----------

REPUBIKA Minggu, 28 Mei 2006
SELISIK
Menulis untuk Menyenangkan Orang


Berdasar pemberitahuan Jamal, Epigram, novel ke-4 dia diterbitkan GPU pada
23 Mei 2006. Waktu terakhir bertemu, dia tengah mencari orang yang mau
meresensi novel itu. Aku langsung bilang ingin baca dan meresensi. Aku
sudah baca tiga novel dia sebelumnya -- Louisiana Louisiana,
Rakkaustarina, dan Fetussaga. Ada banyak kalangan yang telah merespons
karyanya.

Atas kebaikan GPU dan Jamal, pada 20 Mei 2006 aku malah sudah menerima
kiriman satu kopi Epigram. Hal pertama yang mengesankan ialah: covernya
cantik. Aku senyum, ini justru novel dia yang covernya ditangani orang
lain -- cover tiga novel sebelumnya dia desain sendiri. Aku bukan bilang
bahwa cover desain dia buruk, tapi harus diakui ternyata orang lain punya
interpretasi tertentu atas sebuah karya, dan itu wewujud sebagai cover
yang sangat cantik. Itu dia akui sendiri, bahwa cover karya Marcel AW
memang keren. Epigram adalah novel pertama Jamal terbitan GPU, sebelumnya
tiga buku dia diterbitkan Grasindo.

Sejujurnya aku lebih terkesan oleh pribadi, keramahan, dan kerendahhatian
Jamal, lebih dari ketertarikanku pada novelnya. Ada sesuatu dalam novelnya
yang mungkin bukan seleraku. Sementara menurut peribahasa Latin: de
gustibus non est disputandum -- soal selera tak bisa diperdebatkan. Aku
suka humor dalam novelnya, keceriaan dan optimisme, atau tanpa pretensi
dalam tulisannya. Tapi, ternyata aku kurang terkesan misalnya oleh setting
luar negeri yang dia ajukan, termasuk penggunaan kosakata asing dasar
dalam dialog.

Harus diamini dia penulis mahir. Dalam bingkai pop, Jamal mengemas
persoalan disorientasi budaya, moralitas, kejujuran, bagaimana tetap
mempertahankan idealisme di tengah situasi atau godaan sulit dan tidak
sesuai. Jakob Sumardjo pernah komentar, ''Jamal bermain di wilayah global,
lebih terbuka dalam membicarakan seksualitas, sarat pengetahuan dan
filosofi mutakhir, berbumbu humor cerdas.''

Mungkin karena lebih tertarik mengedepankan niat 'menghibur', barangkali
itu menghalangi dia mengeksplorasi sesuatu sedalam-dalamnya, misal tentang
bahasa, cara bertutur, atau gaya menulis. Bahasa yang dia gunakan dan
caranya menulis rumpang bila dibandingkan kedalaman tema yang coba dia
masuki. Dia suka menjelajahi tema estetika, gegar budaya, kosmologi, juga
kehidupan urban dan politik-sosial. Aku kerap merasa bahwa plot dalam
novelnya datar, kurang riak, sulit membangkitkan emosi, konfliknya gagal
membuat aku tercekat, mudah diselesaikan.

Pasti cukup sulit hendak mengubah cara bertutur bila seseorang nyaman
dengan gaya tertentu, apalagi bila sudah diterima dengan baik dan tidak
dianggap sebagai keanehan yang patut diubah. Tapi mungkin berusaha
mengubah cara bercerita yang lebih matang patut dipertimbangkan. Sejumlah
penulis melakukan hal itu. Tepatnya, setiap kali menulis merupakan
eksperimen baru, dinamika.

Jamal berdedikasi pada sosial dan budaya Sunda, dan itu aku hargai penuh.
Dia ikut mendirikan Yayasan Perceka yang dibikin anggota milis urangsunda,
mengirimkan buku ke desa-desa di Jawa Barat, ikut menumbuhkan minat baca
supaya generasi muda jauh lebih pintar. Bersama yayasan ini, Jamal pernah
menyunting buku humor Sunda yang membuatku ger-geran. Kata dia,
"Memperkuat suku atau etnis bangsa pada gilirannya akan otomatis
memperkuat bangsa."

Setiap kali bersua, Jamal langsung membuat sadar bahwa aku ini Sunda juga.
Maka aku selalu ingin bicara Sunda padanya, termasuk 'ngabodor.' Hanya aku
selalu khawatir kasar. Ternyata kekhawatiran itu dia jawab, 'Ah, ngomong
Sunda itu yang penting merenah (cocok).' Kekhawatiranku jadi lenyap.
Sebagai orang Sunda, aku makin jarang menggunakannya, apalagi pada kenalan
baru, bahkan tidak pada istri dan anak.

Menyenangkan setiap kali bertemu Jamal. Dia kocak banget, ramah, produktif
-- lebih dari itu: baik. Dulu waktu pertama kali bertemu, di Pesta Buku
Jakarta 2002, dia juga selalu ingin bikin dunia tersenyum. Ternyata
kebaikan dia terus berlanjut, nyaris setiap kali bertemu, sampai aku
sungkan berhadapan dengan dia. Tapi dia sendiri terus-menerus bilang,
''Aku senang bikin orang lain bahagia.'' Aku tambah tak enak, meski
ujungnya senang. Siapa yang menolak diberi kesenangan? Kesenangan itu kan
saudaranya kebahagiaan; kalau bukan, tentu sepupunya.

Jamal tampak ikhlas menjalani karir kepenulisan. Dia menganggap kemampuan
menulis itu hal biasa yang tak patut dibangga-banggakan secara berlebihan,
malah kerap menganggap sebagai keahlian 'ngibul', persis dia bilang Itenas
(Institut Teknologi Nasional) adalah tempat dia 'main' --sebagai ganti
bahwa dia adalah dosen desain di sana.

Dia santai saja menulis, bahkan setelah berhasil menerbitkan empat novel.
Dia bilang, ''Aku menulis untuk menghibur, menyenangkan orang, melakukan
yang terbaik bagi orang lain.'' Di sisi materi dia memperoleh royalti yang
rutin dia berikan untuk bayaran SPP kuliah adiknya. Di sisi nonmateri, dia
berhasil menghibur pembaca. Bayaran untuk keikhlasan justru dua:
penghiburan dan kekayaan. Tapi meski begitu aku kerap sedih atas respons
kurang pantas beberapa orang atas yang telah dicapainya, seolah-olah itu
sama sekali tak layak dilirik.

Bagaimana dengan Epigram? Dari sajiannya, novel ini menggugah selera.
Minimal dia mengalami perubahan: naskah ini mesti ditangani cukup berbeda
dibandingkan penerbit sebelumnya, jangkauan pembaca sasaran pun mungkin
berubah, bahkan desainer cover. Yang pasti: Epigram tentu sulit masuk toko
buku (alternatif) yang tidak menjual terbitan GPU.

Epigram kini sudah di tangan. Mikihiro Moriyama, salah satu pembaca awal
novel ini, berkomentar, ''Suatu novel yang ambisius.'' Aku terkenang Jamal
lagi, berharap niat baik dia menulis terus terpelihara, didukung
sepantasnya. Ini novel harus dibaca, minimal sekali saja.

(Anwar Holid )



mj

http://geocities.com/mangjamal








Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




SPONSORED LINKS
Corporate culture Business culture of china Organizational culture
Organizational culture change Organizational culture assessment Jewish culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to