Hatur lumayan, kanggo ngabuburit... Hanjakal kuring mah can kungsi manggih
bukuna... (disalin ti
http://faizmanshur.wordpress.com/2007/02/02/dari-sunda-korban-g-30-s-itu-bicara/
)

Dari Sunda, Korban G-30-S itu
Bicara<http://faizmanshur.wordpress.com/2007/02/02/dari-sunda-korban-g-30-s-itu-bicara/>


  [image: 
cov_tragedi_65.jpg]<http://faizmanshur.files.wordpress.com/2007/04/cov_tragedi_65.jpg>
**

*Judul Buku: Tragedi 1965; dari Pulau Buru sampai Ke Mekah*
Penulis: H Suparman
Kata pengantar; Asvi Warman Adam & Acep Zamzam Noor
Editor: Mathori A-Elwa & Agus Salim
Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung (Anggota IKAPI)
Cetakan: edisi Pertama Oktober 2006
Tebal: 343 Halaman

 * Ada banyak** buku sejarah yang mengisahkan tragedi Gerakan 30 September
(G-30 S). Kebanyakan buku itu berkisah tentang korban di Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali. Sekalipun tragedi G-30-S tersebut berlangsung dalam waktu
yang sama, namun masing-masing wilayah memiliki ciri khas (latar belakang)
konflik yang berbeda-beda,-baik secara ekonomi, politik, sosial maupun
agama. Sedikit banyak kita sudah membaca kisah G-30-S dari ketiga wilayah
itu. Tapi, apakah Anda sudah membaca panjang lebar kisah korban G-30-S di
Jawa Barat?*

Jika belum, atau baru sedikit informasi yang Anda ketahui, maka buku karya
H. Suparman ini akan melengkapi khazanah kita tentang sejarah G-30-S dari
Jawa Barat pada umumnya, Bandung pada khususnya. Sekalipun buku ini termasuk
otobiografi, namun goresan pena sang penulis tidak terjebak pada
subyektivisme. Berbekal ilmu jurnalistik dan wawasan ilmu sosial dan ilmu
agama yang memadai, Suparman mampu mengutarakan secara obyektif
persoalan-persoalan kehidupannya berhubungan dengan dunia sosial dan
politik. Acep Zamzam Noor dalam Kata Pengantarnya mengatakan, "buku ini
seperti sebuah novel. Memoar yang ditulisnya dengan puitis mengandung bobot
sastra".

Kutipan agak panjang di bawah ini akan mengantarkan kita untuk memahami
latar belakang Suparman menulis buku ini, termasuk memberikan pemahaman
kepada kita tentang kenyataan tragis politik Indonesia di masa silam;

"*Kalau mau dikatakan dosa, barangkali bagi saya, dosa itu hanyalah karena
saya menjadi pimpinan umum dari sebuah surat kabar di Bandung, (Warta
Bandung-pen) yang selalu mendukung politik Bung Karno. Lucunya, pada
Peristiwa G-30 S itu, satu-satunya koran di Indonesia yang mem-back-out
berita Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Letnan Kolonel Untung Samsuri itu,
adalah koran yang saya pimpin. Tapi anehnya lagi, saya dan kawan-kawan yang
justru menjadi korban penangkapan dan kebiadaban militerisme Soeharto. Saya
bersama rekan-rekan redaksi lainnya ditangkap, dijebloskan ke penjara dan
akhirnya, saya sebagai pimpinan umum dan Sdr. H Rusman Saleh sebagai
pimpinan redaksi dibuang ke Pulau buru tanpa proses peradilan.*" (Hlm 26-27)
Sejak 20 Oktober 1965, Suparman yang juga adalah Sekretaris Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat itu resmi menjadi tahanan politik Kodam
III Siliwangi. Selama 13 tahun ia dipenjara, mendekam di Rumah Tahanan Kebon
Waru selama 5 tahun, kemudian dikirim ke Pulau Buru selama 8 tahun -dengan
transit di Nusa Kambangan selama 3 bulan.

* *

*Penjara dan perpecahan keluarga*

Cerita tentang tahanan politik korban G 30 S beserta derita korban, termasuk
perilaku sadis militer sudah banyak kita ketahui dari berbagai penjara di
berbagai wilayah Indonesia. Anehnya, LP Kebon Waru Bandung yang memiliki
banyak keunikan ini nyaris tidak banyak dipublikasikan dalam bentuk buku.
Bahkan media massa pun terkesan enggan mengangkatkan sebagai sumber berita.
Menurut Suparman, tempat pemeriksaan dan penyiksaan yang paling sadis memang
bukan di Kamp Kebon Waru, tapi dari kamp-kamp ilegal yang tidak diketahui
secara umum, antara lain di ruang bawah tanah Gedung Merdeka yang terletak
di Jl Asia-Afrika. Teman-teman Suparman yang mengalami penyiksaan kejam
militer itu menceritakan, sejak tragedi G-30-S 1965, Gedung Bersejarah itu
digunakan oleh Angkatan Darat Kodam Siliwangi untuk menyiksa para tahanan;
menyetrum tubuh, mencabuti kuku, merusak organ tubuh dengan benda-benda
keras. Setelah tahanan dalam kondisi fisik dan mental yang tidak normal,
selanjutnya mereka dibawa ke Kamp Kebon Waru.

Kamp Kebon Waru menurut Suparman sangat unik, bahkan tidak tertandingi oleh
kamp-kamp pengasingan lain yang ada di Indonesia. Keunikannya, bukan hanya
terletak pada tidak diberikannya makanan para tahanan, atau pada kebebasan
yang relatif lebih longgar, atau juga bukan karena tiap hari Minggu dan hari
libur menjadi pasar kerajinan, tetapi juga digunakan untuk "melepas rindu"
suami-istri yang sudah lama berpisah.

Ada beberapa kamar yang bisa disewakan, yang dikelola para tahanan tertentu.
Praktek ini bisa berjalan tentu berkat kerjasama petugas keamanan, dengan
penjaga, bahkan mungkin dan tentu saja atas restu komandan kamp. Tidak heran
kalau kemudian Kamp Kebon Waru sering dijuluki sebagai "surga" tahanan.(hlm
60). Di Kamp Kebon Waru, ihwal perceraian sangat menarik untuk diceritakan,
sebab agak berbeda dibanding kisah perceraian dari penjara lain,-setidaknya
itu yang saya bandingkan dengan kisah para tahanan di Penjara Cipinang,
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang, LP Kalisolok Surabaya,-yang ditulis
sahabat saya Drs Wilson (*Lihat; Dunia Dibalik Jeruji Penjara; kesaksian
perlawanan; Wilson; Resist Book 2005*)

"Hampir setiap hari-bezuk ada saja keluarga istri-istri yang membawa lebai
(penghulu) untuk meminta cerai kepada suaminya. Mungkin karena pelbagai
faktor, terutama karena faktor ekonomi dan biologis"(hlm 81). Kebetulan
Suparman juga bagian dari kisah tragis perceraian ini. Ia harus bercerai
akibat istrinya selingkuh seorang tentara berpangkat letnan dua. Lebih unik
lagi jika kisah perceraian itu dihubungkan dengan dunia luar (sumber
penyebab) terjadinya perceraian. Menurut Suparman, (hlm 88), di desa-desa,
komandan dan atau anak buah Babinsa dan Koramil-yang mata keranjang-
merupakan "hantu-hantu" yang mengerikan, karena selalu bergentayangan di
siang bolong mencari mangsa istri-istri tapol. Para istri ini menjadi mudah
dijadikan bulan-bulanan militer dengan cara diintimidasi karena suaminya
menyandang status pemberontak negara."Biasanya anggota Koramil "menjarah"
istri tapol itu kemudian mencampakkannya kembali. Akibatnya banyak
"janda-janda korban Koramil" yang namanya di desa menjadi semakin terpuruk,
karena di samping menerima tuduhan telah "mengkhianati" suaminya, juga telah
menjadi "sampah" Koramil atau Babinsa. "Di kalangan tapol muncul pameo yang
mengatakan, jika seorang tapol yang istrinya minta cerai, disebut sebagai
"disambar Hansip" atau "disambar Koramil" (hlm 88).

 *Dari sunda ke pulau buru*

Lima tahun menjadi tahanan Kamp Kebon Waru, Suparman beserta tapol lainnya
dibuang ke Pulau Buru,-dengan transit di Pulau Nusakambangan selama 3 bulan.
Pulau buru adalah *goulaq*, tempat pembuangan sekaligus penyiksaan. Menurut
Dr Asvi Warman Adam (hlm 4), lebih dari 10.000 orang yang dikategorikan
sebagai tapol Peristiwa G-30-S golongan B diangkut dari tempat-tempat
penahanan di Pulau Jawa tahun 1969, mereka tidak tahu akan dibawa kemana.
Setelah sekitar 10 tahun disiksa dan disuruh kerjapaksa, antara 1978-1979
mereka dipulangkan ke Pulau Jawa karena tekanan internasional terutama
pemberian utang Indonesia. Tapi, kepulangan ini bukan berarti bahwa
persoalan mereka telah selesai. Keretakan, bahkan pecahnya keluarga,
stigmatisasi buruk di masyarakat dan kesulitan mencari nafkah adalah problem
utama para tapol.

Melalui buku ini Suparman mampu menuturkan panjang lebar kisah pembuangannya
di Pulau Buru serta kisah kehidupannya setelah dikembalikan ke Pulau Jawa.
Suparman tidak hanya cerdas merangkai penderitaannya sebagai protes politik,
melainkan juga cerdas menyajikan visi kehidupan seorang Muslim dalam
menyikapi persoalan hidup. Dari sekian banyak penderitaan yang ia alami,
sekian banyak pula kejadian-kejadian di luar logika yang pernah ia alami,
termasuk nasib baiknya setelah pulang dari Pulau Buru, perkawinannya yang
kedua, serta nasib baik dalam pekerjaannya. Kalau setelah membaca buku ini
Dr Asvi Warman teringat pada sosok Haji Misbach, ulama berideologi komunis
di zaman pergerakan, saya justru justru teringat pada seorang ilmuan
psikoterapi, korban politik Nazi di Jerman, Prof Dr Viktor Frankl yang
menulis buku *Man's Search for Meaning*.

Baik Frankl maupun Suparman, yang sama-sama pernah mengalami hidup dalam
situasi paling buruk; disiksa, dihina dan terasing, tapi mereka tidak
frustasi, apalagi mencoba bunuh diri. Derita hidupnya mereka sikapi secara
positif dan menjadikan semuanya sebagai makna hidup. Suparman, Komunis,
G-30-S, Orde Baru, Islam, Marxisme-Leninisme, Sunda, kawin, cerai, selingkuh
telah diaduk sedemikian cakap menjadi 'adonan kue siap saji'. Buku ini
adalah sajian sejarah yang penting untuk dibaca siapapun yang ingin mengenal
masa lalu secara obyektif. *FAIZ MANSHUR* (*naskah ini pernah dimuat di Majalah
Gatra Pebruari 2006*)
-- 
sikandar
kumincir.blogspot.com

Kirim email ke