Hehe,
minimal alesan kuring harita atuh kang Bud.
Punten we mun aya PNS anu teu ngaraos kawakilan. Nya ngawakilkeun sorangan
we lah.
Hehe.
Eh, ua Tito, abdi bade ka surabaya dinten salasa.

baktos
tantan

On 12/16/06, Budhi Setiawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

  hayang jadi pagawe nagri, tong boro di urang, di Jepang oge masih keneh
favorite. barudak nu rek lulus S1, di semester kahiji taun panungtung,
kacida soson-soson dialajar sangkan lulus pagawe negeri. Sistim ujianna asup
pagawe negeri di dieu nasional, tahap kahiji siga tes TPA, tes keahlian,
wawancara karek panarimaan tur penempatan keu pagawe nasional nepi ka
propinsi. keur pagawe kabupaten tes TPA, karek kumaha kawijakan
masing-masing pemda-na.

alesanna cenah tina pangasilan teu pati beda jeung pagawe swasta, aya gaji
ka 13 nepi 15, kadang 18 kumaha hasil tina bageanna, gawena ti jam 8 nepi ka
5, jarang lembur.

sigana eta alesan PNS ceuk kang Tan alesan urang mana tah ? da kuring mah
ngarah bisa lalajo maen bal bebas, teu kawengku ku waktu ... ha  ha ha ha

budhi
- pangsiunan pagawe uil kumpeni
basa di uil, indit jam 6 balik kadang jam 12 peuting, gaji beda pisan
jeung bule ari gawe kadang leuwih beurat, cenah mah ayeuna rada sarua da mun
teu naek bisa kalabur ka middle east

On 12/15/06, tantan hermansah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>   Neraskeun.
> SIgana, sok sanajan gajina leutik, PNS loba nu mikahayang. Ceuk kuring
> alesana:
> 1. Nya eta, bisa maling2 waktu jang neangan sampingan;
> 2. Rada hese dipecat!
> 3. Daripada euwueuh deui;
> 4. Sugan ari ka nagara mah mentana, bisa ditoleransi saeutik;
> 5. Bisa korupsi! hehe
>
> baktos,
> tantan
>
>
> On 12/15/06, tantan hermansah <[EMAIL PROTECTED] > wrote:
>
> > hehe. Punten upami tos maca
> > Tina PR
> > Beda Sedikit Guru dan Satpam
> > Oleh Dr. AFIF MUHAMMAD, M.A.
> >
> > LEBIH banyak diam daripada berbicara, itulah Bu Mega. Akan tetapi,
> > sekalinya berbicara langsung menonjok. Akibatnya, dalam konteksnya dengan
> > kedudukan beliau sebagai presiden dan Ketua PDI Perjuangan, pernyataannya
> > menjadi sering kontraproduktif. Beberapa bulan yang lalu beliau menyatakan
> > di depan para pejabat tentang ketidaksediaannya menaikkan gaji pegawai
> > negeri sipil (PNS). Menurut Bu Mega, pegawai negeri sipil kurang produktif.
> > Sayang Bu Mega tidak mengemukakan secara jelas sebab-sebab rendahnya
> > produktivitas para PNS. Beliau hanya mengemukakan contoh rendahnya
> > produktivitas tersebut dengan pelayanan para PNS yang dinilainya lamban dan
> > berbelit-belit.
> >
> > Menteri Faisal Tamin segera menindaklanjuti pernyataan Bu Mega dan --
> > Senin 14 Juli yang lalu -- para pegawai negeri harus menjalani Sensus
> > Kepegawaian, mengisi data kepegawaian yang mereka miliki sejak awal hingga
> > akhir. Yang juga kontraproduktif adalah pernyataan terakhir Bu Mega yang
> > mengatakan bahwa beliau pusing oleh situasi negara yang semrawut. Bagaimana
> > tidak kontraproduktif jika seorang presiden mengeluh seperti itu.
> >
> > PNS (pegawai negeri sipil) adalah para pegawai yang digaji oleh
> > negara. Oleh karena itu besar-kecilnya gaji mereka didasarkan atas kemampuan
> > negara. Jumlah gaji yang mereka terima bervariasi tergantung dari
> > tinggi-rendahnya pendidikan dan panjang-pendeknya pengalaman mereka. Itu
> > berarti bahwa, sekalipun seorang pegawai memiliki pendidikan tinggi, tetapi
> > jika pengalaman kerjanya masih pendek, gajinya pun rendah. Sebaliknya,
> > sekalipun seorang pegawai hanya mengenyam pendidikan rendah, asal
> > pengalamannya sudah matang, gaji yang diterimanya bisa cukup besar.
> >
> > Walaupun begitu, rentangnya tidak terlalu lebar. Salah seorang dosen
> > kawan saya di pascasarjana yang berijazah doktor (S-3) dan sudah mengabdi
> > hampir 15 tahun, memperoleh gaji Rp 1.890.000 ,00 (angka ini merupakan
> > pembulatan). Akan tetapi, seorang satpam yang baru diangkat menjadi calon
> > pegawai negeri sipil (CPNS) menerima sekira Rp 650.000,00. Kalau
> > satpam ini sudah bekerja dua tahun, gajinya naik menjadi sekira Rp
> > 850.000. Jadi, perbandingan gaji seorang dosen yang bergelar doktor
> > dengan seorang satpam berijazah SMU adalah 2:1 lebih sedikit.
> >
> > Dlihat dari perbandingan pendidikan dan imbalan yang diperoleh
> > masing-masing PNS (doktor dan satpam) di atas, rentang gaji tersebut terasa
> > tidak adil, dan sungguh-sungguh membuat orang menjadi malas menuntut ilmu
> > sebab jika Pak Satpam ingin menjadi doktor, ia butuh waktu tambahan sekira
> > 10 tahun lagi, 4-5 tahun untuk S-1, 2-3 tahun untuk S-2, dan 3-5 tahun untuk
> > S-3. Waktu selama itu terhitung cepat. Normalnya 12-15 tahun. Alasannya ada
> > seorang senior saya yang hari ini berada di semester 22 untuk masa studi
> > program doktornya. Itu menunjukkan betapa beratnya menjadi seorang doktor.
> >
> > Akan tetapi, mungkin Pak Satpam akan membalas dengan mengatakan bahwa
> > beban kerja mereka berbeda. Satpam harus bekerja setiap hari, bahkan setiap
> > minggu mendapat giliran piket malam, sedangkan Pak Doktor hanya dikenai
> > beban kerja 12 sks yang dapat dilaksanakan dalam dua hari. Lalu, Pak Doktor
> > akan menukas, "Benar, kelihatannya kami (para doktor) hanya bekerja dua
> > hari, tetapi bimbingan-bimbingan, konsultasi-konsultasi, mempersiapkan bahan
> > perkuliahan, memeriksa tugas-tugas yang kami lakukan di luar perkuliahan,
> > tak kalah beratnya dengan piket malam untuk seorang satpam."
> >
> > Namun di Indonesia gaji bukanlah penghasilan. Gaji adalah upah yang
> > diperoleh seseorang dari pekerjaan "tetapnya", sedangkan penghasilan adalah
> > seluruh pendapatan yang dia peroleh dari pendapatan yang pertama tadi plus
> > pendapatan-pendapatan lain yang dia peroleh dari pekerjaan-pekerjaan
> > tambahannya. Seorang satpam jelas sulit mendapat pekerjaan tambahan.
> > Kalaupun ada, itu pasti jaga malam di pabrik-pabrik dan itu sangat kecil
> > kemungkinannya, sedangkan Pak Doktor memiliki kesempatan yang sangat banyak
> > untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
> >
> > Pak Doktor, karena pendidikannya yang tinggi, sangat berpeluang untuk
> > menduduki jabatan yang menghasilkan pendapatan tambahan yang jumlahnya
> > kadang-kadang melebihi gajinya. Dia juga bisa menulis di koran dan majalah.
> > Untuk sekali menulis di "PR", misalnya, dia akan menerima honor yang
> > besarnya sama dengan sepertiga, bahkan ada yang sampai satu kali gaji Pak
> > Satpam. Jadi, untuk mendapatkan penghasilan tambahan sebesar gaji sebulan
> > Pak Satpam, dia cukup menulis satu-dua tulisan saja. Penelitian, menulis
> > buku, memberikan ceramah, seminar, dan mengajar di perguruan tinggi swasta
> > adalah "tambang" lain seorang doktor. Jika semuanya itu dikumpulkan,
> > penghasilan Pak Doktor bisa mencapai 5-10 kali penghasilan Pak Satpam.
> >
> > Akan tetapi, apakah kondisi semua satpam dan doktor seperti itu?
> > Hampir bisa dipastikan "ya." Oleh karena itu, pegawai negeri sering
> > diidentikkan dengan fasilitas dan fasilitas adalah penghasilan tambahan.
> > Faslitas-fasilitas seperti itu biasanya terkait dengan jabatan. Artinya,
> > jika seorang pegawai negeri berstatus dosen dan memiliki jabatan tertentu,
> > misalnya menjadi dekan dan ketua jurusan, jabatan itu akan memberinya
> > fasilitas-fasilitas (membimbing, menguji, penelitian) yang dapat memberikan
> > tambahan penghasilan di luar gaji tetapnya. Sebaliknya, jika dia hanya
> > menjadi dosen tanpa jabatan, penghasilannya akan semata-mata bersumber dari
> > gaji tetapnya dan itu mungkin hanya dua kali penghasilan seorang satpam.
> >
> > Dengan demikian, besar-kecilnya penghasilan pegawai negeri sangat
> > bergantung pada fasilitas dan fasilitas tersebut sangat terkait dengan
> > jabatan. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai biang keladi terjadinya
> > korupsi dan kolusi. Karena seperti kita maklumi bersama, jika seorang
> > pejabat menangani sebuah projek, dia dapat memperoleh penghasilan tambahan
> > berkali-kali lipat dari gajinya. Itu pulalah yang membuat orang-orang
> > Amerika terheran-heran. Secara rasional mereka mengalkulasi, dengan gaji
> > sekecil itu mana mungkin seorang pegawai negeri bisa memiliki televisi,
> > motor, mobil, bahkan rumah besar berharga ratusan juta? Mereka tidak tahu
> > bahwa televisi, motor, rumah, dan mobil yang dimiliki para pegawai negeri
> > sipil itu berasal dari projek-projek yang mereka tangani, atau merupakan
> > barang-barang kreditan yang baru lunas mereka bayar selama empat atau lima
> > tahun. Hampir semua pegawai negeri mendapatkan barang-barang mereka yang
> > terbilang mahal dengan cara seperti itu. Saya pernah bertanya kepada salah
> > seorang kawan saya sesama dosen tentang mobil *second* yang dia
> > miliki. Lalu, kami terlibat pembicaraan berikut ini.
> >
> > "Mobil itu cicilan, Mas," kata kawan saya menjelaskan.
> >
> > "Bayarnya?" tanya saya pura-pura tidak tahu.
> >
> > "Ya, potong gaji," jawabnya ringan-ringan saja.
> >
> > "Berapa?" tanya saya ingin tahu.
> >
> > "Ya, sisa dua ratus lima puluhan lah," jawabnya.
> >
> > "Lalu, untuk istri dan anak-anak?"
> >
> > "Ya, dari *ladang tikoro*," jawabnya sambil tertawa.
> >
> > *Ladang tikoro* yang dia maksudkan adalah penghasilan-penghasilan yang
> > dia dapatkan dari ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian yang dia berikan.
> > Kawan saya itu memang seorang yang pandai ceramah. Dia sering diundang
> > menyampaikan ceramah dan pengajian di berbagai tempat. Menurut pengakuannya,
> > dia sama sekali tidak memasang tarif untuk itu. Akan tetapi, dengan setengah
> > berbisik dia mengatakan bahwa setiap kali "manggung" dia sedikitnya mendapat
> > "amplop" seperempat gajinya sebagai dosen. Saya tahu betul bahwa dalam
> > seminggu dia minimal diundang ceramah dua atau tiga kali. Sebulan berarti
> > delapan sampai sepuluh kali. " *Paingan atuh,*" komentar saya sambil
> > tertawa dalam hati.
> >
> > Guru adalah orang yang mengemban tugas sebagai pengajar dan mengajar
> > adalah jabatan fungsional. Jika statusnya adalah pegawai negeri sipil,
> > gajinya ya tidak banyak berbeda dengan gaji seorang satpam yang pangkatnya
> > sama dengannya. Bedanya hanya sedikit, yakni tunjangan fungsionalnya yang
> > tidak mencapai seratus ribu. Bagaimana dengan Pak Doktor yang menjadi dosen?
> > Dilihat dari tugasnya, dosen adalah guru juga. Cuma, tempat kerja yang
> > berbeda membuat gaji dan penghasilan menjadi berbeda sekalipun sama-sama
> > pegawai negeri. Jika seseorang mengajar di perguruan tinggi, dia disebut
> > dosen dan jika mengajar di sekolah tingkat TK hingga SMU, dia disebut guru.
> >
> > Untuk bisa menjadi guru seseorang harus menempuh pendidikan khusus,
> > ada D-1, D-2, D-3, S-1, S-2, dan S-3. Perbedaan tingkat pendidikan ini
> > memberi kewenangan yang berbeda. Lulusan D-1, misalnya, berwenang mengajar
> > di TK, S-1 di SMU, dan S-3 di program pascasajana. Perbedaan pendidikan dan
> > tempat tugas ini diikuti dengan perbedaan tunjangan fungsional yag berbeda.
> > Dengan begitu, ada perbedaan tunjangan fungsional bagi pengajar di tingkat
> > SMU ke bawah, dengan pengajar di tingkat perguruan tinggi. Tunjangan
> > fungsional seorang dosen sedikit lebih besar dari guru. Akan tetapi, seperti
> > dikatakan di atas, ya tidak banyak terpautnya dengan gaji seorang satpam.
> >
> > Untuk ke depan, nasib guru akan semakin "menggembirakan". Otonomi
> > daerah telah memberi peluang sangat besar kepada sekolah-sekolah untuk
> > mengelola dirinya sendiri. Dalam aspek administrasi akademiknya, otonomi
> > tersebut terkesan masih merepotkan. Namun pada saat yang sama, ia memberi
> > kesempatan kepada para guru untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik
> > sebab mereka dapat merancang pengembangan sarana pendukung kegiatan
> > belajar-mengajar sesuai dengan kemampuan masyarakat (orang tua siswa), dan
> > tidak lagi hanya menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat yang
> > jumlahnya sangat tidak memadai. Dewan-dewan sekolah dibentuk menggantikan
> > BP3 yang ada sebelumnya. Lalu, mulai dioperasikanlah konsep yang selama ini
> > disebut dengan Manajemen Berbaris Sekolah (MBS). Hasilnya, sumbangan
> > pembangunan menggelembung. Lonjakannya tidak tanggung-tanggung. Seorang
> > kawan saya tahun ini memasukkan salah seorang putranya ke salah satu SMUN
> > favorit di Bandung dan dia mengeluhkan sumbangan pembangunan yang katanya
> > naik lebih dari 150% dari tahun sebelumnya.
> >
> > "Berapa?" tanya saya sambil lalu.
> >
> > "Ya, satu setengah gaji saya sebulan, Mas," jawabnya setengah
> > mengeluh. Padahal, dia seorang dosen dengan golongan IV-b.
> >
> > "Yah, asal SPP-nya masih terjangkau," komentar saya masih sambil lalu.
> >
> > "Ya, itulah, Mas, SPP-nya juga naik tiga kali lipat," katanya dengan
> > keluhan lebih dalam.
> >
> > "Ah, untuk Anda *kan *masih terjangkau," komentar saya sambil
> > memandang ke arahnya.
> >
> > "Insya Allah," katanya yakin, "Tetapi untuk mereka yang berpenghasilan
> > rendah?" tambahnya dengan nada sedih.
> >
> > Sumbangan sarana pendukung kegiatan belajar-mengajar itu tentu saja
> > tidak hanya digunakan untuk membangun dan merenovasi ruang-ruang kelas atau
> > melengkapi peralatan laboratorium, tetapi juga untuk meningkatkan
> > kesejahteraan para guru. Tentu saja tidak tanpa imbalan apa pun. Di situ
> > dirancanglah berbagai kegiatan semisal pelajaran-pelajaran tambahan. Dengan
> > semua itu diharapkan mutu lulusan sekolah dapat meningkat dengan baik.
> >
> > Fenomena di atas terjadi di semua sekolah sejak dari TK hingga SMU,
> > bahkan perguruan tinggi. Mereka seakan-akan sedang mengalami eforia yang
> > membuat mereka begitu bersemangat, sampai-sampai lupa bahwa di saat
> > perekonomian negeri kita masih semrawut seperti sekarang ini, biaya mahal
> > seperti itu sangat memberatkan banyak orang. Sekarang ini, sekolah-sekolah
> > tak ubahnya seperti barang dagangan yang dijajakan di warung-warung. Jika
> > dulu harganya ditentukan oleh pemerintah, kini ditentukan sendiri oleh
> > pengelola sekolah masing-masing dengan harga yang bervariasi sesuai dengan
> > kualitas yang dimiliki masing-masing sekolah. Terserah masyarakat mau beli
> > yang mana. Kuat membeli yang mahal silakan, kalau tak kuat cari yang lain!
> >
> > Tiba di sini, kita boleh tersenyum dan bersamaan dengan itu mengelus
> > dada. Tersenyum, karena Sang Umar Bakri sebentar lagi dapat mengganti
> > sepedanya dengan motor atau bahkan dengan mobil. Mengelus dada karena anak
> > Pak Satpam yang otaknya encer kayak susu cair, sulit memperoleh bangku di
> > sekolah yang dapat mengembangkan potensinya. Dengan begitu, tidak ada lagi
> > yang melindungi konsumen (masyarakat, orang tua siswa). Akibatnya, akan
> > banyak siswa pintar yang tidak akan dapat melanjutkan pendidikannya ke
> > sekolah-sekolah yang baik jika mereka tidak memiliki biaya untuk itu.
> >
> > Lantas, akankah terjadi "yang bisa pintar adalah si kaya, sedangkan si
> > miskin semakin bodoh," dan berikutnya, "yang kaya semakin kaya dan yang
> > miskin semakin miskin?" Di sini, mestinya pemerintah segera menetapkan
> > "harga" standar yang rasional. Tentu saja tidak harus sama, tetapi ada
> > rentangan tertentu. Juga, para pengelola mestinya tidak menaikkannya secara
> > drastis, tetapi bertahap. Ya, seperti kenaikan harga bensin, telefon, dan
> > tarif dasar listrik begitulah.
> >
> > Sekalipun saya seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi (yang tentu
> > saja juga guru), tetapi saya juga orang tua murid. Oleh karena itu,
> > perkembangan dunia pendidikan sekarang ini cukup menggembirakan saya.
> > Sebagai sesama guru, saya gembira dengan adanya harapan bahwa
> > saudara-saudara saya sesama guru akan dapat memperbaiki nasibnya dan sebagai
> > orang tua siswa saya berharap bahwa dengan kenaikan-kenaikan biaya itu, mutu
> > pendidikan anak-anak kita akan semakin baik. Kita dapat mengejar
> > ketertinggalan kita dari bangsa lain dengan lebih cepat. Akan tetapi,
> > keprihatinan masih menyertai saya karena saat ini saya tinggal di sebuah
> > pemukiman yang banyak warganya berprofesi sebagai tukang cangkul, pengangkut
> > sampah, pedagang bala-bala, buruh nyuci, dan penggali sumur. Mereka ini
> > selalu mengeluhkan mahalnya harga-harga, bahkan di tempat lain sudah ada
> > yang bunuh diri. *Wallahu A`lam bish Shawab. *
> >
> > *Penulis* *pengajar dan Asisten Direktur Bidang Akademik Program
> > Pascasarjana IAIN Bandung.*
> > http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/13/0801.htm
> >
> > On 12/15/06, surtiwa surtiwa <[EMAIL PROTECTED] > wrote:
> > >
> > >
> > > --- reksagantra <[EMAIL PROTECTED] <reksagantra%40yahoo.com>>
> > > wrote:
> > >
> > > Hanjakalna teh sanes...anu jelas contona di pausahaan
> > > mah (Non Rumah sakit) profesi dokter...Sr Dokter
> > > posisina eta teh diniley kinten2 sami sareng Sr
> > > Engineer/Sr Lawyer/ Sr Finance...janten dibawah
> > > Manager..kumargi ngan pelaksana. lamun manehna nek
> > > kana lepel manajerial janten Medical Officer kaakara
> > > lepelna teh naek janten Manajer. Tapi tingali di
> > > penileyan masyarakat.ka dokter...luhur pisan..sakolana
> > > .lami..awis..
> > >
> > > Biasana dihiji pausahaan anu gajihna sok rada mokaha
> > > eta anu nyepengan posisi anu gancang nambihan nilai
> > > tambah...sapertos Corporate Planner...Business
> > > development...Strategic Marketer...jrd.
> > >
> > > > Patarosan sim kuring: Naha eta teori teh
> > > > ngaapresiasi core bussiness
> > > > hiji pausahaan, nu hartosna maparin nilai lebih ka
> > > > hiji profesi nu
> > > > dianggap asset atanapi mesin produksi utama?
> > > > Contona: Di usaha pers,
> > > > nya wartawan nu janten mesin utamana teh. Di
> > > > universitas, nya dosen.
> > > > Di rumah sakit, nya dokter. Di milis, nya kuncen.
> > > > Hehehe...
> > > >
> > > > Baktos,
> > > > Pun Maman
> > > >
> > > >
> > > >
> > >
> > > __________________________________________________________
> > > Do you Yahoo!?
> > > Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.
> > > http://new.mail.yahoo.com
> > >
> >
> >
> >
> > --
> > tantan hermansah
> > www.tantanhermansah.co.nr
> >
> > "jig geura narindak; jeung omat ulah ngalieuk ka tukang!"
> > --siliwangi--
>
>
>
>
> --
> tantan hermansah
> www.tantanhermansah.co.nr
>
> "jig geura narindak; jeung omat ulah ngalieuk ka tukang!"
> --siliwangi--
>
>


--
budhi at urang-sunda dot or dot id




--
tantan hermansah
www.tantanhermansah.co.nr

"jig geura narindak; jeung omat ulah ngalieuk ka tukang!"
--siliwangi--

Reply via email to