Waktos mudik ka Bandung, di Bandung Super Mall, sim kuring mendakan buku "Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasunda 1913 - 1918" karya suwargina bapa Edi S. Ekajati taun 2004. Salasawios babna (nyaeta Bab II) ngaguar budaya Sunda anu kasilih ku budaya sanes. Kieu tah unggelna seratan anjeunna teh:
BAB II JATI KASILIH KU JUNTI Runtuhnya Kerajaan Sunda yang bercorak kehinduan menjelang akhir abad ke-16 Masehi (1579) secara berangsur-angsur berdampak melenyapkan identitas Sunda sebagai sebuah ideologi9 dalam segala unsur kehidupan masyarakat Sunda. Ideologi Sunda yang terbentuk selama sekitar 9 abad pada zaman Kerajaan Sunda (awal abad ke-8 sampai menjelang akhir abad ke-16) yang berwujud aksara, bahasa, etika, adatistiadat (hukum), lembaga kemasyarakatan, kepercayaan, dan lain-lain lambat-laun tergerus dan terpinggirkan dengan masuknya ideologi baru yang datang dari luar. Mula-mula (sejak akhir abad ke-15) kebudayaan Islam datang dari arah pesisir utara (Cirebon, Banten), kemudian (sejak awal abad ke-17) kekuasaan dan kebudayaan Jawa (Mataram) menembus dari arah pedalaman timur, dan akhirnya (sejak pertengahan abad ke-17) kekuatan perdagangan, militer, dan diplomasi Kompeni (Belanda) menguasai seluruh wilayah Tanah Sunda. Ada fenomena yang menarik mengenai masuknya pengaruh Islam dan pengaruh kebudayaan Jawa di Tanah Sunda. Kedua pengaruh budaya luar tersebut masuknya ke Tanah Sunda secara beriringan, bahkan ada saatnya secara bergandengan. Mula-mula masuk pengaruh Islam, kemudian masuk pengaruh budaya Jawa, tetapi selanjutnya keduanya bersamaan. Sepanjang pengaruh yang masuk itu agama Islam dan orangorang Islam, penguasa dan masyarakat Sunda menerima dengan tangan terbuka, termasuk jika ada orang Sunda yang masuk Islam. Demikianlah, misalnya, tatkala ada kerabat raja Sunda memeluk agama Islam, ia diterima baik di lingkungan keraton Sunda dan diperkenankan menetap di wilayah Kerajaan Sunda.10Begitu pula tidak menjadi masalah salah seorang raja Sunda menikah dengan seorang wanita muslim dan sebagian putera mereka memeluk agama Islam dan dibesarkan di lingkungan keraton Kerajaan Sunda.11Akan tetapi, jika masalah keagamaan itu ditunggangi kepentingan kekuasaan (politik), maka terjadilah konflik, seperti yang terjadi di Rajagaluh (1525), Banten (1526), Kalapa (1527), dan Pakuan Pajajaran (1579), karena hal itu menyangkut keamanan dan keselamatan negara.12yang dianut oleh masyarakat Sunda. Konsep Batara Tunggal, misalnya, sejalan dengan konsep keimanan dalam Islam Allahu Ahad (Allah Maha Esa). Etika yang termaktub dalam Sanghiyang Siksa13 pada prinsipnya cocok dan sejalan dengan konsep ihsan di dalam Islam, yakni tentang ucap, sikap, dan perilaku manusia yang baik secara individual dan kelompok sosial. Proses Islamisasi selanjutnya datang dari bawah dan berlang sung secara demokratis dengan menggunakan pendekatan yang berdampak memajukan kesejahteraan masyarakat Sunda. Akhirnya agama Islam diterima oleh masyarakat Sunda secara keseluruhan dan kemudian menjiwai dan mewarnai kebudayaan Sunda selanjutnya, kecuali sekelompok kecil masyarakat Kanekes (Baduy) di pedalaman Banten.14 Sebagian penduduk kota pelabuhan Cimanuk (Indramayu sekarang), sebagaimana disaksikan oleh Tome Pires, orang Portugis, pada tahun 1513 telah memeluk agama Islam dan mereka merupakan kaum pendatang dari sebelah timur (orang Jawa), sedangkan sebagian lagi dan kepala daerahnya yang adalah penduduk pribumi menganut agama lama (Cortesao, 1944: 173). Dalam proses Islamisasi itu terjadi saling mendekati secara kultural dan ekonomis antara penguasa dan rakyat Sunda dengan pemimpin dan penyebar agama Islam. Sunan Gunung Jati sebagai penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Tanah Sunda mengakui diri secara genealogis masih keturunan raja Sunda. Ternyata ajaran agama dan etika yang datang dari Islam umumnya cocok dan sejalan dengan sistim kepercayaan dan etika. Adapun masuknya kebudayaan Jawa ke dalam wilayah dan masyarakat Sunda terjadi pada dua periode dengan melalui dua arah dan dua cara. Yang pertama melalui kegiatan perdagangan, pertanian, dan migrasi di daerah pesisir utara yang bersamaan dengan proses Islamisasi pada akhir abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-16. Proses ini berlangsung secara alamiah dan damai. Kebudayaan Jawa pesisir yang berasal dari periode ini hidup terus hingga sekarang dengan catatan secara bertahap dan periodik terjadi penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan kondisi dan tradisi lokal.1sKebudayaan Jawa ini datangnya dari lapisan atas dan masuk ke dalam lingkungan atas (menak) pula di Tanah Sunda. Karena budaya Jawa ini menguntungkan kaum menak Sunda dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kedudukan dan status mereka, maka budaya ini terus dipelihara dan diserap di lingkungan pendopo kabupaten serta digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintahan. Sementara itu, Kompeni yang menggantikan kedudukan Mataram di Tanah Sunda membiarkan pengaruh kebudayaan Jawa tersebut hidup terus di Tanah Sunda, karena bermanfaat bagi eksploitasi daerah ini. Yang kedua adalah kebudayaan Jawa pedalaman yang bersifat feodal yang dibawa oleh prajurit dan priyayi Mataram melalui ekspedisi militer serta hegemoni kekuasaan dan kebudayaan sejak perempatan kedua abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19. Dalam hal-hal tertentu kebudayaan luar itu begitu kuat sehingga aksara Sunda, misalnya, terpental ke daerah pegunungan yang terpencil (Kabuyutan Gunung Larang Srimanganti di lereng Gunung Cikuray, Garut Selatan) dan akhirnya (abad ke-18) mati (Atja, 1970). Peranan aksara Sunda itu digantikan oleh aksara Cacarakan yang dipinjam dari aksara Jawa (aksara Carakan), aksara Pegon yang dipinjam dari aksara Arab, dan aksara Latin yang dipinjam dari budaya Eropa. Kedudukan dan fungsi bahasa Sunda terdesak hingga hanya menjadi bahasa percakapan sehari-hari di kalangan rakyat biasa, sedangkan fungsi dalam administrasi pemerintahan, bahasa tulisan, dan pengajaran agama digantikan oleh bahasa Jawa (Holle, 1864: 495; Kern, 1898. 8; Ardiwinata, 5, 1914: 6-7). Selain itu, masuk pula sistim unggah-ungguh basa (tingkatan bahasa) dalam bahasa Jawa keraton ke dalam bahasa Sunda pendopo kabupaten (undak-usuk basa) lengkap dengan lengkap dengan tata kramanya yang penyebarannya diperluas melalui sekolah-sekolah sistim Barat sehingga memperkuat sistim feodalisme dalam masyarakat Sunda. Dalam jumlah yang tidak terlalu banyak migrasi penduduk pun terjadi juga dalam rangka memperkenalkan sistim sawah bagi kegiatan pertanian daerah pedalaman Tanah Sunda, misalnya, penduduk dari daerah Indramayu, Cirebon, dan Tegal (Jawa Tengah) didatangkan ke bagian dataran Bandung yang berawa-rawa untuk membuka sawah pada abad ke-19.16 Pada masa Tanah Sunda secara bertahap di bawah kekuasaan Kompeni dan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1677-1942) dapat dikatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat Sunda tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri secara bebas dan leluasa dalam semua bidang kehidupan mereka, karena perhatian, waktu, dan tenaga mereka dikerahkan sepenuhnya untuk mengabdi kepada penguasa asing itu. Rakyat harus bekerja sepanjang hari di kebun lada, kopi, indigo; kemudian tebu, teh, karet, kina, dan lainlain serta mengantarkan hasilnya sampai ke gudanggudang di pelabuhan (sungai, laut); kemudian memprosesnya di pabrik-pabrik sehingga menjadi barang ekspor (Moh. Ali dkk., 1972; Nugraha, 2001), di samping harus mengabdi kepada pejabat pribumi (bupati dan lain-lain yang tergolong menak) baik dengan tenaga maupun harta (Herlina Lubis, 1998). Kaum elitnya dikerahkan sebagai mandor untuk mengawasi pekerjaan rakyat mereka, bahkan selanjutnya dijadikan pegawai kolonial. Keprihatinan hidup masyarakat Sunda pada pertengahan pertama abad ke-19 digambarkan secara dramatis dan simbolis oleh Multatuli dalam karya sastranya yang termasyhur berjudul Max Havelaar. Sistim kerja sepanjang hari memang sejalan dengan sistim pertanian lahan kering (ladang, huma) yang biasa digarap oleh masyarakat Sunda sejak masa lampau. Itulah kiranya yang menjadi salah satu sebab penduduk wilayah pedalaman Tanah Sunda, terutama wilayah Priangan, hampir tak pernah melakukan pemberontakan fisik terhadap pemerintah kolonial, berbeda dengan penduduk wilayah pesisir Banten dan Cirebon yang cenderung bercorak budaya sawah dan sering melancarkan perlawanan terhadap penguasa kolonial itu.17 Salam, Asep __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com