Panginten anu kamari rame dina milis aya anu ngaraos ghazwul fikri kana bukuna saha nya? Pokona mah aya Osama bin Laden lah... Tah, ieu mah kanggo neguhkeun iman. Punten teu diterjemahkeun da meni panjang pisan. Hehehe...
Anu penting mah, dina sagala artikel atanapi buku, aya hikmah anu ku urang tiasa dikoreh. Bade eta kisah anu ngagogoreng Islam, komo deui anu nyanjung2. Leres teu baraya?
Punten ah meni awon nyariosna sim kuring teh. Mangga, permios.
Rima
 
Pengakuan Nakata Khaula

Menutupt aurat? tak pernah terlintas baginya. Maklum, ia seorang aktifis
feminis. Namur wanita asal Jepang ini berubah total dan justru menemukan
kedamaian setelah mengenal Islam. Baca pengakuan seorang mantan aktifis
feminisme ini

Ketika saya kembali ke dalam pangkuan Islam, agama asli semua manusia,
sebuah perdebatan sengit sedang terjadi di sekolah-sekolah Prancis tentang
jilbab di kalangan pelajar perempuan-terutama keturunan imigran
TImur-Tengah- hingga beberapa waktu lamanya (hal itu terjadi karena ada
kebijakan pelarangan penggunaan jilbab dari otoritas Prancis, pen).
Mayoritas pelajar berpendapat, public-dalam hal ini sekolah
negeri-seharusnya bersikap netral dalam urusan agama, termasuk tentang
tudung kepala (jilbab). Tidak dapat dipungkiri, kelompok Muslim di Prancis
turut membayar pajak yang lumayan besar jumlahnya.

Menurut saya, pihak sekolah hendaknya menghargai keyakinan seseorang atau
kelompok dalam menjalankan ajaran agamanya sepanjang orang atau kelompok itu
tidak mengganggu kegiatan rutin sekolah, apalagi sampai melanggar disiplin.

Namun, tampaknya pemerintah Prancis sedang menghadapi gejolak social dengan
meningkatnya jumlah pengangguran. Mereka merasa kehidupan ekonomi mereka
terancam dengan makin banyaknya pekerja imigran Arab. Banyaknya penggunaan
jilbab di kota-kota atau di sekolah-sekolah semakin memicu perasaan mereka
itu.

Pada kenyataannya, memang semakin banyak perempuan Arab imigran yang memakai
jilbab, terlepas dari pandangan bahwa fenomena itu akan segera menghilang
seperti halnya ketika sekularisme Barat menanamkan pengaruhnya di dunia Arab
(Timur-Tengah) . Ketahanan pelaksanaan ajaran Islam itu sering dianggap
sebagai upaya kelompok Islam di mana saja untuk mengembalikan kebaggaan dan
identitas mereka yang pernah hilang ditelan kolonialisme Barat.

Di Jepang sendiri, sikap seperti itu mungkin dianggap sama dengan sikap
tradisional konservatif orang Jepang yang muncul sebagai perwujudan perasaan
anti-Barat. Sesuatu yang dalam pandangan bangsa Jepang adalah serupa dengan
pengalaman yang kami rasakan sejak kami berinteraksi dengan budaya Barat
pada zaman Restorasi Meiji. Bangsa Jepang saat itu memunculkan sikap
penentangan terhadap gaya hidup yang tidak lagi tradisional dan mengikuti
model pakaian Barat. Ada kecenderungan dalam suatu masyarakat untuk bersikap
konservatif terhadap segala hal yang baru tanpa mau melihat kebaikan atau
keburukannya.

Perasaan seperti itu masih ada diantara kelompok non-Muslim di Prancis yang
memandang bahwa penggunaan jilbab menunjukkan ketundukan para penggunanya
sebagai budak budaya tradisional seolah-olah jilbab adalah ikon pengekangan.
Oleh karena itu, sikap gerakan pembebasan dan pembelaan atas kaum hawa
selalu terfokus pada upaya mendorong perempuan Muslim agar melepaskan
jilbab-jilbab mereka sebagai tanda pembebasan itu atau mereka belum dianggap
bebas sebelum jilbab-jilbab itu lepas dari kepala mereka.

Pandangan yang na裂seperti itu, bagi kelompok Muslim, menunjukkan
dangkalnya pengetahuan mereka tentang Islam di dalam gerakan pembebasan
perempuan. Hal ini akibat kebiasaan mencampuradukkan pandangan secular dan
nilai-nilai eklektisisme agama sehingga mereka tidak mampu lagi menangkap
kesempurnaan Islam sebagai agama yang universal dan abadi.

Hal itu berbeda sekali dengan kenyataan bahwa semakin banyak perempuan
non-Muslim dan non-Arab dari seluruh penjuru dunia yang kembali ke pangkuan
Islam. Bahkan, mereka melaksanakan kewajiban berjilbab atas kesadaran mereka
sendiri dan bukan atas desakan tradisi yang dipandang berorientasi pada
kekuasaan laki-laki atas perempuan (masculine-oriented ).

Saya adalah salah seorang diantara perempuan non-Arab (sebelumnya
non-Muslim) yang dengan penuh kesadaran memakai jilbab bukan karena bagian
dari identitas kelompok atau tradisi Islam semata atau memiliki signifikansi
pada kelompok social dan politik tertentu, melainkan karena jilbab adalah
identitas keyakinan saya, yaitu Islam. Bagi kelompok non-Muslim, jilbab
tidak hanya dianggap sebagai penutup kepala, tetapi sebagai penghalang yang
menyebabkan para perempuan itu tidak punya akses ke dunia yang luas.
Seolah-olah, perempuan Muslimah tercerabut dari kebebasan yang seharusnya
mereka rengkuh di dunia yang sekular.

Sebelumnya, saya pernah diperingatkan tentang kemungkinan hilangnya
kebebasan saya saat memutuskan untuk kembali ke pangkuan Islam. Saya
diberitahu bentuk jilbab itu berbeda-beda menurut daerahnya masing-masing
atau pemahaman dan kesadaran agamanya. Di Prancis, saya memakai jilbab yang
sederhana-lebih tepat disebut penutup kepala-yang sesuai dengan mode dan
sekedar tersampir di kepala sehingga terkesan modis.

Namun ketika saya berada di Arab Saudi, saya memakai gamis hitam yang
menutupi seluruh tubuh saya, termasuk mata. Jadi,saya telah merasakan
sendiri penggunaan jilbab dari model yang paling sederhana hingga model yang
dianggap kebanyakan orang paling "mengekang". Mungkin Anda bertanya, apa
makna jilbab bagi saya? Meski banyak buku dan artikel tentang jilbab,
hampir semuanya cenderung ditulis dari sudut pandang "orang luar"
(laki-laki). Saya harap tulisan ini dapat menjelaskan makna jilbab dari
sudut pandang "orang dalam" (perempuan).

Ketika saya memutuskan untuk kembali ke dalam pangkuan Islam, saya tidak
berpikir tentang pelaksanaan ibadah shalat lima kali sehari atau tentang
penggunaan jilbab. Barangkali saat itu saya khawatir jika saya terlalu dalam
memikirkan hal itu, saya tidak akan pernah sampai pada keputusan yang tepat.
Bahkan, hal itu mungkin akan mempengaruhi niat saya untuk bepaling ke Islam.

Sebelum saya berkunjung ke sebuah masjid di Paris, sebetulnya saya tidak
tertarik sama sekali terhadap Islam, termasuk tentang sholat dan penggunaan
jilbab. Bahkan, tidak pernah terbayang sedikitpun. Namun sejak itu,
keinginan saya kembali ke pangkuan Islam begitu kuat untuk dikalahkan
pikiran-pikiran tentang tanggung jawab yang akan saya emban sebagai seorang
Muslim, Alhamdulillah.

Saya baru mulai merasakan keuntungan dan manfaat jilbab sesudah saya
mendengarkan khotbah di sebuah masjid di Paris. Bahkan saat itu, saya tetap
menggunakan kerudung kepala saya saat keluar dari masjid. Khotbah itu telah
menjadi sebuah keputusan spiritual tersendiri seperti pengalaman saya
sebelumnya dan saya tidak ingin kepuasan itu hilang. Mungkin karena cuaca
yang dingin hingga saya tidak terlalu merasakan adanya kerudung di kepala.

Selain itu, saya merasa bersih, suci, dan terjaga dari kotoran dalam arti
yang fisik atau psikis. Saya merasa seolah berada di dalam lindungan Allah
SWT. Sebagai orang asing di Paris, terkadang saya merasa tidak nyaman dengan
pandangan liar laki-laki ke arah saya. Dengan jilbab, saya merasa lebih
terlindung dari pandangan liar itu.

Jilbab membuat saya bahagia sebagai wujud ketaatan dan manifestasi iman saya
kepada Allah SWT. Saya tidak perlu meyakinkan diri saya lagi karena jilbab
telah menjadi tanda bagi semua orang, terutama sesame Muslim, sehingga
memperkuat ikatan persaudaraan Islam (Ukhuwwah Islamiyyah). Memakai jilbab
sudah menjadi sesuatu yang spontan saya lakukan, bahkan dengan sukarela.

Pada awalnya, saya berpikir tidak ada seorang pun yang dapat memaksa saya
untuk memakai jilbab. Jika mereka memaksa, saya pasti menentang mereka.
Namun, buku Islam pertama mengenai jilbab yang saya baca sangat moderat.
Buku itu hanya menyebutkan, "Allah SWT sangat menekankan pemakaian jilbab."

Oleh karena Islam-seperti yang ditunjukkan dengan makna Islam, yaitu
penyerahan diri-saya pun melaksanakan kewajiban keislaman saya dengan
sukarela dan tanpa merasa kesulitan. Alhamdulillah. Selain itu, jilbab
mengingatkan semua manusia bahwa Tuhan itu ada dan senantiasa mengingatkan
saya untuk bersikap Islami. Seperti halnya petugas polisi yang tampak lebih
professional dengan seragam mereka, saya pun merasa lebih Muslimah dengan
jilbab yang saya pakai.

Dua pekan sesudah saya kembali ke pangkuan Islam, saya pulang ke Jepang
untuk menghadiri pernikahan keluarga. Setelah itu, saya memutuskan untuk
tidak meneruskan pendidikan di Sastra Perancis yang telah kehilangan daya
tariknya. Sebagai gantinya, saya memilih kajian Arab dan Islam.

Sebagai seorang Muslimah yang baru dengan pemahaman Islam yang belum banyak,
tinggal di kota kecil di Jepang dan jauh dari lingkungan Islam membuat saya
merasa terisolasi. Namun, keterisolasian itu semakin menguatkan keislaman
saya tahu saya tidak sendiri karena Allah SWT senantiasa menemani. Saya
harus membuang semua pakaian saya dan, berkat bantuan beberapa teman, saya
membuat patokan sendiri yang mirip pakaian orang Pakistan. Saya tidka merasa
terganggu dengan pandangan orang yang tertuju kepada saya!

Sesudah enam bulan berada di Jepang, hasrat untuk mempelajari segala hal
tentang Arab tumbuh begitu besar hingga saya memutuskan untuk pergi ke
Kairo, Mesir, karena di sana saya punya seorang kenalan. Saya tinggal di
rumah keluarga teman saya. Namun, tidak seorang pun keluarga teman saya itu
dapat berbahasa Inggris (apalagi Jepang!). Seorang wanita menjabat tangan
saya dan mengajak saya masuk ke dalam rumahnya. Ia memakai jubah hitam yang
menutupi dirinya dari kepala hingga ujung jari. Bahkan, wajahnya pun
tertutup. Meski di Riyadh saya telah terbiasa dengan hal itu, saya ingat
saat itu saya terkejut.

Apalagi, saya teringat dengan kasus jilbab di Prancis. Saat itu, saya
memandang perempuan dalam jubah sebagai," perempuan yang diperbudak budaya
Arab karena tidak tahu Islam" (kini saya tahu menutup wajah bukan kewajiban
dalam ajaran Islam, melainkan sebagai tradisi etnis semata).

Saya ingin mengatakan kepada wanita Kairo itu bahwa ia telah berlebihan
dalam berpakaian sehingga tampak tidak alami dan tidak lazim. Namun, saya
justru diingatkan wanita itu bahwa jilbab buatan saya sendiri tidak cocok
digunakan di luar rumah-sesuatu yang tidak saya setujui sebelumnya karena
saya merasa sudah memenuhi tuntutan jilbab bagi Muslimah.

Saya pun membeli beberapa bahan baju dan membuat pakaian wanita dalam ukuran
yang lebih panjang, disebut juga khimar, yang menutup sempurna bagian
pinggul ke bawah dan tangan. Saya bahkan siap menutup wajah saya, sesuatu
yang dipakai sebagian besar saudara Islam saya. Meski demikian, mereka
tetaplah minoritas di Kairo.

Secara umum, pemuda Mesir yang sedkit atau banyak terpengaruh budaya Barat
masih menjaga jarak dengan perempuan yang memakai khimar dan memanggil
mereka dengan sebutan ukhti. Laki-laki Mesir memperlakukan kami dengan penuh
hormat dan sopan. Oleh karena itu, perempuan yang memakai khimar saling
menjalin persaudaraan sehingga mereka turut menghidupkan sunnah Nabi
Muhammad SAW-seorang Muslim hendaknya memberi salaam kepada Muslim lain yang
ditemui di jalan, dikenal atau tidak dikenalnya.

Persaudaraan mereka yang lebih tepat untuk ditekankan itu didasari keimanan
kepada Alloh SWT dibandingkan perempuan yang hanya memakai kerudung sebagai
bagian dari bagian dari budaya dan bukan bagian dari keimanan. Sebelum
berpaling ke pangkuan Islam, saya sangat senang memakai pakaian dengan model
celana yang memungkinkan saya bergerak aktif meskipun bukan rok feminine.
Namun, long dress yang biasa saya pakai di Kairo cukup nyaman bagi saya.
Saya merasa anggun dan lebih santai.

Dalam budaya Barat, warna hitam adalah warna favorit untuk acara malam
karena menguatkan kecantikan pemakainya. Saudara-saudara baru saya yang di
Kairo pun tampak sangat cantik dengan khimar hitam mereka dan sangat
menunjang cahaya ketakwaan yang terpancar dari wajah-wajah mereka (meski
begitu, mereka sangat berbeda dengan suster Katholik Roma yang dulu menjadi
eprhatian utama ketika saya berkesempatan mengunjungi Paris tidak berapa
lama sesudah saya tinggal di Riyadh, Arab Saudi).

Saat itu, saya berada dalam satu metro (trem dalam kota) dengan
suster-suster itu dan saya tersenyum karena keserupaan pakaian kami. Pakaian
yang dipakai suster itu merupakan tanda ketakwaan mereka kepada tuhan
seperti halnya Muslimah. Saya etrkadang merasa aneh dengan orang-orang yang
tidak banyak mengkritik jubah yang dipakai suster Katholik Roma, tetapi
mereka mengkritik dengan tajam jilbab yang dipakai Muslimah, terlepas dari
pandangan bahwa keduanya dianggap melambangkan terorisme dan tekanan.

Namun, saya tidak bermaksud mengabaikan jilbab dengan warna yang lebih cerah
selain hitam karena pada kenyataannya sejak dulu saya bekeinginan memakai
pakaian dengan gaya yang relijius seperti suster Katholik Roma jauh sebelum
saya berpaling ke pangkuan Islam!

Meski demikian, saya menolak orang yang menganjurkan saya tetap memakai
khimar sekembalinya saya ke Jepang. Saya akan marah kepada setiap Muslimah
yang tidak begitu menyadari pentingnya ajaran Islam : sepanjang kita sudah
menutup diri kita sesuai tuntunan syariat, kita boleh memakainya sesuai
model yang kita inginkan. Apalagi, setiap budaya memiliki cirinya
sendiri-sendiri sehingga pemakaian khimar hitam di Jepang hanya akan membuat
orang berpikir saya orang gila dan mereka akan emnolak Islam jauh sebelum
saya mengenalkan Islam dengan baik kepada mereka. Perdebatan kami biasanya
seputar masalah itu.

Sesudah tinggal selama enam bulan di Kairo, saya sudah terbiasa dengan
pakaian long dress sehingga saya mulia berpikir untuk tetap memakainya
meskipun di Jepang. Komprominya, saya akan membuat khimar dengan aneka warna
yang cerah atau putih dengan harapan orang Jepang tidak akan terlalu kaget
dengan hal itu daripada saya hanya memakai khimar warna hitam.

Ternyata saya betul. Reaksi orang Jepang lebih baik dengan khimar putih dan
mereka lebih cenderung menduga saya sebagai yang relijius. Saya mendengar
seorang gadis Jepang yang berkata kepada temannya bahwa saya seorang suster
Buddha : betapa miripnya antara Muslimah, suster Buddha, dan suster Katholik
Roma!

Sekali waktu di dalam sebuah kereta, orang tua yang berada dis ebelah saya
menanyakan alasan saya memakai baju yang tidak biasa dipakai banyak orang.
Ketika saya jelaskan bahwa saya seorang Muslimah dan Islam mengajarkan
kepada perempuan agar menutup tubuh mereka supaya terlindung secara fisik
maupun psikis, orang tua itu tampaknya sangat tertarik. Saat ia turun dari
kereta, ia berterima kasih dan mengatakan bahwa ia ingin sekali berbicara
banyak tentang Islam dengan saya.

Dalam waktu sekejap, ternyata jilbab menjadi factor yang dominant dalam
memancing keingintahuan orang tentang Islam. Apalagi, orang Jepang bukanlah
orang yang lazim berbicara banyak tentang agama. Sama seperti di Kairo,
jilbab berperan sebagai tanda diantara sesama Muslimah, di Jepang pun hal
yang sama saya lakukan.

Pernah suatu kali ketika dalam suatu perjalanan, saya berkeliling dan
bertanya-tanya benarkah rute yang saya ambil ini. Pada saat itu, saya
melihat sekelompok perempuan memakai jilbab. Saya pun mendekati mereka dan
kami bersalaman satu sama lain.

Namun, ayah saya cemas ketika saya pertama kembali ke Jepang dengan
menggunakan pakaian lengan panjang dan kepala tertutup rapat, padahal cuaca
sedang panas meskipun saya sendiri merasa bahwa jilbab justru melindungi
saya dari sinar matahari. Saya sendiri justru merasa tidak nyaman melihat
adik eprempuan saya hanya memakai celana pendek sehingga tampak paha dan
kakinya. Saya sering malu-bahkan sebelum saya kembali ke pangkuan
Islam-terhadap perempuan yang memperlihatkan pantat dan pinggul mereka
dengan pakaian yang ketat dan tipis.

Saya merasa seperti melihat sesuatu yang seharusnya tersembunyi. Jika
pemandangan seperti itu saja membuat saya malu sebagai perempuan, saya tidak
dapat membayangkan dampaknya jika dilihat laki-laki. Oleh karena itu, Islam
memerintahkan manusia berpakaian sopan dan tidak telanjang di ruang public
meskipun di ruangan khusus perempuan atau laki-laki.

Jelaslah, penerimaan sesuatu yang telanjang dalam suatu masyarakat
berbeda-beda menurut pemahaman masyarakat atau individunya. Misalnya, di
Jepang limapuluh tahun yang lalu, berenang dengan memakai baju renang yang
setengah tertutup sudah dianggap vulgar, tetapi sekarang bikin sudah
dianggap biasa. Namun, jika ada perempuan berenang dengan baju renang
topless, ia dianggap tidak punya malu.

Lain halnya jika topless di pantai selatan Prancis yang sudah dianggap
biasa. Begitu pun di beberapa pantai di Amerika Serikat. Kaum nudis sudah
berani bertelanjang ria seolah-olah mereka baru dilahirkan. Jika kaum nudis
ditanya tentang perempuan liberal yang menolak jilbab-mengapa mereka masih
menutupi pantat dan pinggul mereka padahal keduanya sama alamiahnya dengan
wajah dan tangan-apakah perempuan liberal mau memberikan jawaban yang jujur?

Definisi tentang bagia tubuh perempuan yang harus tetap pribadi ternyata
sangat bergantung pada fantasi dan ksesenangan laki-laki di sekitar mereka
yang mengaku-ngaku sebagai feminis. Namun di dalam Islam, kita tidak akan
menemui masalah semacam itu karena Alloh SWT telah menetapkan definisi
tentang bagian tubuh perempuan dan laki-laki yang boleh dan tidak boleh
diperlihatkan di ruang public. Kita pun patuh dan mengikutinya.

Jika saya melihat cara berpakaian manusia sekarang (telanjang atau hampir
telanjang), buang air sembarangan, atau bercintaan di tempat umum, saya
cenderung memandang mereka seperti makhluk yang tidak punya malu sehingga
menjatuhkan martabat mereka hingga ke derajat binatang.

Di Jepang, perempuan hanya memakai make up saat keluar rumah dan sedikit
sekali memperhatikan penampilan diri mereka di rumah sendiri. Padahal, Islam
mengajarkan perempuan agar selalu tampil cantik bagi suaminya sehingga ia
akan berusaha tampil menarik pula baginya. Tentu, dengan begitu muncul
keanggunan dalam hubungan antara suami isitri di dalam Islam.

Muslim sering dituduh sebagai kelompok orang yang terlalu sensitive
menyangkut tubuh manusia, tetapi tingkat kejahatan seksual yang terjadi
akhir-akhir ini semakin menegaskan pentingnya pakaian sopan. Orang luar
mungkin melihat Islam seperti melihat Muslim yang tampak kaku. Padahal jika
dilihat dari dalam, ada kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan yang tidak
akan pernah mereka rasakan sebelumnya. Menjalankan Islam-bagi Muslim yang
terlahir di tengah keluarga Muslim atau orang yang kembali ke dalam pangkuan
Islam-lebih disukai daripada jalan hidup bebas yang ditawarkan sekularisme.
[ditulis ulang oleh Kartika dari buku "Mereka Yang Kembali", Zenan
Asharfillah, penerbit Pustaka Zaman, Jakarta, 2003/Hidayatullah. com]


Do you Yahoo!?
Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail. __._,_.___

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id





SPONSORED LINKS
Culture change Corporate culture Cell culture
Organization culture Tissue culture

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Reply via email to