kenging ngorowot ti kompas rubrik Swara kamari.

KEADILAN
*Wabah Itu Bernama Poligami *

*Lily Zakiyah Munir*

Sebersit angin segar kembali berembus membawa keadilan bagi perempuan
Indonesia. Pemerintah, melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, cepat tanggap
menangani wabah baru maraknya poligami.

Sebelum itu, saya miris membaca berita demi berita tentang perilaku poligami
para tokoh publik. Lebih miris lagi karena dalih yang dikemukakan hampir
selalu "daripada berzina...."

Selemah itukah lelaki Muslim? Mereka begitu "perkasa" dalam menyubordinasi
perempuan, tetapi begitu lemah dalam mengontrol nafsunya sendiri. Saya kira
banyak lelaki Muslim "sejati" yang teguh dalam mengontrol diri tersinggung
oleh alasan ini.

Saya ngeri membayangkan seandainya tidak ada upaya menghentikan wabah
poligami, jangan-jangan Indonesia menjadi seperti negerinya Taliban,
Afganistan. Di negeri di mana saya pernah bekerja itu, budaya poligami
berurat berakar. Kolega saya, seorang mullah elite, memiliki empat istri dan
anak lebih dari empat puluh. Mereka hidup di bawah satu atap dalam satu
rumah besar.

Seorang calon presiden di Afganistan yang berkampanye jika terpilih nanti
akan membuka kesempatan memperdebatkan poligami langsung dicekal penguasa.
Dia dianggap menghina syariat Islam yang merupakan dasar konstitusi negara.
Tentu bukan budaya seperti ini yang kita inginkan, demi keadilan perempuan
di negeri kita.

*Nabi dan monogami*

*Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah,
dilaporkan Nabi Muhammad SAW marah ketika beliau mendengar putrinya,
Fatimah, akan dipoligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. *

*Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan pidato,
"Keluarga Bani Hashim bin al-Mughirah telah meminta izinku untuk menikahkan
putri mereka dengan Ali bin Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya
tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan sama sekali, kecuali
Ali menceraikan putri saya terlebih dulu."*

*Kemudian, Nabi Muhammad SAW melanjutkan, "Fatimah adalah bagian dariku. Apa
yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah
menyakitiku juga," (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, hadis nomor 9026).
Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.*

Mungkin orang akan bertanya bagaimana dengan kenyataan Nabi sendiri
berpoligami? Bahkan, ini sering dijadikan alasan lelaki berpoligami, yaitu
ittiba' (mengikuti) Rasul.

Kalau kita menyimak perkawinan Beliau, dapat disimpulkan pada hakikatnya
Nabi monogami selama sebagian besar masa perkawinannya. Beliau menikah
selama lebih dari 30 tahun, dan 28 tahun di antaranya dihabiskan hanya
dengan Khadijah dalam perkawinan yang sukses dan membuahkan putra-putri.

Beliau sangat mencintai Khadijah dan setia kepadanya sehingga tahun Khadijah
wafat disebut 'am al-hazn (tahun berduka). Dua tahun setelah Khadijah wafat,
baru Nabi berpoligami. Dari sekian istri hanya Aisyah yang gadis.

*Kekerasan psikologis*

Poligami menyimpan banyak problem. Salah satunya, membisukan suara hati
perempuan. Selama ini poligami hampir selalu dilihat dan didefinisikan dari
perspektif lelaki. Apa definisi adil dan siapa mendefinisikan? Apakah
mencakup keadilan batiniah dan seksual atau sebatas keadilan lahiriah dan
material? Apa pembenaran teologis atau sosiologisnya? Perempuan nyaris tak
didengar suaranya.

Poligami bisa menjadi sumber penderitaan perempuan. Sebagai manusia utuh,
seperti lelaki, perempuan memiliki harga diri, integritas diri, dan emosi.
Poligami membuat mereka merasa dikhianati dan direndahkan, serta menjadikan
mereka merasa tak berdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan
ketidakadilan terhadap perempuan.

Indahnya perkawinan yang dibina bersama dengan penuh cinta kasih tiba-tiba
runtuh. Perempuan yang sudah mengorbankan identitas dan integritas diri demi
menopang suami dalam meniti tangga menuju status sosial lebih tinggi
tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif untuk mengembangkan diri dikorbankan
demi suami tercinta. Kini pada usia senja, dengan ketergantungan emosional
dan finansial terhadap suami, dia harus menerima kenyataan pahit itu.

Banyak perempuan memilih bercerai daripada dipoligami. Tetapi, lebih banyak
yang memutuskan tetap berada dalam perkawinan. Berbagai alasan dikemukakan,
seperti demi anak, stigma sosial terhadap janda, ketergantungan finansial,
dan sebagainya. Perempuan ini mesti memendam berbagai rasa seperti cemburu.

Seorang istri yang dipoligami, ketika saya wawancara baru-baru ini,
mengatakan dengan getir, "Kebahagiaan dalam perkawinan tidak dapat dibagi.
Semua bentuk perhatian, cinta, kasih sayang dari suami terhadap istri, tidak
dapat diukur dengan materi. Seorang suami tidak mungkin bisa adil kepada
para istrinya. Jadi, poligami adalah bagian dari ketidakadilan. Tetapi,
memperdebatkan poligami di tengah masyarakat patriarkis tidak ada gunanya."

Poligami juga menjadi alat melegitimasi kekerasan psikologis terhadap
perempuan. Istri pertama seorang dai kondang yang baru saja berpoligami,
ketika ditanya apakah dia cemburu, menjawab ya, dan itu tanda cinta. Namun,
dia tegar mendampingi sang suami menjelaskan perkawinan keduanya. Siapa tahu
perasaan dan gejolak dalam hati? Hanya yang bersangkutan dan Allah semata.

*Problem penafsiran*

Perbedaan penafsiran ayat poligami (QS An-Nisa/4:3) sudah banyak
diwacanakan. Inti utama perbedaan adalah pandangan tentang keabsolutan
institusi poligami. Ayat poligami turun setelah Perang Uhud, di mana banyak
sahabat wafat di medan perang.

Ayat ini memungkinkan lelaki Muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia
yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka dan hartanya dengan penuh
keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional. Kini kaum Muslim cenderung
melupakan motif ini dan menganggap poligami "hak" lelaki Muslim secara
absolut.

Ayat selanjutnya (4:129) secara kategoris menyatakan, tidak mungkin seorang
lelaki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia
menginginkan. Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama
monogami. Namun, pendukung poligami justru berpendapat sebaliknya.

Karena tidak mungkin seorang lelaki berlaku adil lahiriah dan batiniah
kepada para istri, maka sikap adil itu hanya sebatas kemampuan mereka
sebagai manusia. Inilah lokus perdebatan itu.

Bagaimana menyikapi ini semua? Marilah kita berpikir jernih. Salah satu misi
utama Islam adalah membebaskan mereka yang tertindas dan membawa keadilan
bagi mereka.

"Revolusi" yang dibawa Islam adalah peningkatan status perempuan menjadi
sepenuhnya setara dengan lelaki, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai
wakil-Nya di bumi. Apakah poligami yang sedang mewabah ini telah
mencerminkan keadilan tersebut? Allah Mahatahu.

Lily Zakiyah Munir *Direktur Center for Pesantren and Democracy Studies
(Cepdes), Jakarta *

--
geocities.com/mangjamal

Kirim email ke