Ass. Baraya, salah sahiji hasil reformasi nyaeta Otda. Tah dina raraga eta, kuring tutulisan dina media. Dimuat di Harian Jurnal Nasional. Tah ieu tulisana. Mudah2an aya mangfaat kanggo sarerea.
Baktos tantan http://www.jurnalnasional.com/? med=Arsip&sec=Opini&rbrk=&id=24591&datetime=2007-11-29 Opini Evaluasi Kritis Otonomi Daerah Jakarta | Kamis, 29 Nov 2007 Tantan Hermansah AGAKNYA, permintaan yang diajukan oleh Presiden dalam pidato di hadapan Dewan Perwakilan Daerah pada tanggal 23 Agustus 2007 lalu tidak membuat anggota Dewan berpikir untuk mengkaji lebih cermat mengenai fenomena pemekaran daerah. Bahkan seperti mau berseberangan dengan pandangan Presiden, anggota dewan justru semakin agresif menandatangani pemekaran daerah ini. Pemekaran memang dilindungi konstitusi. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk memecah diri (bahasan konstitusinya "memekarkan diri") dengan syarat-syarat tertentu. Sayangnya rujukan konstitusi ini memiliki beberapa kelemahan mendasar yang menyebabkan antara lain: Pertama, kelemahan substansi pemekaran. UU No. 32 Tahun 2007 hanya menyebutkan bahwa syarat pemekaran pada Pasal 5 ayat (1) adalah "memenuhi syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan". Yang dimaksud dengan syarat administratif di sini model persetujuan hirarki kekuasaan administrasi yang minus power. Sebab pemerintah Pusat hanya menjadi pemberi rekomendasi-bukan persetujuan penuh-atas kehendak pemekaran, yang sebelumnya harus mendapat persetujuan dari legislatif setempat dan pihak eksekutifnya. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (5) menjelaskan bahwa syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 7 (tujuh) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Syarat administratif dan fisik meski tetap penting, namun tidak menjamin bahwa ia merupakan faktor utama yang menjadi penyebab daerah diijinkan memecah/ membuat daerah baru. Artinya, meski UU itu telah menggariskan syarat minimal, tetapi faktor-faktor lain harus menjadi bahan pertimbangan. Faktor-faktor lain tersebut misalnya pertumbuhan ekonomi dan pelayanan hak dasar rakyat seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Melengkapi persyaratan teknis dan administrasi adalah masyarakat politik. Sebuah daerah bisa dipenuhi keinginannya untuk memekarkan diri jika entitas politik-sebagai cermin kehidupan demokrasi yang berkualitas-ada dan cukup menjadi warna kehidupan sosial-budaya rakyatnya. Hal ini misalnya bisa dilihat, sistem distribusi partai politik, organisasi massa, kelompok-kelompok pergerakan, dan lain- lain, yang substansinya adalah menegaskan bahwa kehendak di atas bukan dan tidak ditunggangi oleh sekelompok orang saja. Memang dalam peraturan lama, yakni PP No 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah ditetapkan bahwa ada indikator-indikator tertentu yang bisa menjadi alasan mengapa satu daerah bisa digabung atau dihapuskan. Namun tampaknya sejauh ini yang diperhatikan dalam proses pembentukan daerah baru hanya jumlah wilayah administrasi wilayah sesuai hirarki birokrasinya. Kedua, pemberlakuan Undang-undang ini tidak dibarengi dengan aturan pengikutnya secara bersamaan. Sebagai contoh, kerancuan mengenai pembagian keuangan antara pusat dan daerah semestinya segera diatasi sejak UU ini dijalankan. Sedangkan yang terjadi sebaliknya. Pemerintah baru merespon hal ini tiga tahun kemudian dengan terbitnya PP No 38 Tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dampaknya di lapangan adalah banyaknya daerah yang memanfaatkan periode ini untuk mengkapitalisasi sumberdaya (alam, politik, sosial- ekonomi) untuk kepentingan merekanya sendiri. Selain itu, dampak lain dari persepsi itu adalah maraknya keinginan untuk memecah diri menjadi daerah baru padahal daerah tersebut masih belum layak. Ketiga, lambatnya aturan mengenai pedoman evaluasi, institusi yang berwenang melakukan evaluasi tersebut telah menyebabkan terjadinya ledakan pemekaran. Misalnya jika sebuah daerah ingin memecah menjadi kabupaten baru, maka syaratnya adalah adanya beberapa kecamatan. Begitu juga dengan provinsi baru akan disahkan jika memiliki beberapa kabupaten atau kota. Namun tidak ada penjelasan yang menegaskan kecukupan usia sebuah daerah untuk mekar dan mekar lagi. Menyelamatkan Otda Melanjutkan Reformasi Bercermin dari fakta-fakta di atas maka salah satu agenda pemerintahan yang harus dilakukan adalah segera melakukan reevaluasi atas mpemekaran daerah. Jika hal ini tidak segera dilakukan maka negara akan tidak lama lagi akan mendapatkan ledakan masalah sehubungan dengan kenyataan ini. Sedemikian pentingnya masalah ini segera diantisipasi, hal ini didasarkan beberapa masalah berikut: Pertama, banyak daerah baru yang kesejahteraan rakyatnya semakin menurun pasca pemekaran. Kedua, konflik horizontal. Konflik ini dipicu oleh banyak faktor, selain kesejahteraan yang telah disinggung di atas, juga perebutan kekuasaan elit lokal. Ketiga, kelemahan institusional. Keempat, pembengkakan beban anggaran. Merujuk kepada UU No 32, sejatinya pemerintah sudah rampung dalam membuat pedoman evaluasi daerah-daerah baru tersebut dari dulu. Sebab jika semakin terlambat tidak mustahil kita tidak akan pernah mengetahui arah pembangunan daerah ke depan, sebab setiap daerah (baru) akan berkilah baru membuat renstra dan baru akan menyelaraskannya dengan kabupaten-kabupaten (baru). Jika demikian, kapan kesejahteraan rakyat itu tiba? Penulis adalah Peneliti The Brighten Institute, Dosen Perencanaan Kebijakan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta