Spiritualitas Sunda di Situs Sindangbarang

Oleh ROSIDA EROWATI
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/092007/04/0902.htm

IRINGAN kecapi mengalun di tengah malam, mendampingi alunan pantun yang
dinyanyikan oleh Abah Ucup di atas panggung. Malam itu, saya merasakan
suasana yang berbeda, yang sangat khas. Mengamati budaya bagaikan
menangkap sonoritas alam.

Berada di situs budaya Sindangbarang, Taman Sari, Kabupaten Bogor,
memberikan pengalaman berharga bagi saya tentang negosiasi budaya lokal
terhadap kehidupan metropolitan yang sehari-hari saya hadapi di Jakarta.
Sebagai pendatang di tatar Sunda, merasakan suasana yang khas seperti ini
membuat saya berpikir tentang bagaimana proses terbentuknya memori
kolektif Sunda melalui budaya.

Keberjarakan saya terhadap budaya Sunda saat ini memberikan ruang berpikir
cukup luas untuk mempertanyakan banyak hal, salah satunya adalah
pembentukan memori dan sejarah. Sindangbarang yang berada di sisi timur
laut Gunung Salak merupakan sebuah situs budaya yang berupaya
merevitalisasi tradisi Sunda di Bogor. Berbagai bukti arkeologis di
Sindangbarang yang telah dilaporkan dalam penelitian pendahuluan tim FIB
UI yang dipimpin Dr. Agus Aris Munandar sejak tahun lalu menguatkan dugaan
Sindangbarang sebagai tempat pemujaan kuno (Situs Sindangbarang Bukti
Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda: Laporan Hasil Penelitian
Awal oleh Agus Arismunandar, 2007).

Memori masyarakat setempat dan juga berbagai sumber sejarah Sunda Kuna
dari naskah-naskah lama dan pantun mengungkapkan juga bahwa Sindangbarang
adalah tanah suci keagamaan (Aris Munandar, 2006). Hingga hari ini kita
bisa menemukan beragam tempat peribadatan baik dari masa yang lebih kini
seperti klenteng, gereja, dan masjid maupun dari zaman kuno berupa punden
berundak, menhir, bale kambang, batu temu gelang, dan batu kursi di daerah
timur laut kaki Gunung Salak tersebut.

Dengan ditemukannya berbagai situs dan artefak tersebut, upaya
revitalisasi budaya Sunda Bogor di Sindangbarang tampaknya tidak salah
pilih. Upaya yang dilakukan oleh Bapak A. Mikami Sumawijaya sebagai salah
satu tokoh masyarakat Sindangbarang sekaligus pengasuh Padepokan Giri
Sunda Pura tersebut, merupakan salah satu cara untuk mempertahankan dan
melestarikan nilai-nilai tradisi Sunda. Melalui penyelenggaraan upacara
adat Sunda untuk menyambut panen raya (Seren taun) dan pembangunan kampung
budaya Sunda di Sindangbarang, upaya-upaya tersebut semoga akan segera
menampakkan hasil nyata.

Fenomena revitalisasi tradisi tersebut menarik untuk diamati. Wacana
tradisi semakin tergerus oleh zaman modern abad ke-20 yang positivistik
dan didominasi oleh kekuatan mesin, teknologi, dan modal. Munculnya wacana
globalisasi sebagai raksasa hasil rekayasa modernisme semakin meminggirkan
wacana tradisi ke tempat terpencil dan tak perlu didengarkan hingga tak
terdengar lagi.

Represi terhadap wacana tradisi ini ternyata justru menjadi
kontraproduktif bagi beberapa tokoh masyarakat yang telah memijakkan kedua
kakinya pada tradisi sekaligus modernisasi. Di tanah Jawa sendiri, paling
tidak kita mengenal Sultan Hamengkubuwono IX sebagai sosok modern yang
dengan rigid memegang tradisi Kraton Yogyakarta yang juga kental diliputi
mistik (Budi Susanto J, Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial,
2000: 25-26). Sementara di Sindangbarang, tokoh Mikami Sumawijaya mungkin
bisa dimasukkan dalam kategori tersebut.

Pada akhirnya, ketegangan antara wacana tradisi dan modernisme bagi tokoh
Mikami Sumawijaya menghasilkan ruang wacana baru, yaitu keberantaraan
tradisi dan modern yang kemudian terus-menerus digeluti dengan cara
mewujudkan kampung budaya yang mengetengahkan nilai-nilai tradisi dan
dikelola secara modern dengan memanfaatkan sarana-sarana dunia modern.
Pemaknaan terhadap tradisi menjadi sesuatu yang bersifat negosiatif dimana
tradisi menjadi teks terbuka yang perlu dan bisa diinterpretasi dan pada
akhirnya bisa diciptakan kembali. Upaya untuk menemukan kembali,
menginterpretasi, dan menciptakan kembali tradisi itulah yang menjadi ruh
dari revitalisasi situs budaya Sindangbarang.

Tradisi dan globalisasi

Penciptaan kembali tradisi dengan berbagai tujuan dan landasannya,
merupakan sebuah aktivitas yang tidak bisa dikatakan bebas nilai. Konteks
ruang dan waktu selalu memengaruhi penciptaan tradisi tersebut. Konteks
globalisasi saat ini mau tidak mau pasti turut memengaruhi proses
penciptaan tradisi tersebut. Globalisasi tampil dalam representasi
kegiatan pariwisata. Pembentukan Kampung Budaya Sindangbarang tidak
terlepas dari konteks bahwa kampung tersebut merupakan aset pariwisata
yang akan mampu menyedot perhatian wisatawan (Sarasehan Budayawan Sunda
Bogor di Sindangbarang, Juni 2007).

Hingga hari ini, pariwisata merupakan salah satu aspek budaya penting yang
mendatangkan devisa bagi negara. Apakah kampung budaya ini akan mampu
bersaing dengan lokasi-lokasi tujuan wisata lain di Bogor, Jawa Barat, dan
Indonesia? Kemampuan berkompetisi dengan situs-situs pariwisata lain
tersebut pada akhirnya harus membuat pengelola mengatur strategi untuk
memasarkan dan membangun imaji kampung budaya tersebut kepada publik.

Tempat wacana tradisi dalam konteks dunia global ini cukup unik. Di tengah
situasi dunia yang semakin runtuh batas-batasnya, wacana tradisi justru
dapat menjadi alternatif bagi begitu banyak manusia kosmopolit yang
berupaya mencari nilai menjadi manusia. Sepanjang abad ke-20 telah terjadi
begitu banyak tragedi kemanusiaan yang membuat banyak manusia
mempertanyakan kembali apa nilai menjadi manusia (Naisbitt dan Aburdene,
2000). Banyak orang mencari pegangan ke dua bidang: agama atau ilmu,
religi atau sains.

Dalam bidang agama, manusia abad ke-21 kini semakin tertarik pada
pentingnya spiritualitas sebagai inti dari kemanusiaan. Gerakan kembali ke
spiritualitas ini juga menjadi bagian dari religiositas masyarakat urban
(Seminar Religiositas Masyarakat Kota di FIB UI, Mei 2005). Dalam konteks
global, gerakan seperti ini dimulai di tahun 70-an di Eropa, disebut
sebagai gerakan perennialisme, yang semakin diminati oleh banyak kaum muda
urban (Sukidi, 2001).

Saya melihat disinilah nilai penting Sindangbarang. Sejak lama,
Sindangbarang telah dikenal sebagai tanah suci keagamaan. Berbagai tempat
peribadatan dan pemeluk agama dapat kita temukan di sana dan menjadi
bagian dari keseharian masyarakat. Sindangbarang dapat dikatakan sebagai
situs budaya yang merepresentasikan ruang spiritualitas tersebut. Sebagai
tanah suci keagamaan, ia merupakan situs budaya yang bisa jadi bernilai
penting dan signifikan dalam semangat perennial.

Potensi Sindangbarang sebagai salah satu bagian ziarah spiritual perlu
lebih disosialisasikan. Usulan Munawar Holil, peneliti filologi Sunda dari
FIB UI, dalam Sarasehan Budayawan Sunda Bogor untuk menginventarisasi
berbagai bentuk tradisi lisan di daerah tersebut perlu ditindaklanjuti
dalam rangka mendokumentasikan pemahaman-pemahaman spiritualitas dalam
tradisi Sunda.

Gerakan kembali ke spiritualitas yang termaktub disini tentunya
menimbulkan kecurigaan dari kelompok gerakan keagamaan yang cenderung
legalistis-formal, yang mengutamakan berbagai ketentuan peribadatan secara
rigid dan pemurnian gerakan keagamaan. Ketegangan seperti ini tidak
terhindarkan karena kedua gerakan tersebut tampaknya berada pada dua kutub
yang berbeda. Kekhawatiran pada fenomena agama tradisi yang cenderung
animis cukup beralasan jika dilihat melalui sudut pandang keagamaan yang
legalistis-formal tersebut.

Gerakan global untuk kembali ke spiritualitas hadir dengan cara
meruntuhkan batas-batas formal agama, yang secara apik dipopulerkan oleh
Sukidi (2001) dengan istilah wisata spiritual lintas agama. Dalam konteks
gerakan global keagamaan, penciptaan kembali tradisi Sunda berikut
berbagai perangkat sistem kemasyarakatan dan religinya bisa menjadi sumber
kekayaan pengetahuan spiritual bagi para wisatawan spiritualis untuk
menemukan pengalaman baru dalam bertuhan.

Pada dasarnya, kekhawatiran atas lunturnya semangat beragama justru tidak
beralasan dan berbagai prasangka terhadap proses penciptaan kembali
tradisi Sunda tersebut perlu ditempatkan pada proporsinya. Tradisi
spiritualis yang tidak fanatik pada satu kecenderungan keberagamaan
tertentu merupakan tipikal cara beragama masa depan yang lebih
mengutamakan kebijakan dan kebajikan dibanding rigiditas legalisme agama
(Hidayat dan Nafis, 2003).

Dalam hemat saya, situs Sindangbarang perlu disosialisasikan secara
strategis sebagai situs wisata spiritual. Ini bukan berarti
mengkomersialisasikan spiritualitas Sunda Kuna di Sindangbarang, tetapi
suatu bentuk perwujudan aktivisme manusia untuk menjadi subjek yang
menciptakan visi harmoni budaya. Hal ini penting dilakukan oleh
pihak-pihak yang peduli bukan untuk alasan komersil tetapi ini upaya untuk
menemukan sendiri nilai-nilai manusia dalam tradisi yang telah
menghidupinya, yang seharusnya menjadi bagian dari jati dirinya.

Sebagai penutup, menciptakan tradisi diperlukan untuk membangun konsep
diri individu maupun masyarakat yang menghidupi dan dihidupi oleh tradisi.
Dalam konteks Sindangbarang, orang-orang yang hidup di dalamnya maupun
yang akan menjadi bagian darinya, keduanya perlu menciptakan tradisi itu
untuk membangun identitas individu dan kebangsaan yang membuat orang-orang
yang berada di dalamnya tumbuh besar dan mengakar di tengah dunia yang
mengglobal.

Jika kemampuan menangkap sonoritas budaya yang saya sebutkan sebelumnya
dikaitkan dengan pembentukan jati diri, maka semua upaya saya memahami
konteks penciptaan kampung budaya Sindangbarang ini sesungguhnya merupakan
bagian dari proses pembentukan jati diri tersebut sebagai sosok individu
bagian dari generasi muda urban yang mencoba menelusuri dan
bereksperimentasi dengan budaya Sunda yang telah lama hidup dalam
masyarakat Indonesia.***

Penulis, pemerhati dan peminat film dan budaya lokal yang juga bergiat di
Paguyuban Guar Sunda Simpay di FIB Universitas Indonesia (UI), Depok.

Reply via email to