Ari sugan teh kecap Cina nu asup kana basa Sunda teh ukur Tahu, Taoge
jeung tauco, tapi geuning leuwih loba deui. saur Prof. Fatimah Djajadurama
kecap "Ci" tadina tina kecap "Cui", kecap taneuh tina "to-nieh", kecap
seka (nyeka beungeut) tina kecap Cina "si-ka", mersihan beungeut jeung
suku lamun tas ngawuluku sawah. Wuluku? walah ieu oge kecap Cina "Wu" =
lima, "Lu"= Bajak, "ku" = jenis pare jrrd.

Nyanggakeun seratan Bu Fatimah Dajasudrama dina PR, Saptu 24 Februari 2007 :


Bahasa Sunda Kini

Oleh Fatimah Djajasudarma

Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu sudah tercatat di dalam World Languages
Report dari UNESCO ETXEA yang berpusat di Bilbao Basque Country,
dilaporkan melalui kuesioner dan pada tahun 2001 terbit ”Certificate”
kerja sama. Penelitian terhadap bahasa Sunda dapat dikatakan langgeng
karena kesadaran akan identitas dan ekosistem yang menuntut untuk sejalan,
seiring dalam kehidupan berbahasa (berbudaya) sesuai lingkungannya.

Pemerintah Belanda mengumumkan secara resmi bahasa Sunda yang dipakai di
sekitar Bandung menjadi bahasa standar (lulugu) pada tahun 1912. Bahasa
Sunda sebagai bahasa ibu memenuhi syarat untuk dijadikan bahasa standar
karena pertimbangan jumlah pemakai, bahasa pemerintah, bahasa yang
diajarkan di sekolah-sekolah, banyak buku yang ditulis dalam bahasa
tersebut, dan dipakai sebagai alat komunikasi yang dipahami masyarakat
Sunda pada umumnya (mutual intelligibility).

Sejak diresmikan pemerintah Belanda tahun 1912, penelitian terhadap bahasa
Sunda terus dilakukan, bahkan sampai dengan Kongres I Bahasa Sunda tahun
1952 yang diadakan di Bandung, disusul dengan berdirinya LBSS (Lembaga
Bahasa dan Sastra Sunda). Kekosongan penelitian terjadi beberapa tahun
sesudah perang yang mengakibatkan kelangkaan buku-buku berbahasa Sunda.
Tetapi kemudian timbul kesadaran bahwa bahasa dan budaya daerah perlu
dibina dan dikembangkan untuk mengisi semangat Bhineka Tunggal Ika, yang
pada akhirnya akan menghasilkan keanekaragaman ekosistem yang mempertinggi
stabilitas sistem itu sendiri.

Di atas semua itu, bahasa daerah yang dipelihara, dibina, dan dikembangkan
oleh masyarakatnya akan dilindungi negara. Oleh karena itu, ada politik
bahasa nasional yang mengatur fungsi bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah adalah identitas salah satu bangsa
Indonesia yang ada di Jawa Barat.

**

Istilah bahasa ibu, dari bahasa Inggris mother tongue, biasanya dianggap
sebagai bahasa pertama yang diperoleh di rumah, berhubungan erat dengan
dengan caretaker speech (CS) atau motherese, mother talk, atau baby talk.
CS merupakan ujaran sederhana yang digunakan oleh ibu, ayah, pramusiwi
(kecenderungan di Indonesia oleh pramuwisma) untuk mengajari anak-anak
pada saat pemerolehan bahasa (belajar bicara). Tidaklah aneh bila kita
mendapatkan kosakata yang digunakan tidak pada tempatnya, tetapi minimal
ada usaha untuk mengajarkan bahasa Sunda.

Bahasa Sunda yang digunakan sekarang ini bisa dikatakan bahasa kontemporer
karena berkecenderungan campur kode demi kepentingan pergaulan global.
Memahami hal tersebut, bahasa ibu Sunda yang memiliki etika berbahasa
(undak usuk) sejak abad ke-17 (Djajasudarma, 1986) sebagai pengaruh
Mataram, mengakibatkan anak-anak yang belajar bahasa Sunda enggan atau
takut salah berbahasa. Sekarang anak-anak yang mendapatkan CS dari
pramuwisma cenderung lebih tahu yang kasar daripada yang halus. Dalam
pemakaiannya, bila sulit untuk menentukan status kawan bicara, orang akan
lari ke bahasa Indonesia atau bahasa anak-anak.

Bagaimana dengan kehidupan global, dapatkah anak memiliki bahasa ibu
sebagai first language acqusition yang baik dan benar? Hal ini yang harus
dipikirkan bersama, mengingat bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa
budaya, dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa iptek yang dapat
diperkaya, baik oleh bahasa daerah maupun bahasa asing. Bayangkan saja
bila ada orang bersin, orang Sunda akan menjawab dengan hurip waras, atau
bahasa Inggris dengan bless you, bahasa Jerman dengan gesundheit, dan
bahasa Belanda gezondheid, sedangkan bahasa Indonesia tidak memiliki unsur
budaya tersebut.

Demikian juga dalam hal cara pandang atau cara berpikir yang berbeda dalam
memandang alam sehingga yang dipentingkan yang ada di alam dapat
dimanfaatkan sekejap. Cara berpikir yang berputar-putar yang tidak
dimiliki pergaulan global sangat sulit untuk digunakan di dalam pergaulan
sekarang, misalnya peribahasa yang sudah tidak berlaku sekarang.

Kontak bahasa yang terjadi akibat kontak budaya atau sebaliknya, tentulah
akan saling memengaruhi. Bahasa Sunda punya cara untuk menyikapinya
seperti tampak dalam istilah “Ngindung ka waktu ngabapa ka jaman". Hal
tersebut dianggap sebagai konsekuensi linguistik bagi masyarakat
bi(poli)lingual dalam pergaulan global. Pergaulan global cenderung
menuntut bahasa ibu Sunda kontemporer, sesuai dengan kepentingan
komunikasi global dan tanda bahasa yang dinamis.

Bahasa, layaknya manusia, mengalami siklus lahir, hidup (berkembang), dan
mati. Sesuai dengan hukum alam. Karenanya, hidup-matinya bahasa ibu
bergantung kepada masyarakatnya. Masyarakat Indonesia cenderung inovatif,
mudah menyesuaikan diri dengan pengaruhnya tadi, demi kedinamisan
pergaulan dalam mempertahankan ekosistemnya.

**

Bahasa ibu Sunda berkembang, bergeser, dan bertahan dengan berbagai cara.
Karenanya, di Sunda umpamanya, banyak ditemukan istilah atau kata yang
berasal dari bahasa Cina. Kata Cina berasal dari ci atau cai untuk nama
tempat di Sunda berasal dari (cui) yang berkaitan dengan filsafat Cina
"tanpa air, tak akan ada kehidupan".

Dinyatakan pula bahwa Kerajaan Tarumanagara berbahasa Kwunlun dari Cina
(kung) dan (lun) “perbincangan resmi”. Demikian pula kata ngawuluku
(membajak sawah) berasal dari wu (lima), lu (bajak), ku (jenis
padi-padian), dan kia (yang diteriakkan kepada kerbau pada saat membajak
sawah). Kata seka berasal dari si-ka mencuci muka dan kaki sesudah
membajak sawah. Mencuci muka di dalam bahasa Sunda menjadi sibeungeut dari
bahasa Cina si-bing-e. Demikian pula kata seperti pangkeng (kamar tidur)
berasal dari pang-keng, sosi (kunci) dari so-sih. Lalu taneuh (tanah) dari
to-nieh.

Demikian pula bahasa Indonesia menerima struktur pembentukan kata dari
bahasa Sunda. Sebutlah kata macet “keadaan seperti pacet (binatang yang
melekat diam)”, analog dengan bentukan maneuh “menetap (keadaan seperti
tanah-tetap)”. Demikian pula parapatan lima yang tidak bisa diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan “perempatan lima”, tetapi dengan
“perlimaan”. Padahal dalam bahasa Sunda, parapatan lima artinya jalan yang
"marapat" 'lurus' dengan lima cabang'. Ini merupakan salah satu sudut
pandang yang berbeda.

Di dalam bahasa ibu pun terjadi kosakata serapan dari bahasa asing melalui
bahasa Indonesia. Bahasa Ibu Sunda kontemporer digunakan sesuai dengan
ekosistem dalam pergaulan gobal. Pergaulan yang mengakibatkan campur kode
sebagai proses alih kode. Alih kode berfungsi, pertama, sebagai acuan
unsur yang tidak atau yang kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan.
Kedua, berfungsi direktif. Ketiga, berfungsi ekspresif (pembicara
menekankan identitas alih kode melalui dua bahasa dalam wacana yang sama).
Keempat, berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi, dan
berfungsi fatis. Kelima, berfungsi sebagai metabahasa (dengan pemahaman
alih kode untuk mengulas suatu bahasa, baik langsung maupun tidak
langsung. Keenam, berfungsi di dalam humor atau permainan yang sangat
berperan di dalam masyarakat bi(poli)lingual.

Alih kode berhubungan erat dengan interferensi (penyimpangan dari
kaidah-kaidah bahasa yang dikuasai multibahasawan). Keduanya dapat
terjadi, baik di dalam akulturasi bahasa maupun di dalam integrasi.
Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman, dipakai, dan
dianggap bukan unsur pinjaman. Integrasi memerlukan waktu yang lama.
Apakah bahasa Ibu Sunda dalam pergaulan global semakin mantap sebagai alat
berpikir dan bernalar masyarakat bahasa Sunda modern? Akankah terjadi cara
pandang modern terhadap alam, bagaimana masyarakat bahasa Sunda memandang
pergaulan zaman global, perhatikanlah semboyan Bermartabat, sebagai
perkembangan dari Berhiber. Perkembangan, pergeseran seiring dengan
kemajuan zaman dan kenyataan dianggap sebagai hukum alam yang berlaku
sehingga tidak dapat lagi dipertahankan dengan kosakata yang tumbuh dan
berkembang pada saat bahasa Sunda ini dinyatakan lahir sebagai bahasa
standar.

Pernyataan tekad untuk menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Sunda
sering kita dengar, lebih-lebih pada kemunculan perda. Pemakaian bahasa
Sunda yang diidam-idamkan selalu muncul, bahkan sampai ada yang menganggap
mati. Betulkah mati? Selama masih terdengar dan ada upaya untuk
melestarikan, mungkin tidak mati. Akan tetapi, kalau harus sama dengan
bahasa yang digunakan nenek moyang, seperti pada naskah-naskah, tidaklah
mungkin. Bukan mati, tetapi sesuai dengan kepentingan pergaulan zaman.
Masyarakat bahasa Sunda dinamis dan bergaul dengan yang lainnya sehingga
yang terjadi adalah percampuran itu tadi.

Banyak kosakata pinjaman masuk ke dalam bahasa Sunda sejak zaman
penjajahan sampai sekarang. Sebuah fakta yang dikemukakan terdahulu adalah
fakta bergaulnya bahasa Sunda dengan yang lainnya, pertanda dinamis, kalau
tidak maka akan "kurung batok". Memang bila peribahasa atau ungkapan itu
muncul sesuai dengan peristiwa dan budaya pada zamannya, dapat
diperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, untuk membina dan
mengembangkan bahasa Ibu Sunda.

Fakta dengan hukum alam yang berlaku adalah seperti pada bahasa
Sansekerta. Kita tidak tahu bagaimana penuturnya dan siapa yang
mengalahkannya. Apakah anak-anak sekarang memahami kecantikan dari
ekspresi cantik seperti Putri Mantili? Bagaimana wajah cantik itu dan di
manakah kerajaan Mantili itu? Mungkin diketahui pada zamannya saja. Kita
mendapat kata kula warga (keluarga yang berasal dari bahasa Sansekerta
yang kemudian dipinjam dan tak akan dikembalikan).***

Penulis, Guru Besar Fakultas Sastra bidang
Linguistik-Semantik-Dialektologi. Kepala UPT Kebahasaan dan Kesenian
Unpad, Bandung.

Kirim email ke