi kesaksian bahwa Sriwijaya adalah pusat penelitian agama Budha dan
mempunyai banyak sarjana filsafat termasyhur seperti Sakyakirti, Dharmapala
dan Vajabudhi.
Di tanah Priangan, naskah Pangeran Wangsakerta dari Cirebon --  naskah yang
dianggap tertua dan kini sedang dalam pengajian para ahli sejarah --
mengindikasikan kalau raja-raja Sunda di masa awal telah menggunakan
nama-nama Hindu sejak abad ke-4 Masehi, termasuk kemudian Tarumanagara.
Sudah jamak dalam suatu sistem sosial prademokrasi, rakyat diminta loyal dan
taat dari hulu sampai hilir pada raja-rajanya, tak terkecuali dalam
keyakinan.  Konsep keyakinan, kepercayaan pada Tuhan, iman, pada akhirnya
menjadi suatu konsep "langage" - istilah yang digunakan pemikir Islam Ulil
Abshar-Abdalla untuk merumuskan bentuk dan wujud iman.

Dalam takrif itu, berangkat dari filsafat Saussurean yang melandasinya,
kepercayaan kepada Tuhan menjadi serba pasti, positivistis, dan dapat
menjadi dasar untuk perumusan suatu ideologi perubahan sosial. Iman
ditentukan oleh penguasa. Seorang penguasa beragama A, rakyatnya akan ikut
A.
Ajip Rosidi, sejarawan cum budayawan yang memahami dengan baik kosmologi
kesundaan, menerangkan bahwa memang tak tertutup kemungkinan ada pengaruh
Hindu dalam Agama Sunda Wiwitan, yang ditandai oleh adanya kosakata-kosakata
yang berasal dari Hindu tadi. Dalam seri Sundalana tentang "Islam dalam
Kesenian Sunda", contoh-contoh yang diberikan Ajip Rosidi lebih teologis,
seperti Batara Tunggal, Batara Jagat hingga Batara Seda Niskala. Hanya saja,
menurut Ajip Rosidi, semua batara tadi tempatnya berada di bawah Sanghiang
Keresa (Yang Maha Kuasa).

"Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan," kata Engkus Ruswana.
Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan
komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes,
Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda Wiwitan yang
berkembang di tanah Sunda.

Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai
Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa.
Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu
heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu dan Budha. Robert Wessing, peneliti
dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social
Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam
masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling
signifikan.
Dalam Agama Buhun, alam didefinisikan secara luas, mulai pohon-pohon,
sungai, air, langit dan sebagainya - yang mereka sebut Nyakra Manggilingan
(konsep keteraturan alam) - sementara dalam Agama Sunda Wiwitan, alam lebih
mengerucut lagi ke dalam definisi pohon-pohonan, dan terutama padi, yang
dianggap sebagai simbol Dewi Sri. Tercela bagi pemeluk Agama Buhun dan Sunda
Wiwitan untuk merusak alam.
Alam semesta, tutur Engkus Ruswana, adalah  tempat kita bisa belajar dan
menghayati. Seluruhnya berjalan secara teratur. Dalam keteraturan ini,
gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin, telah
menjalankan kodratnya, memberikan kehidupan pada seluruh makhluk. Begitu
pula tumbuh-tumbuhan dan hewan. Semuanya telah menjalankan kodratnya, yang
pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
"Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya,
melaksanakan kemanusiaannya," Ruswana bertanya retoris.
***

Debat teologis di sekitar Agama Buhun belum lagi usai, seperti juga debat
eksistensialnya. Agama Buhun masih tetap berada dalam lingkaran yuridis
aliran kepercayaan, di saat Konghucu yang selama ini sejajar dalam daftar
"agama lain-lain" mulai mendapat angin dari negara untuk didaulat sebagai
agama yang ajeg.
 "Disebut agama maupun tidak, negara harus menjadi pengayom semua," kata
Mujtaba Hamdi, seorang aktivis  lintas agama dari Jakarta, yang kerap
menyuarakan perlunya toleransi dan pemahaman pluralisme. Taba, demikian
panggilan akrab buatnya, mengatakan bahwa tugas negara adalah melindungi
eksistensi semua masyarakat. Tak boleh pilih-pilih: dilindungi yang satu,
digencet yang lain.

Ketidakadilan yang dilakukan negara selama ini, kata Taba, bersumber dari
definisi yang bias. "Dalam definisi resmi negara kita, yang disebut sebagai
agama adalah sistem kepercayaan yang, di antaranya, memiliki kitab suci dan
nabi. Definisi ini menurut dia, terlalu bias 'agama samawi',  bahkan terlalu
bias Islam.
Dikatakan bias Islam, sebab menurut dia, posisi sentral kitab suci dalam
Islam, sangat beda dengan posisi kitab suci di Kristianitas, misalnya. Di
Kristianitas, Injil adalah sabda Yesus, dan jika Yesus diposisikan sebagai
Nabi maka -- kalau mau disepadankan dengan Islam -- Injil itu setara dengan
hadis.

"Tapi, yang disebut orang Islam kitab suci bukanlah hadis, melainkan
al-Quran. Jadi, kalau mau di-strict-kan di sini, apa itu agama, yang
dimaksud tak lain adalah Islam. "  Dengan kata lain, definisi ini sudah
mengandung 'kuasa', bahwa Islam-lah yang paling otoritatif, yang paling sah
untuk disebut agama. Yang lain-lain, baru bisa masuk sebagai agama hanya
jika mau disepadankan posisi 'kitab suci' dan 'nabi' dengan posisinya dalam
Islam.

"Apakah dengan posisi demikian, saya tidak lagi loyal sama Islam? Saya yakin
tidak. Saya justru sangat loyal dengan Islam. Di Islam, patokan agama dengan
kategori-kategori seperti yang dimiliki di negeri kita, sebenarnya bisa
dikatakan tidak ada. Bahkan kalau 'agama' itu merupakan terjemahan kata din
dalam bahasa Arab, pengertiannya justru sangat berbeda dari pengertian resmi
kita," ujar Taba, pendiri Syir'ah itu, sebuah majalah dengan slogan
"Menenggang Beda."

Agama dalam pandangan Taba adalah ad-diin nashihah. Nasihat. Maksudnya,
agama adalah jika si pemeluk memiliki perhatian untuk saling memperhatikan
sesama, memperingatkan mereka jika melakukan kesalahan, membantu mereka jika
memperjuangkan kebenaran, menolong mereka jika tak mampu.
Lalu, dalam Islam juga dikenal ad-diin mu'aamalah. Agama itu interaktif
dengan masyarakat. Intinya, agama adalah jika si pemeluk agama berkomitmen
untuk mencipta hubungan yang baik dengan masyarakat, berbagi, saling bantu,
baik masyarakat itu muslim atau nonmuslim.
Bagaimana kriteria suatu kepercayaan menjadi agama?

Menurut Taba, pertanyaan itu menyiratkan bahwa sebuah "aliran kepercayaan"
berposisi subordinat di bawah agama: bahwa untuk bisa diakui, sebuah
kepercayaan harus menjadi "agama".  Ini tidak fair. Definisi agama hanya
digunakan untuk 'menaklukkan' dan 'mendelegitimasikan' kepercayaan.  Taba
tak keberatan jika suatu aliran kepercayaan disebut agama jika mereka
sendiri menyebutnya begitu.

Sebuah pertanyaan retoris lagi-lagi muncul, dan kali ini dari Taba: "Saya
ingin Islam, dan umat Islam, bersikap adil, bahkan sejak dalam pikiran,
dalam konteks ini, sejak dalam definisi agama. Dan bukankah sikap adil lebih
dekat pada takwa, seperti kata al-Quran."
Sikap adil juga seharusnya menjadi landasan negara dalam memandang
pluralisme agama dalam masyarakat.  "Negara harus sadar bahwa masyarakat
negeri ini tidak tunggal. Negara harus mengakui dengan tegas bahwa negeri
ini memang "bhineka", bermacam ragam, dan semua harus dilindungi."
Sebagai awal, Taba meminta negara untuk mulai menghapus kolom agama di KTP.
"Inilah biang segala ketidakadilan."
Ada bahaya lain di ujung perkara KTP bertanda strip pada kolom agamanya.
Siapa yang bisa menjamin seluruh rakyat Indonesia paham "bahasa KTP"?
Salah-salah mereka yang memiliki KTP strip didiskreditkan atheis. Dan
atheisme tak pernah punya tempat di negeri ini.
Ada masa-masa rapuh yang lahir dari rahim prasangka atheisme. Kita bisa
belajar dari peristiwa hitam yang terjadi di tahun-tahun rusuh, saat massa
memburu mereka yang dianggap atheis.

Hari penuh kebencian itu berlangsung pada tahun 1954, di Kampung Paku
Tandang, Ciparay, Bandung, kiblat bagi penghayat Agama Buhun. Kampung ini
dibakar. Parang-parang berhenti menyabit rumput, lalu berganti fungsi jadi
alat penyabit leher. Tiga orang yang berusaha meloloskan diri dari amuk
massa, akhirnya meregang ajal. Di belakang jasad mereka, sebanyak 22 orang
yang mempertahankan rumah ibadat Pasewakan, tewas terbunuh. Terbakar atau
diparang.

Sejarah tak pernah mengenang mereka yang mati hari itu. [end]


* Versi cetak dimuat majalah Playboy Indonesia, edisi I, April 2006.



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke