PROFIL TOKOH :.

  

1 2004 -2:09

Oto Iskandar Dinata
"SI JALAK HARUPAT" yang Tak Pernah Kembali 




"Kalaoe Indonesia Merdeka boleh diteboes dengan djiwa
seorang anak Indonesia, saja telah memadjoekan diri
sebagai kandidat jang pertama oentoek pengorbanan
ini." Demikian ucapan R. Oto Iskandar di Nata seperti
ditulis Surat Kabar Tjahaja edisi 21 Agustus 1945.
Mungkinkah itu pertanda takdir yang akan menimpanya?
Buku Si Jalak Harupat, Biografi R. Oto Iskandar di
Nata karya Nina H. Lubis, M.S., terbitan PT Gramedia
Pustaka Utama yang dicukil ini bisa mengungkapnya.

Pada 31 Maret 1897 terdengar tangis bayi dari sebuah
rumah paling besar di Desa Bojongsoang, Kabupaten
Bandung. Itulah tangis pertama R. Oto Iskandar di
Nata, putra pasangan Raden Haji Rachmat Adam, kepala
desa Bojongsoang, dengan Nyi Raden Siti Hatijah. 

Oto - anak ketiga dari delapan bersaudara - besar
dalam keluarga bangsawan, sehingga hidupnya relatif
lebih baik dibandingkan dengan anak-anak orang
kebanyakan. Setelah cukup umur, ia masuk HIS. 

Di masa kanak-kanak Oto gemar berolahraga, terutama
sepak-bola. Sepakbola tetap disenangi sampai ia
dewasa. Selain menjadi pemain, ia juga sering menjadi
wasit dan pernah menjadi ketua PERSIB, bersama Rahim -
mertua Bung Hatta. Ia juga menaruh perhatian cukup
besar pada kesenian. Gemar main tonil, juga pandai
menabuh gamelan dan menari Sunda. 

Cita-cita gurunya

Setamat HIS, Oto melanjutkan pelajaran ke Kweek-school
Onder-bouw (Sekolah Guru Bagian Pertama), sekolah
berasrama, di Bandung. Dalam asrama Oto dianggap
sebagai anak yang aktif dan terkadang berani melanggar
aturan. 

Akibatnya, Oto sering dihukum pimpinan asrama -
misalnya sering dilarang keluar kamar. Sikap
pemberaninya diimbangi dengan kepandaiannya. Setiap
tahun ia naik kelas dengan angka-angka yang menonjol.

Selanjutnya, Oto melanjutkan studi ke Hogere
Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa
Tengah. Di sini pemuda Oto mulai gemar membaca,
terutama buku-buku dan surat kabar berbau politik.
Koran yang sering dibacanya antara lain De Express,
asuhan Douwes Dekker. Karena isinya sering mengecam
pemerintah Belanda, murid Sekolah Guru dilarang
membaca koran itu. 

Oto pun dengan sembunyi-sembunyi membaca dan
menyembunyikannya di bawah bantal atau kasur. Dari
bacaan itu, jiwa Oto menjadi lebih matang. Ia mulai
tertarik pada masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan
perjuangan. 

Selain pandai bergaul, Oto juga suka berterus terang.
Sikap ini kadang membuat orang marah. Seperti yang
dilakukan suatu kali dengan mengenakan dasi kuning ke
sekolah. 

Ada guru Belanda yang tidak senang melihatnya. "Hai,
Oto, mengapa kamu memakai dasi? Bukankah saya sendiri
tidak memakai dasi?" 
Oto dengan tenang menjawab, "Tuan Guru tidak perlu
memakai dasi, sebab Tuan sudah tua." 
Tentu saja sang guru marah, "Kurang ajar kamu! Ayo
keluar!" 
Guru itu heran ada anak pribumi berani bicara seperti
itu kepada Tuan Belanda. 
Saat si anak keluar dari ruang kelas, ia mendengar
sang Guru bergumam, "Andaikata ia anak Belanda, ia
pasti disebut anak yang suka berterus terang."

Sejak itu Oto merenung dan berpikir, kalau ia anak
sinyo, ia akan disebut anak yang suka terus terang.
Namun, karena ia anak pribumi, ia pun disebut anak
kurang ajar. Si anak merasa disadarkan bahwa ia adalah
anak bangsa yang dijajah. Ia merasa ingin berontak.

Selulus Sekolah Guru, Oto memulai pengabdian menjadi
guru di HIS Banjarnegara. Profesi guru memang
cita-citanya sejak melanjutkan pendidikan ke
Kweek-school. Ia menjalankan tugas dengan penuh
dedikasi. Ia sadar, dengan pendidikan bangsanya dapat
menjadi bangsa berilmu dan mengerti tugas serta
tanggung jawab terhadap Tanah Air. 

Koran dibolongi

Suatu pagi di sebuah kelas HIS Kelas Tujuh di
Banjarnegara, terdengar suara guru yang berwibawa. Ia
menyuruh seorang murid perempuan untuk pindah duduk ke
belakang. Murid ayu bernama Rr. Soekirah itu tanpa
membantah mengikuti perintah itu. Namun, hatinya
bertanya-tanya, sudah kesekian kali gurunya memberi
perintah yang sama. Apa salahnya? 

Ternyata guru berbadan tinggi besar berkulit agak
gelap, tapi penuh wibawa itu menaksir si murid.
Lucunya, sang guru - yang tak lain adalah Oto Iskandar
di Nata - sering mencuri pandang memperhatikan wajah
muridnya dari balik surat kabar yang sengaja
dibolongi. 

Pada April 1923 di Bandung berlangsunglah pesta
pernikahan Oto yang sepuluh tahun lebih tua dengan
Soekirah, putri Asisten Wedana di Banjarnegara. Di
Bandung Oto mulai aktif dalam pergerakan politik. Ia
menjadi wakil ketua Boedi Oetomo Cabang Bandung. 
Pada Agustus 1924 keluarga muda Oto pindah ke
Pekalongan, Jawa Tengah. Tak hanya melaksanakan tugas
selaku guru pada HIS Negeri Pekalongan, Oto masih
aktif di Boedi Oetomo. 

Ketika menjadi anggota Dewan Kota Pekalongan, Oto
membongkar kasus Bendungan Kemuning. Rakyat pun
terselamatkan dari penipuan yang dilakukan pengusaha
Belanda. Keberaniannya itu membuat residen Pekalongan
marah. Akibatnya, Oto masuk dalam daftar hitam
orang-orang yang diancam hukum buang. Nyali Oto tak
ciut. Konflik dengan sang residen berakhir dengan
dipindahkannya sang residen. 
Nama Oto makin populer. Sepak terjangnya membuat
pemerintah Hindia Belanda khawatir. Maka ia dipindah
ke Batavia pada 1928. 

Pekik "Merdeka!"

Di Batavia Oto mengajar di HIS Muhammadiyah. Aktivitas
di bidang politik juga meningkat. Profesi wartawan pun
dilakoninya. Profesi guru akhirnya ia tinggalkan pada
akhir 1933. Namun, perhatiannya pada bidang pendidikan
tidaklah surut. 

Berikutnya, ia berkiprah di Pagoejoeban Pasoendan
Cabang Batavia sejak Juli 1928 dan langsung menduduki
posisi Sekretaris Pengurus Besar. Pada kongres di
Bandung, Desember 1928, ia terpilih sebagai Ketua
Pengurus Besar organisasi itu. 

Pada masa kepemimpinannya, Pagoejoeban Pasoendan
mengalami kemajuan pesat di bidang politik, sosial,
ekonomi, dan kewanitaan. Meskipun organisasi ini
berbasis masyarakat Sunda, jangkauan perjuangannya
bersifat nasional. Tidak salah kalau Pagoejoeban
Pasoendan dikategorikan pergerakan etnonasionalis.

Di bawah kendali Oto pula karya Pagoejoeban Pasoendan
di bidang pendidikan begitu nyata. Sekolah-sekolah
mulai didirikan oleh organisasi ini. Pada 1941, 51
unit sekolah yang tersebar di 36 daerah di Jawa Barat
berhasil didirikan. Uniknya, arsitektur gedung-gedung
sekolahnya diusahakan mengikuti gaya kebudayaan Sunda,
seperti bentuk atap julang ngapak.

Hasil perjuangan Oto dengan Pagoejoeban Pasoendan di
bidang pendidikan masih eksis hingga hari ini. Selain
puluhan sekolah dasar dan menengah, ada Universitas
Pasoendan, universitas terkemuka di Bandung. 

Di bidang sosial juga ada Sociaalfonds Pasoendan.
Tugasnya, membantu penduduk yang terkena musibah
kebakaran, banjir, atau kelaparan. Pendirian lembaga
sosial ini tak lepas dari pribadi Oto yang sering
memberi bantuan cuma-cuma pada siapa saja yang
membutuhkan. Bahkan, ada beberapa orang yang setiap
bulan datang mengambil jatah sembako gratis. Sikap
murah hatinya terkadang membuat Soekirah harus pandai
mengelola keuangan rumah tangga. 

Toh di tengah kesibukannya memimpin Pagoejoeban
Pasundan dan anggota Volksraad (Dewan Rakyat), ia
tetap memperhatikan putra-putrinya. Saat ada anaknya
berulang tahun, misalnya, Oto akan menjemputnya di
sekolah, lalu mengajaknya ke toko untuk membeli kado.

Selama 20 tahun berumah tangga, Oto dikaruniai 12
anak. Banyaknya anak, membuat keluarga Oto menempati
rumah yang lebih besar dengan banyak kamar. Namun,
rumah itu hanya memiliki satu kamar mandi. Kondisi ini
rupanya digunakan Oto untuk membangkitkan jiwa
kebangsaan anak-anaknya. Biasanya, pagi-pagi sebelum
mandi, anak-anak duduk di bangku besar dekat kamar
mandi. Mereka menunggu ayahnya hingga selesai mandi.
Ketika keluar kamar mandi, Oto akan berteriak,
"Indonesia Merdeka!" 
Anak-anak diajari menjawab dengan teriakan yang sama.
Bila mereka diam saja, Oto akan berteriak lagi. Semua
terjadi pada zaman Jepang, menjelang Proklamasi
Kemerdekaan. 

Diakui, Oto-lah orang pertama yang mempopulerkan pekik
"Indonesia Merdeka" yang kemudian disingkat menjadi
"Merdeka!" saja.

Kepada anak-anaknya Oto juga menanamkan rasa
pengabdian kepada keluarga maupun Tanah Air. Oto
selalu berpesan kepada anak-anak lelakinya untuk
mencintai tiga ibu. Yaitu ibu kandung, ibu
anak-anaknya (istri), dan ibu pertiwi. Ibu yang
pertama suatu saat harus rela ditinggalkan demi
kepentingan ibu kedua. Ibu kedua pun bilamana perlu
ditinggalkan demi kepentingan ibu ketiga. 

Pesan patriotis itu sungguh ia laksanakan. Pada zaman
Jepang, ketika anak sulungnya, Sentot, ingin
melanjutkan pendidikan ke Technische Hoge School (THS,
kini ITB), Oto memintanya menunda keinginan itu. Ia
meminta Sentot menjadi anggota PETA. Sentot pun tak
menolaknya.

Di Volksraad ia duduk sebagai wakil Pagoejoeban
Pasundan selama tiga periode, yakni 1931 - 1934, 1935
- 1938, dan 1939 - 1942. Ia tergabung dalam Fraksi
Nasional yang didirikan M.H. Thamrin, Ketua
Perkumpulan Kaum Betawi. 

Dalam sidang ia tidak segan-segan mengritik sangat
keras Pemerintah Hindia Belanda. Tentu saja kritik itu
membuat merah telinga Ketua Sidang. Ia pun ber usaha
menangkis kritik Oto. Terjadilah perdebatan seru. Oto
pun dengan tangkas pula menjawab semua tangkisan itu.

Keberanian Oto berbicara keras dalam sidang membuat ia
dijuluki Si Jalak Harupat. Julukan ini bermakna
seperti ayam jago yang keras dan tajam kalau
menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu
menang kalau diadu.

Menjadi mediator

Di masa-masa berikutnya, banyak peran penting dilakoni
Oto. Di antaranya, ikut serta dalam pembentukan PETA,
Panitia Kecil BPUPKI, dan anggota PPKI. Ketika
Indonesia baru saja meraih kemerdekaan, dalam sidang
pertama PPKI - Sabtu 19 Agustus 1945 - di Gedung
Chuo-Sangi-in, tanpa dinyana-nyana Oto secara spontan
mencalonkan Bung Karno sebagai presiden, dan Bung
Hatta sebagai wakil presiden. Usulan itu mendapat
sambutan baik. 

Berikutnya, Oto tergabung dalam Panitia Kecil yang
bertugas membuat rancangan tentang urusan rakyat,
pemerintahan daerah, kepolisian, dan tentara
kebangsaan. Amanat berat berikutnya harus ia pikul,
yakni sebagai Menteri Negara yang mengurus masalah
keamanan - masalah krusial di awal kemerdekaan.
Dalam rapat PPKI tanggal 20 Agustus 1945 diputuskan
tiga hal penting, di antaranya dibentuknya Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Sebagian besar pemuda, mantan
anggota PETA, KNIL, dan Heiho membentuk BKR di daerah
masing-masing. 

Namun, sebagian pemuda, yang pada zaman Jepang telah
membentuk kelompok-kelompok politik dan berperan besar
dalam mencetuskan proklamasi kemerdekaan, tidak puas
dengan BKR. Yang tidak bergabung dalam BKR akhirnya
membentuk badan-badan perjuangan, yang dikenal sebagai
laskar rakyat. 

Para pemuda, baik yang tergabung dalam BKR maupun
laskar rakyat, yang ingin menegakkan kedaulatan
berusaha merebut senjata dari Jepang dan merebut
gedung-gedung penting. Usaha itu ada yang gagal, ada
pula yang berhasil. 

Komandan pasukan Jepang di Bandung mendatangi Oto dan
membicarakan hal itu. Tindakan para pemuda menyulitkan
pihak Jepang, karena Jepang tidak diizinkan untuk
menyerahkan senjata ke pihak Indonesia. Mereka harus
menjaga status quo di Indonesia, hingga Sekutu datang.
Namun, usulan solusi komandan pasukan Jepang itu sulit
dilaksanakan. 

Malah kemudian, para pemuda meminta Oto untuk
menghubungi pihak Jepang, agar mau menyerahkan senjata
kepada para pemuda. Bersama Ir. Oekar dan Poeradireja,
Oto mendatangi Mayjen Mabuchi, mengutarakan keinginan
para pemuda. 

Diplomasi ini menghasilkan persetujuan, bahwa
penyerahan senjata akan dilakukan berangsur-angsur
kepada yang berwenang di pihak Republik. Itu
menunjukkan, para pejabat lebih mengutamakan diplomasi
daripada perjuangan bersenjata, sesuai dengan
kebijakan di pusat dan mematuhi yang sudah diputuskan
secara internasional. Itu sebabnya beberapa pemimpin
sering dicap sebagai "kolaborator" Jepang. 

Tidak ada bukti jelas bahwa pihak Jepang melaksanakan
persetujuan itu. Para pemuda yang tidak menyukai
diplomasi yang berjalan lambat menjadi tidak sabar
lagi. Perampasan senjata pun terus dilakukan.

Maka, terjadilah peristiwa tragis 10 Oktober 1945.
Jepang, yang berusaha menghentikan serangan massa,
tidak hanya mengatasi secara musyawarah tetapi juga
dengan menyerbu markas-markas BKR. Bencana itu membuat
para pemuda marah. 

Oto "hilang"

Seorang pejuang dan politisi sering tak lepas dari
ancaman yang membahayakan keselamatan jiwa. Itu pula
yang dialami Oto. Soekirah mencatat dalam sebuah buku
kecil, pada 26 Oktober, Bapa (maksudnya Oto) berangkat
ke Jakarta. Oto berangkat karena ada telepon ke rumah
yang mengharuskannya ke Jakarta. Keluarga Oto memang
tinggal di Bandung. 

Bila sedang di Jakarta, Oto terbiasa setiap pagi
menelepon istrinya di Bandung. Namun, kali itu Oto
tidak menelepon selama dua hari. Soekirah yang gelisah
lalu menelepon ke Jakarta untuk mencari informasi. 

Ny. Oto menuliskan, "31/10 ontvoerd rebo djam 11
siang" (diculik, Rabu pukul 11 siang). Ia tahu hal itu
dari Kiwan, pembantu keluarga yang menemani Oto
tinggal di Jakarta. 

Selanjutnya, Soekirah menulis, "5/11 nlepon ka Djk.
Nembe terang Bapa teu aja. nlangsa. Sedih."(artinya,
menelepon ke Jakarta, baru tahu bahwa Bapa tidak ada.
Nelangsa. Sedih.) Jelas, tanggal 5 November ia diberi
tahu seseorang bahwa suaminya tidak ada. Tidak jelas,
apakah suaminya "tidak ada" dalam arti meninggal atau
tidak ada di Jakarta.

Baru beberapa waktu kemudian ia menerima surat dari
Oto tertanggal 31 Oktober 1945. Isinya, Oto sedang
prihatin, men-dapat cobaan berupa fitnah. Dalam
fotokopi surat itu ada catatan dari Soekirah, yang
ditulis tangan dari atas ke bawah di bagian sisi
surat: "laatste brief van Bapa" (surat terakhir dari
Bapa). 

Hari-hari penuh kegalauan dirasakan Soekirah. Berita
dari suami tercinta tak kunjung datang, ditambah pula
ia sedang mengandung anak bungsunya. 

Di manakah Oto Iskandar di Nata? 

Akhirnya, datang juga kabar yang ditunggu. Berita
resmi diterima menjelang akhir Desember 1945. Isinya,
R. Oto Iskandar di Nata telah menjadi korban "Laskar
Hitam" di Pantai Mauk, Tangerang. Dalam berita resmi
disebutkan, Menteri Negara "Pertahanan" itu tewas
tanggal 20 Desember 1945. 

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat membangun sebuah
taman makam pahlawan untuk R. Oto Iskandar di Nata.
Taman Pasir Pahlawan yang terletak di Lembang memang
hanya menyimpan sejumput pasir dibungkus kain putih
yang diambil dari Pantai Mauk, Tangerang. Jenazah Oto
tidak pernah ditemukan. 
Shinta Teviningrum 


 


 
____________________________________________________________________________________
Bored stiff? Loosen up... 
Download and play hundreds of games for free on Yahoo! Games.
http://games.yahoo.com/games/front

Kirim email ke