Dipanjengkeun deui... keun wae lah urang anggap silaturahmi ku cara
padungdeng. Surelek ieu moal ngomentaran ngeunaan masalah meunang
henteuna pamarentah ngatur kahirupan agama wargana. Panjang urusanna
eta mah sabab nyangkut sistem politik, kadulatan, jrrd. Moal oge
ngomentaran syiah jeung sunni. Intina mah kudu mace deui.

Pondok wae, ieu bade ngomentaran Quraish Shihab kalebet ulama nu teu
ngawajibkeun jilbab. Seratan di handap ngabahas panjang lebar masalah
pamdegan Quraish ti salah sawios nu ngaku muridna. Kaleresan nu
nulisna oge sigana mah urang Sunda da namina Nyunda.

Nu peryogi ditelek ku urang teh kumaha pamadegan Aep dina masalah nu
nyangkut hukum diwangun tur disandarkeun kana kaelmuan. Lain pamadegan
nu didasarkeun kana pamanggih, rasa, tur selera. 

Baktos ti nu kirang sagala
Yudi

Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah (Bagian 1)
Kamis, 12 Oktober 2006
<http://hidayatullah .com/index. php?optionfiltered= com_content&
task=view& id=3732&Item id=60>

Banyak kejanggalan dalam buku "jilbab" Dr. Qusaish Shihab. Catatan
kecil untuk guru saya DR. Quraish Shihab atas kekeliruannya. Tulisan
akan diturunkan beberapa seri. [bag. Pertama]

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati *

Hari Kamis, (21/9/2006), lalu, buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang
berjudul "Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu
dan Cendekiawan Kontemporer" dibedah di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat.
Hadir sebagai pembicara adalah Dr. Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr.
Jalaluddin Rakhmat, Adian Husaini dengan dimoderatori Dr. Mukhlis
Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang baru
beberapa bulan kembali ke Indonesia.

Jujur saja, saya termasuk penggemar berat Pak Quraish, karena sosok
Pak Quraish bagi saya adalah seorang prototype cendekiawan muslim yang
sangat luar biasa, di samping ilmunya yang dalam juga produktif dalam
berkarya. Tidak heran apabila hampir semua karya Pak Quraish, saya
mempunyai koleksinya, tentunya sebelum saya ke Mesir.

Maka, ketika Fordian --salah satu kajian Tafsir Hadits di Mesir--
meminta saya menjadi salah satu pembedah buku Jilbab -bersama dua
pembedah lainnya adalah DR. Mukhlis Hanafi, MA dan DR. Ahmad Zainun
Najah, MA-- saya langsung menyetujuinya.

Namun ketika saya membaca buku tersebut, saya merasakan ada hal yang
berbeda. Disbanding buku-buku Pak Quraish Shihab yang sempat saya
baca. Buku beliau lainnya saya merasakan kesejukan, tenang, bahasanya
mengalir -tentu masalah isinya sudah tidak diragukan lagi
kedalamannya- -, maka buku ini, terasa agak 'gersang'. Saya merasakan
seolah ketika menulis buku ini Pak Quraish sedang dalam keadaan
'gelisah', sedikit 'emosi', atau sedang kesal kepada sementara orang.

Tulisan ini, selain mencoba membedah, juga akan menyuguhkan secara
singkat beberapa mulahadhat dari isi buku Jilbab ini. Mulahadhat ini
lebih ditujukan kepada catatan-catatan kecil dari buku dimaksud yang
menurut saya kurang tepat dalam mengutip atau menyandarkan pendapat.
Beberapa mulahadhat ini tentunya yang saya rasakan agak 'janggal' dan
agak bertentangan dengan sumber aslinya.

Beberapa Kejanggalan

Buku ini setebal 176 halaman ini menurut Herat saya ada banyak
kejanggalan. Misalnya dalam tulisan Sekapur Sirih yang berisi
pengantar Pak Quraish mengemukakan yang mendasarinya menulis buku
ini:.Desakan itu lahir bukan saja dari banyaknya pertanyaan yang
diajukan kepada penulis menyangkut jilbab yang merupakan busana
muslimah ini-baik melalui media massa..tetapi juga karena ada yang
menyalahpahami pandangan penulis menyangkut persoalan ini.(hal.4).

Ada banyak kejanggalan dari setiap bab bukunya. Misalnya bab Sekapur
Sirih. Di bab ini, kita akan mendapati bahwa dengan bukunya ini,
sebenarnya Pak Quraish tidak berpendapat bahwa jilbab (kerudung) tidak
wajib. Pak Quraish hanya mencoba mengetengahkan beragam pendapat mulai
dari ulama dahulu sampai kontemporer tentang pro kontra masalah ini.
"Dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam yang membahas tentang
Pemikiran dan Peradaban, dikemukakan bahwa menyangkut jilbab, penulis
menyatakan ketidakharusannya padahal yang selama ini penulis kemukakan
hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa
menetapkan satu pilihan. Ini karena hingga saat itu penulis belum lagi
dapat mentarjih kan salah satu dari sekian pendapat yang beragam itu"
(hal. 4).

Namun, meskipun disebutkan seperti itu, apabila kita membaca buku ini
secara tuntas, maka para pembaca paling tidak akan menangkap kesan
bahwa memang penulis buku Jilbab ini cenderung untuk sependapat dengan
ulama kontemporer- -dalam batasan tertentu-- khususnya bolehnya
menampakkan rambut atau lengan. Terlebih dalam Sekapur Sirih
disebutkan bahwa ".Ini karena hingga saat itu penulis belum lagi dapat
mentarjih kan salah satu dari sekian pendapat yang beragam itu" (hal. 4).

Kata 'itu' yang saya garis tebal, menimbulkan multi tafsir. Paling
tidak mengisyaratkan bahwa Pak Quraish belum mentarjih tersebut dahulu
(saat itu), sementara dengan buku ini beliau telah mentarjih salah
satunya. Terlebih harus diakui, dalam radd kepada para ulama dahulu,
atau ketika mengungkapkan tafsiran baru, Pak Quraish tidak menyebutkan
siapa cendekiawan yang berpendapat seperti itu, sehingga hal ini
menimbulkan praduga bahwa sesungguhnya pendapat tersebut adalah
pendapat Pak Quraish sendiri, hanya mencoba dibungkus dengan perkataan
'sementara ulama' atau 'sementara cendekiawan' atau 'sementara orang'
dengan maksud untuk tidak terjebak dalam perdebatan di atas.

Selain itu, di bahasan Pengantar, penulis mengawali bahasan jilbab
dengan terlebih dahulu mengetengahkan beberapa hal penting yang akan
berkaitan erat dengan bahasan selanjutnya yakni bahwa agama ini mudah.
Rasulullah saw, kata Pak Quraish selalu memilih yang termudah selama
tidak berdosa. Di samping itu dalam pengantar ini juga diketengahkan
bahwa perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan lumrah. Juga
diungkapkan perlunya sikap kritis kepada pendapat para ulama salaf
menyangkut banyak hal. Terutama sekali menyangkut pernyataan para
ulama dahulu tentang sudah adanya Ijma. Dengan mengutip Ibrahim bin
Umar al-Biqai (1406-1480), pakar tafsir asal Libanon, penulis buku
juga mengajak para pembaca untuk mengkaji ulang pernyataan 'sudah ijma
para ulama' tentang satu persoalan tertentu. Di akhir bahasan
Pengantar ini, penulis buku juga mengetengahkan beberapa sebab
timbulnya perbedaan pendapat para ulama berikut contoh-contohnya.

Pada bagian Pengantar, si menulis mengatakan bahwa Imam Syathibi dalam
bukunya al-Muwafaqat mengatakan bahwa Syari'ah itu Ummiyyah. Dengan
mengutip dari Imam Syathibi juga (?), bahwa yang dimaksud dengan
as-Syari'ah Ummiyyah itu adalah bahwa Syari'ah harus dipahami
sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi Saw. "Dari satu sisi ada ulama
yang menegaskan bahwa syariat adalah ummiyah, yakni kita tidak boleh
memahami al-Qur'an dan Sunnah, kecuali sebagaimana pemahaman para
sahabat Nabi Saw" (hal. 16).

Pengertian Syariat Ummiyah menurut Imam Syathibi sebagaimana yang
dikutip oleh penulis buku di atas, hemat saya tidak tepat. Yang
dimaksud dengan as-Syariah Ummiyah menurut Imam Syathibi adalah bahwa
syariah agama Islam ini dapat dipahami oleh siapa saja, tidak
memerlukan perangkat ilmu seperti matematika, kimia dan yang lainnya.
Pengertian Imam Syathibi dengan as-Syariah Ummiyah di atas dapat
diambil dari penjelasannya tentang masalah ini terutama dapat dibaca
pada masalah ketiga dari macam kedua (qashdus Syari' fi wadhis
syari'ah lil ifham), pembagian pertama (qashdus syari') dari Maqashid
Syari'ah. Di antara perkataannya misalnya ketika mengatakan (lihat
dalam al-Muwafaqat: , Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, II/53):

Sementara itu, Pak Quraish mengatakan: "Kalaulah pendapat yang
menyatakan bahwa asy-Syari'ah Ummiyyah harus juga diterima,
maka.(hal.17). Dengan pernyataan ini Pak Quraish nampak tidak menerima
dengan gagasan Syathibi. Hal ini, sekali lagi, karena Pak Quraish
memahami as-Syari'ah Ummiyah tadi sudah tidak tepat.

Pak Quraish mengatakan: "Memikirkan bukan menganjurkan untuk
menerapkannya- karena betapapun--seperti tulis Imam al-Qurthubi
sebagaimana akan penulis kutip selengkapnya nanti-memakai jilbab
dengan hanya membuka wajah dan tangan, adalah pandangan yang lebih
baik dalam rangka kehati-hatian" (Hal. 50).

Dari pernyataan ini terkesan bahwa Imam al-Qurthubi membolehkan eorang 
wanita untuk tidak menutup wajah dan tangannya (bukan telapak tangan)
karena bukan aurat. Saya tidak tahu apakah ini kekeliruan biasa dalam
artian tidak sengaja dari penulis buku Jilbab, ataukah memang sengaja
demikian. Karena dalam lembar lain penulis buku menulis: "..sehingga
mufassir dan pakar hukum Islam al-Qurthubi menyatakan bahwa pendapat
yang mengecualikan wajah dan telapak tangan dari tubuh perempuan yang
harus ditutup, merupakan "pendapat yang lebih kuat atas dasar
kehati-hatian. "(hal.173) .

Dari kedua tempat ini, penulis buku nampak kurang hati-hati dalam
mengutip. Di halaman 50 disebutkan tangan, di halaman 173 ditulis
telapak tangan. Tentu hal ini sangat besar akibat hukumnya. Apabila
yang pertama diambil, itu artinya Imam sekaliber al-Qurthubi
membolehkan wanita untuk membuka tangannya dari ujung jari sampai
sebelum bahunya karena bukan aurat. Untuk itu saya akan mencoba
merujuk ke buku asli dari Imam al-Qurthubi yakni al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an.

Dalam Tafsirnya, Imam al-Qurthubi tidak mengatakan bahwa yang boleh
terbuka adalah muka dan tangan, tapi beliau mengatakan sebagaimana
disebutkan penulis buku pada halaman 173, bahwa Imam al-Qurthubi
membolehkan yang terbuka wajah dan telapak tangan, bukan wajah dan
tangan. Berikut ini ucapan Imam al-Qurthubi di maksud (lihat dalam
Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, XII/192,193) :

Pada halaman 56, penulis buku Jilbab juga menulis: "Pakar tafsir
al-Jashshash misalnya menulis bahwa, "Ayat ini menunjukkan bahwa Allah
telah mengizinkan untk meminta kepada mereka (isteri-isteri Nabi) dari
belakang tabir menyangkut suatu hajat yang dibutuhkan atau untuk
mengajukan satu pertanyaan yang memerlukan jawaba. Perempuan semuanya
aurat-badannya dan bentuknya-maka tidak boleh membukanya kecuali bila
ada darurat atau kebutuhan seperti untuk menyampaikan persaksian atau
karena adanya penyakit di badannya (dalam rangka pengobatan)".
Kemudian di catatan kaki di tulis 'Abubakar Muhammad bin Abdillah, Ibn
al-Araby, Ahkam al-Qur'an.": .

Pada halaman 70, penulis buku Jilbab menulis: "Pakar hukum dan tafsir
Ibn al-Arabi sebagaimana dikutip oleh Muhammad ath-Thahir bin Asyur,
berpendapat bahwa hiasan yang bersifat khilqiyah/melekat adalah
sebagian besar jasad perempuan, khususnya wajah, kedua pergelangan
tangannya (yakni sebatas tempat penempatan gelang tangan) kedua siku
sampai dengan bahu, payudara.Sedangkan hiasan yang diupayakan adalah
hiasan yang merupakan hal-hal yang lumrah dipakai perempuan seperti
perhiasan..Hiasan khilqiyah yang dapat ditoleransi adalah hiasan yang
bila ditutup mengakibatkan kesulitan bagi wanita seperti wajah, kedua
tangan dan kedua kaki, lawannya adalah hiasan yang disembunyikan/
harus ditutup seperti bagian atas kedua betis, kedua pergelangan,
kedua bahu, leher dan bagian atas dada dan kedua telinga. "(hal. 70).

Dari pemaparan ini nampak bahwa Ibnul Araby membolehkan kedua tangan
tidak ditutup karena apabila tertutup akan mengakibatkan kesulitan
bagi wanita. Hanya saja, sayang, Pak Quraish lagi-lagi kurang
hati-hati dalam mengutip. Pak Quraish dalam hal ini menukil pendapat
Ibnul Araby melalui Tafsir Ibnu Asyur (Tafsir at-Tahrir wat Tanwir),
bukan langsung ke Tafsir Ibnul Araby-nya, Ahkamul Qur'an. Saya memang
tidak sempat membuka Tafsir Ibnu Asyur-karena saya belum mempunyai
buku dimaksud--akan tetapi saya coba langsung mengecek ke buku asli
Ahkamul Qur'an karya Ibnul Araby, dan ternyata kutipan Pak Quraish
tidak tepat.

Saya tidak tahu, apa yang tidak tepat menukil tersebut adalah Pak
Quraish atau Imam Thahir bin Asyur. Atau boleh jadi Pak Quraish salah
mengartikan kata 'kaffan' yang seharusnya diterjemahkan 'kedua telapak
tangan' malah diterjemahkan 'kedua tangan', yang tentunya akan
berakibat hukum sangat jauh dan besar. Atau kalupun memang Thahir bin
Asyur menulis seperti itu, kemungkinan Pak Quraish terburu-buru
memahaminya sehingga seolah ucapan di atas adalah perkataan Ibnul Araby.

Bagaimanapun, dalam tulisan Ilmiyah, sedapat mungkin bahits harus
merujuk kepada buku primernya yang dalam hal ini adalah Ahkamul Qur'an
sehingga tidak terjadi kekeliruan. Saya katakan keliru, karena
ternyata dalam Ahkamul Qur'an, Ibnul Araby tidak mengatakan bahwa
wanita boleh menampakkan wajah dan kedua tangan. Yang ada adalah wajah
dan kedua telapak tangan (kaffaan).

Bagaimana mungkin Ibnul Araby mengatakan bahwa tangan boleh terbuka
(bukan aurat) sementara dalam kesempatan yang lain, ia malah
mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutup
termasuk kedua telapak tangan dan wajahnya? Berikut ini kutipan teks
Ibnul Araby dalam Ahkamul Qur'an (Kairo: Darul Fikr al-Araby, t.th,
3/1579)

Di halaman 97, penulis buku Jilbab menulis dalam catatan kaki nomor
60: "Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam keadaan berihram
perempuan harus membuka wajah dan tangannya". Ada dua catatan yang
perlu saya sampaikan.

Pertama, tidak tepat kalau disebutkan, bahwa jumhur ulama mengharuskan
wanita dalam keadaan ihram untuk membuka wajah dan tangannya. Yang
tepat adalah wajah dan kedua telapak tangannya. Karena, sebagaimana
akan penulis utarakan di bawah nanti, semua para ulama baik Imam
madzhab maupun yang lainnya, semua berpendapat bahwa selain muka dan
kedua telapak tangan tidak boleh terbuka karena termasuk aurat.

Kedua, kata 'harus' dalam pernyataan penulis buku Jilbab juga kurang
tepat. Mayoritas ulama memang mentidakbolehkan wanita yang sedang
ihram untuk menutup kedua telapak tangannya, dan memakai cadar, niqab,
namun tidak melarang untuk menutup wajah dengan jalan isdal. Ada
perbedaan sangat mendasar antara memakai niqab dengan menutup wajah.
Niqab adalah kain khusus yang dibuat untuk menutup wajah. Dalam hal
ini para ulama sepakat mentidakbolehkannya .

Namun, apabila penutup wajah tersebut bukan dengan niqab tapi misalnya
dengan jalan memanjangkan kain dari kerudung atau dari kain penutup
kepala (al-isdal), maka hal tersebut dibolehkan (lihat dalam
Majmu'atul Fatawa: 26/112, al-Muhalla: 7/91 dan al-Mughni: 3/325). Hal
ini berdasarkan hadits di bawah ini:

Saya sepakat dengan penulis buku Jilbab bahwa jiwa kritis dan skeptis
kita sangat dibutuhkan terhadap apa yang diungkapkan oleh para ulama
yang salah satunya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa satu
masalah sudah Ijma. Namun, sepengetahuan saya, hal ini tidak berarti
tidak dapat diatasi, karena para ulama Ushul sendiri sudah menetapkan
beberapa buku untuk mengecek apakah betul hal tersebut sudah terdapat
Ijma' di antara para ulama atau tidak-untuk lebih jelas masalah ini
dapat dilihat dalam buku-buku Ushul seperti al-Ihkam karya Ibnu Hazm,
al-Ihkam karya al-Amidy, al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali dan lainnya.

Memang harus diakui pula bahwa ada beberapa persoalan-yang jumlahnya
tidak banyak-yang menurut ulama fulan dikatakan telah terjadi Ijma',
namun buktinya tidak terdapat Ijma'. Namun sekali lagi hal ini dapat
diatasi dengan merujuk kepada kompilasi masalah-masalah yang sudah
mujma' 'alaih di kalangan para ulama yang disusun oleh ulama-ulama
kenamaan.

Di antara buku yang dapat dijadikan rujukan untuk mengecek apakah
dalam masalah tersebut sudah terjadi Ijma' atau belum di antaranya
adalah buku Maratibul Ijma' karya Ibnu Hazm, al-Ifshah karya Ibnu
Hubairah, al-Ijma' karya Ibnul Mundzir, Mausu'ah al-Ijma karya Said
Abu Jaib dan Imam Ibnu Mundzir an-Naisabury dalam karyanya berjudul
al-Ijma: Ma Ajma'a 'Alaihil Fuqaha Minal Ahkam al-Fiqhiyyah. Buku-buku
ini merupakan rujukan yang harus dijadikan pegangan oleh mereka para
pengkaji hukum ketika hendak membuktikan apakah betul sudah terjadi
Ijma' dalam hal tersebut ataupun tidak. Termasuk dalam masalah batas
aurat ini, juga sudah terdapat Ijma' di dalamnya.

Dalam sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Fatwa al-Azhar yang
diterbitkan melalui majalah al-Azhar, Juz III, edisi ke 67, bulan
Rabiul Awal tahun 1415H, Agustus / September 1994 halaman 275-279
disebutkan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan
kedua telapak tangan. Hal ini didasarkan kepada dalil al-Qur'an,
Sunnah dan Ijma'.

Demikian isi dari fatwa Lajnah Fatwa al-Azhar dimaksud, bahwa menutup
seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan adalah sudah
merupakan Ijma' para ulama. Untuk lebih membuktikan Ijma dimaksud,
berikut ini penulis mencoba mengetengahkan sekilas pendapat lima
madzhab ulama kenamaan, yang semuanya sepakat bahwa seluruh tubuh
wanita aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan saja. [berlanjut]


Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah
Senin, 16 Oktober 2006

Soal jilbab banyak ulama, termasuk imam mazhab. Umumnya tak ada
perbedaan. Tulisan ini adalah Catatan kecil untuk guru saya DR.
Quraish Shihab atas kekeliruannya. [bag. Kedua]

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati *

Persoalan penutup aurat atau jilbab sudah banyak dibahas oleh empat
imam mazhab. Diantaranya; Madzhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi'I dan Hambali. Ini bisa dilihat dalam buku Bada'iu ash-Shana'i
(V/123), juga sebagaimana dikutip Syaikh al-Alamah Shalih Abdus Sami'
al-Aabi al-Azhary al-Maliky dalam bukunya Jawahirul Iklil fi Syarh
Mukhtashar al-Alamah asy-Syaikh Khalil fi Madzhab al-Imam Malik Imam
Darit Tanzil (1/41), juga kitab at-Tamhid (6/365), asy-Syarh
ash-Shagir (1/400, 401). Imam Nawawi dalam al-Majmu' Syarh
al-Muhadzdzab (1/159), dalam Hasyiyah al-Bujairamy 'Alal Khatib
(1/298,299).

Karenanya, sangat disayangkan sekali dalam buku Prof. Dr. Quraish
Shihab yang berjudul "Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama
Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer" banyak tidak mengacu kepada
buku primer. Bahkan, ketika berbicara masalah hukum (fiqh) sekalipun,
penulis buku Jilbab tidak pernah mengutip buku primer dari fiqh yang
bersangkutan. Termasuk ketika mengatakan bahwa ini adalah pendapat
Imam anu, penulis buku Jilbab, hanya mengambil dari buku skunder 
semisal buku Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy, atau bahkan buku yang
bersifat tersier (tahsinat), seperti Tafsir Ayat Ahkam, tidak langsung
ke buku aslinya.

Sepengetahuan penulis, buku-buku fiqh yang sempat dikutip oleh penulis
buku Jilbab ini tidak lebih dari tiga buah buku saja; Nailul Authar
(hal.88), Bidayatul Mujtahid (hal.105) dan al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu, itupun dikutip masing-masing hanya satu kali saja.

Ketika mengemukakan pendapat para Imam Madzhab, penulis buku Jilbab
misalnya, cukup dengan mengutip buku-buku Tafsir semisal Ibnul Araby,
Imam al-Qurthubi atau buku Ustadz Muhammad Ali as-Sais dalam karyanya
Tafsir Ayat Ahkam. Padahal, ini sangat penting, mengingat bahasan yang
dikemukakan erat kaitannya dengan masalah hukum yang tentunya bertumpu
kepada buku-buku Fiqh.

Apalagi misalnya kalau dielaborasi dari sisi dalil dan hujjah
masing-masing madzhab. Namun demikian, tentu hal ini dikarenakan Pak
Quraish sangat sibuk dan banyak hal lain yang jauh lebih penting yang
harus dikerjakan.

Tidak merujuknya ke sumber primer ini, mengakibatkan, misalnya, kurang
tepat dalam menisbahkan pendapat. Satu hal yang dapat saya jadikan
contoh adalah ketika Pak Quraish mengutip pendapat Ustadz Muhammad Ali
as-Sais tentang pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kaki
wanita bukan aurat:
"Dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dinyatakan
bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini
lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita
miskin di pedesaan yang (ketika itu).."(hal. 48).

Apabila kita merujuk kepada buku-buku bermadzhab Hanafi, maka akan
didapatkan ada dua riwayat yang mengatakan pendapat Abu Hanifah ini.
Satu riwayat disebutkan bahwa memang Abu Hanifah pernah mengatakan
bahwa kaki wanita bukanlah aurat, namun riwayat lain mengatakan bahwa
Abu Hanifah pun berpendapat bahwa kaki wanita tetap aurat.

Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah saja nampak bahwa dalam madzhab Hanafi
ada dua pendapat mengenai penisbahan kepada Abu Hanifah tentang kedua
kaki apakah aurat atau bukan. Namun demikian, dalam buku Dhahirur
Riwayah disebutkan bahwa Abu Hanifah sesungguhnya berpendapat bahwa
kaki wanita pun adalah aurat yang harus ditutup.

Dalam buku Dhahirur Riwayah disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah justru
berpendapat bahwa kaki wanita juga adalah aurat, maka pendapat ini
yang harus diambil.

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam studi literature Madzhab Hanafi,
dikenal ada tiga tingkatan buku-buku fiqh Hanafi.

Tingkatan paling pertama dan utama adalah apa yang disebut dengan
Masailul Ushul atau Masail Dhahir ar-Riwayah yaitu masalah-masalah
yang secara tekstual dicantumkan dan terdapat dalam enam buku induk
madzhab Hanafi karya Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang di dalamnya
memuat pendapat-pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani sendiri. Keenam buku dimaksud adalah al-Mabsuth,
az-Ziyadaat, al-Jami' ash-Shagir, al-Jami al-Kabir, as-Siyar as-Saghir
dan as-Siyar al-Kabir.

Tingkatan kedua adalah Masail an-Nawadir atau Masail Ghair Dhahir
ar-Riwayah yakni masalah-masalah yang diriwayatkan dari para 'sesepuh'
madzhab Hanafi, hanya tidak tercantum dalam buku-buku Dhahir
ar-Riwayah yang enam di atas, akan tetapi tercantum dalam buku-bukunya
yang lain semisal al-Kaisaniyyat, al-Jurjaniyyat, al-Haruniyyat dan
ar-Ruqiyyat.

Tingkatan terakhir adalah tingkatan paling rendah yakni Masail
al-Fatawa atau an-Nawazil atau sering juga disebut al-Waqi'at yaitu
pendapat-pendapat para imam madzhab belakangan dan bukan merupakan
pendapatnya Abu Hanifah, Abu Yusuf atau Muhammad.

Apabila terjadi pertentangan antara tingkat satu dan dua, tentu
tingkat satu yang harus diambil. Untuk itu, sekali lagi saya sampaikan
bahwa Abu Hanifah sesungguhnya tidak berpendapat bahwa kaki wanita itu
bukan aurat, tapi sebaliknya, ia tetap aurat dan karenanya wajib
ditutup. Oleh karena itu, Imam az-Zaila'i pengarang buku Tabyin
al-Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq (1/96), mengatakan, pendapat Abu Hanifah
tentang kaki wanita bukan aurat itu-kalaupun pendapat itu betul
pendapat Abu Hanifah--boleh jadi untuk wanita yang sudah tua. Dan
untuk yang disebut terakhir ini, para ulama memang membolehkannya
untuk tidak ditutup.

*) Penulis adalah mahasiswa mahasiswa program pascasarjana Universitas
al-Azhar Kairo Jurusan Ushul Fiqh. Tulisan ini diringkas dari makalah
pada acara bedah buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimahdi Kairo Selasa 28
Maret 2006

Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah

Senin, 06 November 2006
Para ulama sudah gamblang menjelaskan batas-batas aurat. Tulisan ini
adalah Catatan kecil untuk guru saya DR. Quraish Shihab atas
kekeliruannya. [bag. Ketiga-habis]

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati *

Batas aurat sebenarnya bisa dibaca langsung dari buku-buku fiqh atau
buku-buku lain yang membahas persoalan ini. Namun demikian, saya
mencoba meringkas batasan aurat ini sebagai berikut.

Para ulama telah sepakat bahwa seorang wanita wajib menutup seluruh
auratnya. Hanya saja, seberapa jauh batasan aurat wanita itu? Para
ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa
seluruh tubuh wanita adalah aurat. Oleh karena itu, wanita wajib
menutup seluruh tubuhnya termasuk wajib menutup muka dan kedua telapak
tangannya. Bagi yang berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat,
mereka kemudian mewajibkan wanita untuk bercadar dan memakai sarung
tangan.

Sedangkan menurut pendapat lainnya, bahwa seluruh tubuh wanita aurat
kecuali muka dan telapak tangan. Oleh karenanya, kelompok ini
berpendapat, bahwa wanita harus menutup seluruh tubuhnya, kecuali
menutup muka dan telapak tangan. Artinya, untuk muka dan telapak
tangan boleh tidak ditutup karena kaduanya, menurut kelompok ini,
tidak termasuk aurat. Hanya saja, kalaupun wanita tersebut hendak
menutup muka dan kedua telapak tangannya, maka hukumnya hanyalah
sunnah saja, bukan wajib. Untuk lebih memperjelas masalah ini, berikut
penulis ketengahkan alasan-alasan masing-masing pendapat tersebut.

Para ulama yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat dan
karenanya muka serta kedua telapak tangan juga wajib ditutup, di
antaranya beralasan:

Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 53 yang artinya, "Dan apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi),
maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hatimu dan hati mereka" (QS. Al-Ahzab: 53).

Ayat ini turun ketika Rasulullah saw menikahi Zainab bint Jahsy.
Rasulullah saw lalu mengadakan walimah dan mengundang para sahabat
untuk menghadirinya. Setelah hamper seluruh sahabat pulang, ada
beberapa orang yang tetap saja diam tidak segera pulang. Padahal
Rasulullah saw saat itu, sudah lelah dan sudah berharap agar para
sahabat segera meninggalkannya. Rasulullah saw saat itu ditemani oleh
Zainab terus keluar masuk dengan maksud agar para sahabat memahami dan
segera pulang. Tidak lama kemudian, turunlah ayat ini yang
memerintahkan agar Rasulullah saw memberikan tabir (hijab, penghalang)
antara para sahabat dengan isterinya itu dengan maksud agar para
sahabat tidak dapat melihat isterinya, Zainab bint Jahsy.

Oleh mereka yang berpendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh
tubuhnya berpendapat bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa wanita harus
menutup seluruh tubuhnya termasuk muka dan kedua telapak tangannya.
Buktinya, dalam ayat di atas, Zainab binti Jahsy pun disuruh untuk
melakukan hal itu; membatasinya dengan memakai hijab, penghalang.
Kalau seandainya muka dan kedua telapak tangan boleh dibuka dan tidak
ditutup, tentu Allah tidak akan memerintahkan Rasulullah saw untuk
memasang hijab..

Meskipun ayat ini turun untuk konteks isteri Rasulullah saw, lanjut
kelompok ini, namun hukumnya berlaku juga untuk seluruh wanita,
termasuk wanita-wanita saat ini.

Ayat lainnya yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama ini adalah;
QS. Al-Ahzab: 59. "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya (jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang
yang dapat menutup kepala, muka dan dada).ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."

Menurut kelompok pertama, ayat ini juga menjadi dalil wajibnya menutup
seluruh tubuh wanita termasuk muka dan kedua telapak tangan. Karena
kata yudniina (mengulurkan) ditafsirkan oleh kelompok ini dengan
menutup seluruh muka juga, sehingga yang nampak hanyalah kedua mata
saja untuk melihat.

Dalil lainnya adalah hadits Rasulullah saw berikut ini: Rasulullah saw
bersabda: "Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka ia
akan dihias oleh syaithan (sehingga laki-laki akan senang melihatnya)"
(HR. Turmudzi dan Thabari dan haditsnya Shahih).

Asma binti Abu Bakar berkata: "Kami biasa menutup muka kami dari
tatapan kaum laki-laki. Padahal sebelumnya, ketika kami sedang Ihram,
kami biasa bersisir (merapihkan rambut)" (HR. Hakim dan sanad hadits
tersebut Shahih).

Sedangkan alasan kelompok kedua yang mengatakan bahwa aurat wanita
seluruh  tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, oleh karenanya,
menutup muka dan telapak tangan bukanlah sebuah kewajiban akan tetapi
sunnah saja, sebagaimana Firman Allah : QS. An-Nur: 31.

Artinya: "Kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An-Nur: 31).
Menurut kelompok ini, bahwa dalam ayat di atas Allah mewajibkan wanita
untuk menutup seluruh tubuhnya karena aurat, hanya saja, Allah
mengecualikan dua hal yang biasa nampak. Dan dua hal yang biasa nampak
yang dikecualikan dalam ayat di atas, menurut kelompok ini, adalah
muka dan telapak tangan. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits
berikut ini:

"Dari Aisyah, bahwasannya adik perempuannya, Asma binti Abi Bakar
masuk menemui Rasulullah saw sambil memakai pakaian tipis transparan.
Rasulullah saw lalu berpaling dan bersabda: "Wahai Asma, sesungguhnya
wanita itu,apabila ia telah haid, maka tidak boleh menampakkan
tubuhnya kecuali ini dan ini", Rasulullah saw sambil berisyarat kepada
muka dan kedua telapak tangannya" (HR. Abu Dawud, dan haditsnya Dhaif).

Hanya saja, hadits ini dhaif. Namun demikian, masih banyak hadits
lainnya yang menguatkan bahwa muka dan kedua telapak tangan itu
bukanlah aurat, sehingga hadits-hadits tersebut menguatkan satu sama
lain. Hadits-hadits dimaksud adalah:

"Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw pernah memberikan
ceramah khusus untuk para wanita pada waktu hari raya. Lalu,
berdirilah seorang wanita dari tengah-tangah yang kedua pipinya nampak
seraya berkata: 'Mengapa ya Rasulullah?" (HR. Muslim).

Dari hadits ini makin nampak bahwa muka boleh nampak dan tidak
ditutup, karena dalam hadits di atas, lanjut kelompok ini, bahwa
wanita yang bertanya tidak menutup mukanya. Kalau seandainya muka
wajib ditutup, tentu wanita tersebut akan menutupnya.

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, menceritakan kisah ceramah Rasulullah saw
untuk para wanita pada hari raya, kemudian beliau menyuruh mereka para
wanita untuk sedekah. Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw lalu
memerintahkan mereka kaum wanita untuk bersedekah, dan saya melihat
tangan-tangan mereka melemparkan cincin gelang pada baju Bilal yang
dihamparkan. " (HR. Bukhari).

Menurut kelompok ini, dalam hadits di atas juga dikatakan bahwa Ibnu
Abbas melihat tangan-tangan para wanita yang melemparkan
perhiasan-perhiasan nya. Ini juga membuktikan bahwa telapak tangan
bukanlah aurat dan karenanya tidak wajib ditutup. Karena, apabila
telapak tangan juga aurat, tentu para wanita itu akan menutupnya dan
tidak akan menampakkannya.

Dalil lainnya adalah hadits berikut ini:

Ibnu Abbas berkata: "Suatu hari Fadhl bin Abbas membonceng Rasulullah
saw. Tiba-tiba datang seorang wanita dari bani Khats'am, meminta fatwa
kepada Rasulullah saw. Fadhl lalu melihat wanita tersebut dan wanita
itupun menatapnya (terjadi adu pandang). Rasulullah saw lalu
memalingkan muka Fadhl ke arah yang lain." (HR. Bukhari Muslim).

Menurut kelompok ini, hadits ini juga menjadi dalil bahwa muka
bukanlah aurat dan karenanya tidak wajib ditutup. Buktinya, dalam
hadits di atas, si wanita dari Bani Khats'am tidak menutup mukanya
sehingga dapat dilihat oleh Fadhl bin Abbas. Kalau seandainya muka itu
adalah aurat, tentu wanita itu akan menutupnya.

Sumber rujukan

Perdebatannya mengenai masalah memakai niqab ini sangat panjang, dan
tidak mungkin saya tuturkan secara menyeluruh dalam makalah ini. Namun
demikian untuk lebih memperluas dan memperdalam alasan-alasan dari
masing-masing kelompok ulama di atas, saya cantumkan di bagian Penutup
nanti, beberapa buku yang perlu dibaca berkaitan tulisan saya ini.

Buku-buku yang saya cantumkan nanti, umumnya buku-buku kontemporer
dengan harapan menjadi penghubung untuk lebih mendalami persoalan
dimaksud langsung ke sumber aslinya, yakni turats. Para ulama telah
sepakat bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya selain muka dan
kedua telapak tangan. Ini artinya, bahwa aurat wanita juga pakaian
wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Pada bagian penutup ini, ijinkan saya untuk kembali memberikan
catatan-catatan akhir berkaitan dengan buku yang sedang dibedah ini:

Buku-buku ini, adalah beberapa buku kontemporer yang dapat saya
kemukakan agar para pembaca buku Jilbab karya Dr. Quraish Shihab ada
bandingan dan bisa sebagai bahan tambahan :

Buku-buku yang layak dibaca itu adalah; 
Muhammad Nashiruddin al- Albany, Hijabul Mar'ah al-Muslimah fil Kitab
was Sunnah, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Cet. Kedelapan, 1987, 

Muhammad Nashiruddin al-Albany, Jilbabul Mar'ah al-Muslimah fil Kitab
was Sunnah, Maktabah al-Ma'arif, Riyad, 2002 (isi buku ini sama dengan
buku Hijabul Mar'ah al-Muslimah di atas), 

Mushtafa as-Siba'i, al-Mar'ah Bainal Fiqh wal Qanun, Darus Salam,
Kairo, Cet. Kedua, 2003, 

Muhammad Baltagi, Makanatul Mar'ah fil Qur'an al-Karim was Sunnah
ash-Shahihah, Darus Salam, Kairo, Cet. Ketiga, 2005, Abdul Wahab Abdus
Salam Thawilah, al-Albisah waz-Zinah, Darus Salam, Kairo, 2006, Abdul
Halim Muhammad Abu Syuqah, Tahrirul Mar'ah fi Ashrir Risalah, Darul
Qalam, Kuwait, Cet. Keenam, 2002, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
Hijabul Mar'ah wa Libasuha fis Shalah, al-Maktab al-Islamy, Beirut,
Cet. Keenam, 1985, Abu Abdullah

Musthafa bin al-Adwy, al-Hijab: Ahkamun Nisa fi Sual wa Jawab, Dar Ibn
Affan, Kairo, 2002, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, Adullatul
Hijab: Bahtsun Jami'un li Fadhailil Hijab wa Adillah Wujubihi war Radd
'Ala Man Abahas Sufur, Darul Iman, Iskandariah, 2002, Muhammad
al-Ghazali, Qadhayal Mar'ah Bainat Taqalid ar-Rakidah wal Wafidah,
Darus Syuruq, Kairo, Cet. Kedelapan, 2005, Su'ad Ibrahim Shalih,
Qadayal Mar'ah al-Mu'ashirah: Ru'yah
Syar'iyyah wa Nadhrah Waqi'ah, Maktabah at-Turats al-Islamy, Kairo, 2003,

Selain buku-buku kontemporer di atas, para pembaca juga diharapkan
membaca buku-buku turats fiqh lainnya. Bahkan, ketika mengungkapkan
menurut Madzhab Hanafi demikian mengenai batasan aurat ini, misalnya,
tentu anda para pembaca dan kita semua diusahakan sedapat mungkin
untuk melihat langsung kepada kutubul umm, buku primernya langsung,
tidak melalui perantara buku lain yang sekunder atau tersier.

Penutup

Bagaimanapun, dari perdebatan dan perbedaan para ulama di atas dapat
ditarik beberapa hal penting bahwa:

Pertama, Para ulama telah sepakat bahwa wanita wajib menutup seluruh
tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangannya, tentu termasuk di
dalamnya rambut dan yang lainnya.

Kedua, Mengenai apakah muka dan talapak tangan adalah aurat atau tidak
sehingga apakah wajib untuk di tutup atau tidak, terjadi perbedaan
pendapat. Meski demikian, mereka yang beranggapan bahwa muka dan kedua
telapak tangan bukanlah aurat, menganjurkan (sunnah saja), atau
membolehkan wanita untuk menutup juga muka dan kedua telapak tangannya
terlebih apabila dikhawatirkan akan menimbulkan banyak fitnah.

Ketiga, tidak ada satupun, sepengetahuan saya, dari para ulama yang
menyerahkan batasan aurat ini kepada keadaan atau kondisi
masing-masing, sebagaimana tidak ada yang berpendapat selain dari
kedua telapak tangan dan wajah, misalnya rambut, betis, leher, bukan
aurat. Semua sepakat semua itu aurat yang wajib ditutup.

Keempat, dalam keadaan darurat, sekali lagi darurat bukan kebutuhan
sebagaimana sering disebut oleh Pak Quraish dalam buku Jibabnya,
seseorang diperbolehkan melihat aurat lainnya dengan tentu menurut
batasan-batasan tertentu plus setelah memenuhi beberapa persyaratan
yang telah dibahas oleh para ulama dalam buku-buku fiqh. Kondisi
darurat dimaksud misalnya untuk pengobatan yang sangat kronis, proses
belajar mengajar atau ketika meminang.

Sebagai penutup, untuk guru saya, Prof. DR. Quraish Shihab-apabila
beliau sempat membaca tulisan saya ini-saya memohon, untuk ke depan,
hemat saya, Bapak sebaiknya tidak menerbitkan buku yang hanya
mendeskripsikan pendapat sementara 'ulama' yang notabenenya bukan
bidang yang digelutinya, basicnya bukan masalah yang dibahas..
Misalnya dalam buku Jilbab ini, Bapak mengungkapkan pendapat Syahrur,
Asymawi, Nawal Sa'dawi atau yang lainnya, padahal Bapak dan kita semua
tahu bahwa mereka semua tidak memiliki background fiqh, hukum Islam.
Syahrur adalah seorang muhandis (insinyur), Asymawi seorang mustasyar
(konsultan) bidang hukum positif dan Nawal Sa'dawi seorang penulis
novel saja.

Sebab yang menjadi masalah, jikalau buku itu dibaca para masisir,
mungkin tidak begitu menjadi persoalan. Setidaknya, sama-sama sudah
memiliki basic yang kuat di samping mengetahui siapa Syahrur, Asymawi
dan lainnya, tentu ini tak ada hubungan sentimen kepada mereka.

Namun, apabila yang membacanya orang umum biasa, masyarakat Indonesia
yang awam, tentu akibatnya akan lain. Dia tidak memiliki basic hukum
Islam, agama, juga tidak mengetahui siapa cendekiawan kontemporer yang
dikutip itu.

Terlebih buku ini ditulis oleh Dr. Quraish -yang bagi kalangan
masyarakat Indonesia-- dikenal sebagai seorang cendekiawan dan ulama.
Orang awam tentu akan dengan mudah mengatakan bahwa apa yang ditulis
dalam buku Jilbab itu adalah pendapat Dr. Quraish.

Lebih-lebih kalau ada masyarakat awam yang mengamalkan isi buku jilbab
dengan mengambil pendapatnya Asymawi bahwa rambut pun boleh tidak
ditutup, dengan dalih bahwa Dr. Quraish dalam bukunya Jilbab juga
membolehkan hal itu. Tentu ini sangat fatal akibatnya. Bukan saja,
orang tersebut sudah salah menafsirkan dan menisbahkan pendapat.
Bahkan, saya menduga kalangan aktivis di Jaringan Islam Liberal (JIL)
yang menerjemahkan buku Haqiqatul Hijab karya Muhammad Said al-Asymawi
ini, besar kemungkinan karena terilhami dengan buku Jilbab Dr. Qurash
Shihab ini, yang banyak mengutip pendapatnya.

Sebagai akhir kata, perkenankanlah saya memohon maaf atas tulisan saya
sudah diturunkan beberapa edisi ini. Mudah-mudahan ada bermanfaatnya
bersama.

Wallahu 'alam bis shawab.

*) Penulis sedang menyelesaikan thesis di pascasarjana Universitas
al-Azhar Kairo Jurusan Ushul Fiqh. Makalah ini dipresentasikan pada
acara bedah buku "Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer" karya DR. Quraish Shihab yang
diselenggarakan kerjasama antara Senat Fakutlas Syari'iah Universitas
al-Azhar Kairo dengan FORDIAN. Diolahkembali oleh redaksi
<http://www.hidayatu llah.com/> www.hidayatullah. com


--- In urangsunda@yahoogroups.com, "waluya56" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Ngring mairan. Rarasaan mah artikel Julia teh lain soal Jilbabna, 
> ngan ngamasalahkeun kunaon dijieun aturan ku pamarentah lokal yen  
> wanoja kudu dijilbab? Kang Malki nyalira anu nyutat artikel Julia, nu 
> nyebutkeun jaman Orba aya aturan teu meunang dijilbab. Tulisan ieu 
> nunjukkeun Julia oge HENTEU SATUJU aya aturan nu ngalarang wanoja 
> dijilbab. Sabab ngalanggar kabebasan manusa nu dijamin ku kontitusi 
> nagara urang. Make analogi nu sarua, aturan/ undang-undang  kudu make 
> jilbab oge, sarua ngalanggar kabebasan manusa. 
> 
> Perkawis jilbab, sanajan kuring awam dina soal dalil-dalil, tapi 
> kuring terang aya ulama-ulama nu teu ngawajibkeun dijilbab, contona 
> Quraish Shihab, nu anakna Najwa Shihab unggal poe nonghol dina TV teu 
> dikurudung. Kitu deui presenter wanoja urang Arab di Televisi AL 
> Jazeera atawa Al Arabia, nu waktu perang teluk, siaranana di relay ku 
> stasiun TV di urang, maranehna marake pakean barat, teu make 
> jilbab ...komo cadar mah.
> 
> Sholat ngan tilu waktu, eta kapangaruhan ku aliran Syiah. Urang SYiah 
> salatna lima kali, tapi lohor jeung Ashar dihijikeun waktuna, kitu 
> deui Maghrib jeung Isa. Jadi nu kaluar ngan tilu waktu. Kuring boga 
> software keur ngitung waktu shalat di unggal tempat di dunya ieu. 
> Softaware ieu bisa disetel Mazhab naon nu rek dipake. aya LIMA MAZHAB 
> disadiakeun ku software ieu. Opat Mazhab, mazhab Sunni (Shafi'i, 
> Hanafi, Maliki jeung Hambali). Hiji Mazhab deui, mazhab mayoritas 
> Syiah nyaeta JAFARI. Ku kuring dicobaan disetel kana Mazhab Jafari, 
> nu kaluar ukur waktu Shalat Shubuh, Lohor jeung Maghrib. Tadina 
> kuring nyangka softawe ieu salah, tapi sanggeus tunyu-tanya, memang 
> bener urang Syiah mah ngan "Tilu Waktu" Shalat.
> 
> Jadi? .... saha nu tiasa masihan "pencerahan" ka kuring, kunaon teu 
> saragam kitu? kunaon poe lebaran beda? kunaon mazhab Hanafi, lamun 
> awewe kawin teu kudu make wali?. Mana nu bener? ..... hese pan, 
> tuntungna gumantung ka pribadi-pribadi, rek milih nu mana, nu cocog 
> jeung hatena. Naha nagara/ pamarentah lokal bet rek "ngamonopoli" 
> tafsiran?
> 
> Baktos,
> WALUYA 
> 




Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke