REPUBLIKA, Minggu, 22 October 2006

[SELISIK]

Membuka Ruang Buat Tuhan
------------------------
>> Anwar Holid


BUKU tipis itu datang pada 2 Oktober 2006, masih di awal-awal Ramadhan 1427 H. 
Ketika membuka
amplopnya, yang terbetik dalam batin ialah, 'Siapa lagi di zaman ini 
berani-beraninya menerbitkan
buku puisi?' 

Menurut laporan terbaru sebuah harian, penjualan buku puisi hingga sekarang 
sangat seret, bahkan
meski yang diterbitkan itu karya penyair terkemuka. Nama besar saja ternyata 
sulit menjamin sebuah
buku puisi bisa diserap pasar. Tapi untunglah penerbitan buku puisi jalan 
terus, dan kita masih
saja menyaksikan ada sebagian penerbit atau pihak yang mampu menemukan atau 
membentuk ceruk
pasar---kalau bukan menunjukkan bahwa mereka bandel.

Buku berisi 44 puisi dalam kurun waktu 1998-2003 karya Abdul Mukhid itu 
berjudul Tulislah Namaku
dengan Abu. Sebuah judul yang mengisyaratkan kematian atau ketiadaan. Persis 
karena tipis,
malamnya langsung saya buka-buka, dibaca-baca. Ternyata, puisi dalam buku itu 
bisa langsung
terserap ke dalam kalbu. Ia begitu saja mudah berdialog dengan pencerapan. 
Akibatnya ia
seakan-akan ingin dibaca dan dibaca lagi, sampai perkenalan itu berubah jadi 
ketertarikan, dan
setelah berkumpul dalam ruang pemahaman ia tambah terasa mengesankan, lebih 
karena puisi itu layak
dikenang. 

Esoknya ketika pagi-pagi berangkat kerja, buku itu saya ajak ikut serta, sekali 
lagi dibaca selama
naik angkot. Ternyata bisa langsung tamat bahkan sebelum sampai kantor. Kembali 
saya terpikat oleh
puisi yang jernih, jelas, sederhana, menggugah. Puisi itu ditulis dengan maksud 
yang benar-benar
terang. Dari 44 puisi itu paling hanya terdapat satu atau dua pasase 
membingungkan---kalau bukan
metaforik maupun agak-agak misterius. Pokoknya ialah saya nikmat baca buku itu; 
ia berkali-kali
membuat saya  tergetar. Rangkaian puisinya bermakna kuat. Menurut saya makna 
yang kuat lebih
penting daripada pernyataan berbungkus kata-kata sulit atau hebat, tapi begitu 
dibaca malah
membuat pikiran melayang-layang karena bingung.

Respons pertama yang begitu terasa terhadap buku itu ialah Abdul Mukhid 
ternyata membuka ruang
yang amat lebar bagi Tuhan. Dia penyair religius. Dia bahkan rela membiarkan 
sisa tema nonreligius
untuk kembali dicelupi oleh kecenderungannya yang besar terhadap keagungan 
Tuhan. Bahkan puisi
bernada pamflet tentang Indonesia pun---berjudul '56 Tahun Indonesia (Masih) 
Cemas'---tetap ingin
dia kaitkan pada Tuhan. Mukhid menulis banyak puisi yang ditujukan pada Tuhan, 
kerinduan pada-Nya,
keberserahan diri, tema-tema religius dan moralistik. Puisi dia 
'sebentar-sebentar' mengembalikan
persoalan yang dianggap pelik kepada Tuhan. Bila menyadari kecenderungan betapa 
zaman sekarang
orang begitu bersemangat merayakan ateisme dengan berbagai cara, gagah berani 
bilang bahwa Tuhan
telah mati, atau lebih terpesona oleh benda-benda dan konsumerisme, boleh jadi 
kecenderungan Abdul
Mukhid ini agak aneh.

Kita boleh menguji apa kerinduan pada Tuhan itu ciri bahwa penyairnya masih 
butuh spirit besar dan
agung untuk meyakinkan diri memahami realitas, atau itu merupakan kecenderungan 
yang wajar tumbuh
dalam jiwa kepenyairannya. Menurut Saini KM, ketertarikan penyair muda pada 
tema religius
(keagamaan, ketuhanan) melebihi ketertarikan mereka pada tema cinta dan protes 
sosial; lebih jelas
lagi ternyata mutu puisi religius itu biasanya jauh lebih bagus dibandingkan 
pencapaian mereka
pada dua tema sebelumnya. Dalam buku Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo mengakui 
hal serupa, bahwa
tema religius amat dominan. Bila dikaitkan dengan Indonesia yang memiliki 
warisan budaya religius
amat pekat, kesimpulan ini wajar. Kita mudah menemukan puisi religius karya 
penyair Indonesia,
baik klasik maupun kontemporer. Kategori ini bahkan bisa difokuskan misalnya 
dengan penyair
'religius Islam,' 'sufistik', dan lain-lain. Pendekatan religiositas mereka pun 
khas; ada yang
kalem, mesra, sederhana, ada juga yang penuh simbol dan meledak-ledak.

'PUISI religius dengan interpretasi puitik yang baik tidak pernah mendesakkan 
suatu kepercayaan
apa pun kepada pembacanya,' begitu tulis Hartojo Andangdjaja; ia hanya 
menyatakan yang dihayati
penyairnya. 

Religiositas berubah jadi halus (tersirat); mirip yang bisa dirasakan misalnya 
pada puisi-puisi
Joko Pinurbo atau Soni Farid Maulana. Kedua penyair itu, dengan latar belakang 
agama berbeda,
kerap menyelami dan mengolah tema ketuhanan, keagamaan, dan moralitas jadi 
universal, jadi
persoalan bersama umat manusia. Iman atas keyakinan tertentu melebur di balik 
berbagai simbol,
keprihatinan, kerinduan memandang wajah Tuhan yang agung dan misterius. Puisi 
seperti itu akan
bisa dinikmati oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang tidak seiman. 

Puisi Abdul Mukhid punya karakteristik serupa; dia sibuk menyusupkan idealisme 
maupun kerinduan
pada Tuhan lewat kritik pada kezaliman, fenomena, dan kepedulian sosial, sama 
keras merasakan itu
ketika merenungi sepi, kecemasan, tatkala sendiri, sadar bahwa mencintai Dia 
adalah upaya serius
melepas kotor, noda, maupun nafsu yang bisa menghalangi makhluk dari jangkauan 
kasih-Nya. Wawan
Eko Yulianto, kawan satu komunitas Mukhid di Bengkel Imajinasi, Malang, bilang 
bahwa Abdul Mukhid
lebih memilih kekuatan tema dan kejernihan ungkapan, alih-alih keindahan 
kata-kata--meski ternyata
dia sendiri sangat selektif dengan diksi; kekuatan puisinya ada pada kejernihan 
ungkapan dan tema.


Namun dia masih menyisakan pasase sulit buat pembaca, misalnya dalam 'Sajak 
Sepotong Mangga':
Pernahkah engkau bertanya:/ Kenapa mangga rela/ menjadi mangga? Puisi semacam 
ini langsung
menggiring ingatan pada 'Malam Lebaran' (Sitor Situmorang) ataupun 'Selamat 
Tinggal' (Joko
Pinurbo). Jelas puisi sejenis itu bukan untuk konsumsi kaum awam, melainkan 
justru harus didedah
berpanjang-panjang oleh sejumlah pakar, kalau tidak sekalian saja dihapus dari 
ingatan karena
hanya menyisakan tanda tanya membingungkan.

Barangkali menarik juga bila kita kemudian berharap Abdul Mukhid menyeleksi 
karya dari periode
2003-2006; atau dia menunggu rentang lima tahun (2008) lebih dulu? Membaca buku 
puisi dia tatkala
Ramadhan, dalam suasana penuh dengan nuansa religius, makin menegaskan betapa 
religiositas bisa
hadir lebih kental dari biasa. Apalagi Idul Fitri menanti dengan tenang.

Selamat Idul Fitri 1427 H; semoga kita semua dalam berkah Allah.[]

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid,  Panorama II No. 26 B  Bandung 40141  | 
Telepon: (022) 2037348 
| HP: 08156-140621  | Email: [EMAIL PROTECTED]


Never underestimate people. They do desire the cut of truth. 
Jangan meremehkan orang. Mereka sungguh ingin kebenaran sejati.

© Natalie Goldberg
----------------------------------------------------------------------
Esai, resensi, artikel, dan lebih banyak tulisan. Kunjungi dan dukung blog 
sederhana ini:

http://halamanganjil.blogspot.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke