Beda Anjing dan Gogog BERBEDA dengan saat berangkat mudik Lebaran, penampilan Kang Kabayan sangat kumuh ketika pulang. "Barangbang semplak" yang bak mahkota di kepalanya sudah nyengled tak berbentuk. Baju koko putihnya sudah berubah warna menjadi "putih tua" alias putih kekuningan. Celana kampretnya pun sudah tak "matching" lagi dengan sabuknya. Kekumuhan Kang Kabayan tampak semakin jelas bila kita melihat wajahnya. Kening berkerut, pipi mengilat oleh keringat, dua ujung bibirnya tertarik ke bawah, pokoknya kelihatan sangat susah.
Pemandangan serupa tidak jauh berbeda bila kita melihat penampilan Ceu Iteung. Sanggulnya miring ke kiri, bedak di pipinya pudar dan belang-belang karena keringat, bibirnya pun memble. "Assalamualaikum... Kang? Damang? Bagaimana kabar dulur-dulur di lembur? Kok Akang kelihatannya nggak sebahagia waktu berangkat?" tanya saya ketika bertamu ke rumahnya untuk silaturahmi. "Waalaikumsalam... cageur Jang... cageur.... Hampura Akang ya Jang," jawab Kang Kabayan. "Ngomong-ngomong, gimana Lebaran di sini Jang?" tanya Kang Kabayan. "Ah... di sini biasa aja Kang. Habis salat sunat Idulfitri, salaman, makan, terus silaturahmi ke baraya... ada juga yang silaturahmi ke baraya di derenten... hehehe," jawab saya sekenanya. "Ha ha ha... ilaing mah Jang, aya-aya bae. Ka derenten mah bukan silaturahmi atuh... piknik eta mah. Emangnya kamu, punya baraya di derenten... hehehe," kata Kang Kabayan. Mukanya mulai sumringah lagi walaupun rona kelelahan belum hilang dari wajahnya. "Alhamdulillah... senang juga melihat Akang sudah bisa ketawa lagi," kata saya. "Naha? Emangnya Akang kenapa tadi?" tanya Kang Kabayan. "Wah..., kalau ada cermin mah tadi, saya bisa tunjukkan gimana wajah Akang. Tadi mah wajah Akang sama Euceu teh kayak bueuk keur mabok. Sekarang mah lumayan Kang. Sudah rada sumringah," jawab saya. "Nya, si eta mah! Baru juga minta maaf sudah ngejek lagi. Ma enya Akang dan Euceu kamu disebut jiga bueuk keut mabok," kata Kang Kabayan. "Iyah, bari na ge, emang kamu tahu gimana bueuk yang sedang mabok?" timpal Ceu Iteung. "Ah duka teuing atuh Ceu... nggak tahu! Boro-boro bueuk yang mabok, bueuk yang seger aja udah nggak pernah lihat kalau nggak ke derenten alias kebun binatang mah. Tapi kan, Akang bisa ngebayangin bueuk atawa burung hantu yang mabok? Kagak mabok aja bueuk mah cuma bisa kucap-kiceup, kedap-kedip. Apalagi kalau lagi mabok. Bener nggak Kang?" kata saya. "Teuing atuh! Da Akang mah bukan baraya bueuk. Silakan saja tanya sama barayanya," kata Kang Kabayan sambil nyerengeh dan menoleh kepada Ceu Iteung. "Haaahhh...," teriak Ceu Iteung sambil melemparkan selendangnya. "Hahaha... begitu dong.... Senang deh kalau melihat Akang dan Euceu sudah bisa becanda lagi. Terus... gimana kabar mudiknya Kang?" tanya saya mencoba mengubah topik pembicaraan. "Itulah Jang..., ternyata cape pisan mudik teh. Pangpangna mah karena macet di jalan. Kirain teh bakal nggak macet karena orang yang mudik sedikit. Ternyata... kenaikan harga BBM nggak banyak berpengaruh. Orang-orang kita masih kaya Jang," kata Kang Kabayan. "Masih kaya bagaimana Kang? Lihat tuh data dari LSM anu, dari BPS, dari koran dan majalah, semuanya mengatakan bahwa rakyat miskin di kita tambah banyak. Malahan yang antre dana kompensasi BBM pun begitu panjang," kata saya. "Percaya tidak percaya Jang, jalan-jalan keluar kota pada macet total. Artinya, mereka tidak peduli BBM naik. Mereka juga tidak peduli ongkos naik. Pokoknya mah bisa mudik dan bertemu baraya dan dulur di lembur. Sok, sebutan apa lagi yang cocok buat mereka kalau bukan kaya, beunghar. Mereka sudah tidak peduli lagi keluar uang berapa. Rugi waktu berapa," kata Kang Kabayan. "Bener juga Kang. Pangpangna mah rugi waktu banyak ya Kang? Pantesan atlet-atlet pelatnas tidak boleh mudik. Kebayang kalau mudik Kang, mereka bakal telat datang ke pelatnas lagi. Program latihan tersendat. Negara rugi lagi deh. Anggaran banyak keluar, program latihan tersendat dan prestasi yang diharapkan tidak tercapai," kata saya lagi. "Bener pisan eta teh Jang. Tapi ketang, buat Akang mah ada hikmahnya Akang ikut mudik dan bermacet-macet ria. Akang jadi tahu apa bedanya gogog sama anjing," tutur Kang Kabayan. "Eh naha ari si Akang? Pan gogog sama anjing mah sama? Terus kapan Akang dapet pengetahuan itu? Kok Iteung nggak tahu?" tanya Ceu Iteung yang baru mulai terdengar suaranya sejak tadi. "Euh.. da ilaing mah kagak perhatian sama lingkungan. Nah, keur macet tadi, ternyata banyak anjing Teung! Suara mereka tidak menggonggong seperti gogog. Suara mereka teh kayak begini, 'Ngantri anjiiingg!' lalu dijawab lagi sama anjing yang dimaksud. Begini bunyinya, 'Naon anjing!'. Jadi, Akang baru tahu ternyata banyak anjing ikut mudik. Pantesan macet," jelas Kang Kabayan. "Terus kalau suara gogog bagaimana?" tanya saya penasaran. "Tanya saja sama anak balita, mereka pasti tahu," jawab Kang Kabayan singkat.(Tendy K. Somantri/"PR")*** http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/09/gelora/balik_bandung.htm