Kang Nata,
Pangeran Papak teh cenah nu nyiptakeun kasenian "Surak
Ibra". Tah ieu di handap artikelna.

salam,
mh
=========
PR. Senin, 23 Januari 2006
Surak Ibra, Pudarnya Simbolisme Perlawanan

    MASYARAKAT Sunda sangat menentang berbagai bentuk
penjajahan sejak dulu. Kerinduan atas kebebasan dan
pembentukan pemerintahan sendiri telah muncul saat
penindasan dari kaum kolonial semakin menjadi.
Kesenian surak ibra adalah salah satu bentuk
simbolisasi pemberontakan tersebut, meski sekarang
nasib kesenian tradisional ini berada di ambang
kepunahan.

SEORANG "bobodor" tengah dibopong oleh puluhan
"pamunggu" dalam pertunjukan surak ibra yang digelar
pada Kemilau Nusantara di Bandung, September 2005.
Kesenian ”buhun” asal Garut ini diciptakan R.
Djajadiwangsa pada 1910 sebagai sindiran kepada
penguasa Kolonial Belanda.*DUDI SUGANDI/"PR"

SEMARAK, gembira, dan kolosal adalah ciri khas
pertunjukkan boboyongan atau surak ibra. Sepintas
boboyongan nampak seperti penggalan momen penyambutan
kemenangan seorang tokoh yang dibopong oleh sejumlah
pendukungnya.

Sedikitnya terdapat 40 hingga 50 orang yang harus
terlibat dalam pagelarannya. Mereka berbagi posisi
menjadi seorang bobodor, belasan nayaga (pemain
musik), dan sisanya sebagai pamunggu.

Bobodor adalah orang yang dielu-elukan, karena
perannya yang diposisikan untuk selalu ngabodor
(melucu). Bobodor dilempar-lemparkan ke udara oleh
puluhan pamunggu (pemboyong) sembari bersorak (Sunda:
surak). Bobodor kerap melakukan gerakan gimnastik di
atas boyongan.

Belasan anggota nayaga masing-masing memegang alat
musik seperti seperangkat dogdog (alat pukul
menyerupai gendang), kendang, terompet, angklung,
keprak awi, kohkol awi, dan goong kecil.

Kesenian ini menurut catatan diciptakan oleh Raden
Djajadiwangsa pada 1910. Raden Djajadiwangsa merupakan
seorang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa
Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut. Ia merupakan putra
dari Raden Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan
nama Pangeran Papak, tokoh besar Wanaraja Garut.

Seperti layaknya sang ayah, ia sangat menentang
pendudukan Belanda. Tindakan sewenang-wenang terhadap
rakyat Cinunuk Wanaraja membuat ia tergerak untuk
memobilisasi massa. Upaya itu tidak dilakukan melalui
perlawnan frontal seperti yang dilakukan Haji Hasan
Arief di Cimareme Banyuresmi.

Melalui kesenian, masyarakat Cinunuk dipersatukan,
menerapkan kaidah bergotong-royong sekaligus membuat
simbolisasi pengangkatan seorang pemimpin dari
kalangan sendiri. Orang kepercayaan bernama Eson
diposisikan pimpinan. Eson dan kawan-kawan kemudian
menggabungkan pencak silat, tari, dan bodor. Eson pula
yang kemudian menjadi bobodo.

Kesenian ini kemudian dinamakan boboyongan Eson, atau
sebagian orang menyebutnya dengan nama surak Eson.
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan yang tak
disengaja di luar masyarakat Cinunuk hingga namanya
berubah menjadi surak ibra.

Pertama kali surak ibra (baca: boboyongan) dipentaskan
hanya di kalangan keturunan Raden Djajadiwangsa saja.
Kesenian ini berkembang hingga ke luar wilayah
Wanaraja. Pada 1930, dipentaskan di Pendopo Kabupaten
Garut dalam "Pesta Raja" menyambut hari pernikahan
Ratu Juliana.

Sebagai rasa terima kasih, pemerintah Belanda
memberikan hadiah berupa sebuah koper dari kuningan
serta selusin kaus oblong "cap kunci". Koper kuningan
masih menjadi barang mewah saat itu. Sementara,
beberapa potong kaus oblong "cap kunci" saat ini masih
tersimpan apik di tangan keturunan Raden Djajadiwangsa
di Cinunuk Wanaraja.

"Pemerintah Belanda saat itu tak menyadari bahwa
sebenarnya kesenian surak ibra yang ditampilkan itu
merupakan sindiran langsung kepada mereka. Kita jelas
menginginkan pemerintahan sendiri dan mengangkat
seorang pemimpin di antara kita," ucap Amoh Junaedi,
saat ditemui di kediamannya di Kampung Dunguscili Desa
Cipicung Kecamatan Banyuresmi Garut, Kamis (19/1).
Amoh merupakan generasi ketiga penerus kesenian buhun
ini.

Masyarakat Cinunuk secara tidak langsung dipersatukan
lewat kesenian ini sejak pertama kali diciptakan.
Setelah kemerdekaan, surak ibra selalu ditampilkan
saat hari-hari besar. Pada tahun 1979 saat festival
kesenian di Senayan Jakarta. Saat itu, rombongan surak
ibra dari Cinunuk wanaraja ditetapkan sebagai juara
kedua tingkat nasional, setelah Timor Timur.

Selain “versi” Cinunuk, surak ibra juga telah mendarah
daging di masyarakat Cibatu. "Sampai sekarang saya
juga tidak mengerti, mengapa surak ibra ada di
Wanaraja? Padahal, surak ibra yang aslinya hanya ada
di Desa Kertajaya Kecamatan Cibatu Garut. Saya tahu
persis itu," demikian keheranan Tasdik (73), warga
Kampung Cipanasciloa Desa Kertajaya Kecamatan Cibatu
Garut. Tasdik yang lebih dikenal warga dengan nama
Entas itu merupakan anak keenam dari sembilan saudara
keturunan Ibra. Ibra sendiri adalah seorang tokoh dari
Desa Kertajaya (dulu disebut Desa Cikoang) Cibatu.
Dari namanya pula lah nama surak ibra berasal.

Menurut pengakuan Tasdik, kesenian ini pertama kali
diciptakan ayahnya, Ibra, pada saat memeriahkan pesta
sunatannya. Ia adalah penerus ketiga kesenian surak
ibra setelah Ibra (ayahnya) dan Witarma (kakak
kandungnya). Kini Tasdik mendirikan sebuah kelompok
"Ibra Taruna" atau berarti keturunan Ibra.

Terlepas dari siapa sebenarnya yang pertama kali
memulai boboyongan ini, apakah Ibra atau Eson.
Kemungkinan umur mereka saat itu sebaya dan sama-sama
bersumber dari Cinunuk Wanaraja. Menurut Tasdik,
ayahnya pernah memperistri salah seorang wanita dari
Cinunuk Wanaraja meski hanya bertahan selama dua bulan
saja. Jarak antara Cinunuk Wanaraja dengan Kertajaya
Cibatu hanya terpisah sekira 10 kilometer.

Meski sama-sama melakukan boboyongan, surak ibra versi
Kertajaya berbeda dengan surak ibra versi Cinunuk. Di
Kertajaya, surak ibra lebih eksotis karena dilakukan
oleh hampir seluruh warga desa secara massal, spontan,
serta memiliki nuansa magis yang sangat kental.
Belasan orang biasanya langsung tak sadarkan diri dan
kerasukan, tak lama setelah dogdog ditabuh nayaga.
Sementara di Cinunuk, sama sekali tak melibatkan unsur
klenik.

Alat musik yang dibawa masing-masing anggota nayaga
surak ibra dari Kertajaya Cibatu lebih minimalis
dibandingkan di Cinunuk, yakni hanya berupa empat
dogdog dan kendang pencak lengkap dengan terompet.
Persamaannya, irama musik yang dimainkan nayaga
diiringi oleh sorak-sorai (surak) para peserta
lainnya.

Amoh mengakui penamaan surak ibra untuk kesenian yang
dipimpinnya sebenarnya kurang tepat. Ia bahkan lebih
memilih nama boboyongan eson atau surak eson daripada
surak ibra.

Menurut Amoh, semuanya berawal pada 1979, saat
kesenian boboyongan dari Cinunuk menjadi juara tingkat
Jawa Barat. Seorang wartawan melakukan wawancara
dengan salah satu anggota boboyongan. Salah satu
pertanyaan jurnalis tersebut menanyakan tentang apakah
ada kesenian boboyongan lain di Garut selain dari
Cinunuk. Anggota boboyongan itu kemudian mengiyakan
dan menyebutkan bahwa kesenian boboyongan lain itu
bernama surak ibra dari Cibatu (Kertajaya). "Entah
kenapa, dalam pemuatan koran itu kemudian disebut
bahwa kita adalah kelompok kesenian surak ibra, bukan
boboyongan," ucap Amoh.

Akan tetapi, perbedaan persepsi kedua seni boboyongan
itu rupanya bukan menjadi masalah besar bagi kedua
kelompok tersebut. Esensi dari kedua kesenian buhun
itu rupanya masih tetap sama, yakni merupakan bentuk
perlawanan dan simbol pembentukan pemerintahan sendiri
tanpa penindasan Belanda.

Kepala Desa Kertajaya Cibatu, Sudjani (61), menangkap
hal tersebut sebagai sebuah keanekaan dari sebuah
kebudayaan Sunda. "Ieu (Kertajaya) mah aslina, itu mah
kembangna."

Satu permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan
surak ibra saat ini adalah kelestariannya. Baik Amoh
maupun Tasdik tak menjamin kelestarian surak ibra akan
terus terjaga hingga beberapa generasi berikutnya.
Meski mereka mengaku akan berupaya sekuat tenaga untuk
menjaga surak ibra ini, keduanya sangsi pergerakan
zaman tak akan melindas nilai-nilai tradisi mereka.
(Deni Yudiawan/ "PR")***


--- S M Natapradja <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Assalamu'alaikum wr wb
> 
> Ka sadayana baraya anu aya di Kusnet ieu,
> manawi sareng manawi aya nu kersa ngabantos ka sim
> kuring
> anu nuju milarian sejarah "Pangerah Pak Pak " <--(
> manawi teu lepat nyerat na ), abdi kantos nyobi
> milarian ieu
> teh di wikipedia, namung lebeng, duka kamana tah,
> atuh mugia wae aya nu terang di suhunkeun ridho na
> masihan
> terang atanapi keresa ngintun sejarah artikel na ka
> sim kuring ( [EMAIL PROTECTED] ) hatur nuhun
> sateuacan na
> mugia kasaean salira di bales ku Allah swt, amiin
> 
> 
> Wassalam
> 
> Nata


=====
Situs: http://www.urang-sunda.or.id/
[Pupuh17, Wawacan, Roesdi Misnem, Al-Quran, Koropak]

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to