teu disundakeun yeuh .. meunang ti babaturan

GALAMEDIA
15/09/2007 Pertarungan Antara Etnis Tionghoa dan Tokoh Sumedang


MASJID Agung Sumedang yang berdiri megah di pusat Pemerintahan Kabupaten
Sumedang, kian menawan setelah direstorasi. Keberadaan Masjid Agung ini
sudah barang tentu selain menjadi kebanggaan masyarakat, sekaligus mendapat
penobatan sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan.

Di atas tanah seluas 6.755 m2, wakaf dari Rd. Dewi Aisah, Masjid Agung
Sumedang dibangun sejak 1850. Untuk melestarikan aset budaya yang tidak
ternilai harganya itu, Pemkab Sumedang memprakarsai untuk melakukan
restorasi pada bangunan tersebut. Tidak tanggung-tangung, demi
mempertahankan keaslian arsitektur masjid ini, restorasi yang dilaksanakan
pada 2002, menghabiskan anggaran senilai Rp 4,2 miliar.

Restorasi itu meliputi perbaikan lantai, atap, dan ornamen. Penataan
halaman, pemagaran, pemugaran tempat wudu. Untuk menambah kesan megah,
masjid yang merupakan perpaduan arsitektur etnis Tionghoa dan Islam itu,
kini di bagian selatan bangunan didirikan menara setinggi 35,5 meter.

Sedangkan untuk memberikan rasa nyaman bagi mayarakat yang datang ke sana,
halaman parkir diperluas dengan merelokasi bangunan Kantor Departemen Agama,
Pengadilan Agama, dan Gedung Dakwah Islam yang mengapit masjid tersebut.

Mahkota raja

Setelah proses restorasi tuntas, perpaduan arsitektur etnis Tionghoa dengan
Islama kian kentara pada atap masjid bersusun tiga mirip bangunan pagoda,
kelenteng atau vihara. Pada bagian puncak bertengger sebuah benda yang
disebut mustaka. Benda tersebut bentuknya menyerupai mahkota raja-raja di
masa lalu. Puluhan tiang beton berbentuk pilar-pilar terpancang kokoh
menyangga bangunan tersebut, sekaligus menjadi pernak-pernik keindahan dan
kekhasan arsitekturnya.

Sementara itu pada bagian atas kusen pintu dan jendela, penuh dengan ukiran
kayu yang konon menorehkan citra ukiran model Cina. Demikian pula pada
bagian mimbar, terdapat sebuah properti yang penuh dengan ukiran bergaya
Cina.

Dari hasil penulusuran yang berhasil dihimpun, ihwal terciptanya perpaduan
arsitektur etnis Tioanghoa dengan Islam itu, bermula dari cerita yang
berkembang di masyarakat. Cerita itu berawal pada saat Masjid Agung akan
didirikan, yang secara kebetulan berbarengan dengan masuknya sejumlah
imigran dari daratan Tionghoa ke Sumedang.

Konon saat itu terdapat sekelompok etnis Tionghoa yang datang ke Sumedang
dan bergaya hidup nomaden. Etnis tersebut dikenal sebagai bangsa yang
memiliki keterampilan berniaga dan bertani. Selebihnya mereka juga mahir
dalam menguasai bela diri yang disebut kun taw serta piawai dalam membangun
rumah ibadat dan mengukir ornamennya.

Jajal bela diri

Seiring dengan waktu yang terus berjalan, sekelompok etnis Tionghoa itu
terus berkeinginan menunjukkan eksistensinya dengan mencoba menjajal ilmu
bela diri mereka dengan penduduk di sekitar Kota Sumedang.

Untuk memuaskan hasrat bertarungnya, dipertemukanlah mereka dengan sejumlah
tokoh Sumedang, yang juga memiliki ilmu bela diri. Apalagi di daerah Kaum,
konon dikenal ada tempat khusus yang disebut kalangan atau arena bertanding
atau berlatih bela diri. Sebab itu, pantang bagi tokoh Sumedang untuk
mengabaikan tantangan mereka. Setelah kedua belah pihak menyatakan
kesiapannya, terjadilah pertarungan sengit yang menguras tenaga dan
menghabiskan waktu cukup lama.

Begitu hebatnya kedigjayaan tokoh Sumedang, akhirnya ilmu bela diri yang
diperagakan etnis Tionghoa itu, tidak berdaya meladeninya. Mereka pun lantas
mengaku kalah dan segera menyudahi pertarungan tersebut.

Sebagai tanda menyerah, mereka bersedia mengabdikan diri kepada para tokoh
Sumedang. Dengan kebesaran hati para tokoh Sumedang, lantas memperbantukan
mereka dalam pembangunan masjid yang ketika itu digagas oleh Pangeran Soegih
atau Pangeran Soeria Koesoemah Adinata 1836-1882.

Demi rasa kemanusiaan, Pangeran Soegih selanjutnya memberi tempat permukiman
mereka di sebelah utara pusat Pemerintahan Kabupaten Sumedang. Hingga kini,
tempat itu dikenal dengan sebutan Gunung Cina. (ade hadeli/"GM"/berbagai
sumber










=======================================
Just because we smart don't think the other one is stupid
Boku wa Isuramu jin da yo
=======================================

Kirim email ke