Duit  teu wawuheun  jeung ideologi (oge agama, meureun), ceuk Saeed al 
Muntafiq, pupuhu Young Arab Leaders. Jadi keur narik investasi urang Arab nu 
baleunghar, teu cukup kulanataran saideologi(saagama), tapi nu paling 
penting duit nu diinvestkeun balik deui jeung jumlahna jadi ngaleuwihan 
alias nguntungkeun. Prinsip universal kaum nu boga duit, teu kudu 
disalahkeun. Tah kumaha narik milyader urang Arab supaya daek mawa duitna ka 
nagara urang? Nyanggakeun artikelna ti Majalah Gatra:

Menarik Minat Milyarder Arab

G.A. Guritno
[Internasional, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 13 Desember 2007]


Negeri petrodolar. Begitulah julukan yang dialamatkan ke negara-negara di 
Timur Tengah. Siapa pun tidak menyangkal, setelah ledakan harga minyak pada 
1970-an, mereka kelimpahan duit berlipat ganda. Sebagian kekayaan itu untuk 
membangun negeri sehingga rakyatnya makin sejahtera. Sebagian lagi rupanya 
diinvestasikan ke negeri-negeri Barat. Nilainya trilyunan dolar, yang 
terserak di sektor properti, keuangan, dan infrastruktur.

Untuk urusan investasi, uang tidaklah mengenal ideologi. Bila aman dan 
menguntungkan, pastilah dana mengalir ke sana. Itulah yang diungkapkan Saeed 
al-Muntafiq, Ketua Young Arab Leaders, dalam pertemuan 250 tokoh muda 
negara-negara Arab dan Asia di Singapura, beberapa waktu lalu. Tujuan 
pertemuan itu, untuk membangun dialog Arab dan Asia, dengan fokus utama 
peningkatan kerja sama ekonomi, pengembangan media, dan pemikiran 
kepemimpinan.

Saeed menyatakan, kesesuaian sebagian kultur masyarakat tidak bisa menjadi 
patokan kuat dalam menjalin kerja sama ekonomi. Dalam masyarakat yang makin 
pluralistik, dasar kerja sama ekonomi lebih pada kepentingan kuat yang 
saling menguntungkan dalam kerja sama bisnis.

Daerah tujuan investasi yang diincar para pemodal tidak lagi negara yang 
memiliki potensi ekonomi, melainkan tawaran keuntungan yang besar. Karena 
itu, gelombang investasi pengusaha asal Timur Tengah, seperti diberitakan 
BBC, bergerak mengikuti hukum tersebut. Ketika pasar finansial di Amerika 
Serikat dan Eropa melemah, para pengusaha Arab mulai memikirkan untuk 
berinvetasi di kawasan sendiri, misalnya di Dubai, Uni Emirat Arab, dan 
Doha, Qatar.

Sentimen buruk itu makin muram akibat pengawasan ketat otoritas dan pelaku 
pasar keuangan Amerika dan Eropa terhadap kemungkinan investasi yang terkait 
dengan aksi terorisme. Jumlah investasi yang ditarik dari Barat itu 
disebut-sebut mencapai US$ 1,4 trilyun. Uang sebesar itu masih di genggaman 
dan siap ditebar ke lahan investasi baru yang menjanjikan dan lebih nyaman. 
Setidaknya bebas dari berbagai prasangka terorisme.

Salah satu bidang yang diminati adalah pasar finansial Asia yang menawarkan 
berbagai bentuk portofolio. Gairah investor Timur Tengah itu makin kuat, 
karena prospek pasar Asia terus tumbuh dan berkesinambungan. Kini investor 
Arab berkeinginan menempatkan portofolio untuk Asia hingga mencapai US$ 250 
milyar atau sekitar 30% dari total investasi mereka dalam kurun lima tahun 
ke depan. Angka ini cukup besar, karena pada saat ini investasi portofolio 
negara-negara Timur Tengah yang lari Asia baru sekitar 10% dari total 
investasinya di seluruh dunia.

Yang diminati investor Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, dan Uni Emirat Arab 
adalah bidang-bidang yang tumbuh pesat, seperti perbankan, telekomunikasi, 
dan properti. Kerja sama ini akan memperkuat hubungan ekonomi energi antara 
Asia dan Arab. Selama ini, hubungan ekonomi kedua kawasan diikat erat dengan 
ekonomi energi. Kini Asia mengonsumsi 30% dari total konsumsi minyak bumi 
dunia atau setara dengan 23 juta barel per hari.

Melihat besarnya minat investor Timur Tengah, sedari awal pemerintah dan 
pengusaha Indonesia tidak tinggal diam. Pada pekan terakhir April 2006, 
misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan lawatan delapan hari 
ke Timur Tengah. Negara yang disambangi presiden antara lain Arab Saudi, 
Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Selain melakukan pembicaraan dengan 
pemimpin negara-negara Arab, presiden juga menggelar forum dialog dengan 
para pengusaha Timur Tengah.

Tujuan utama presiden apa lagi kalau bukan menangkap investasi Timur Tengah. 
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia membutuhkan investasi 
langsung di sektor riil. Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk menekan angka 
pengangguran. Karena itulah, presiden mempromosikan beragam kebijakan 
kemudahan investasi untuk ditawarkan kepada investor Arab.

Satu setengah tahun kemudian, aksi presiden itu diteruskan dengan manuver 
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) melalui forum investor internasional 
(Islamic Investor Forum) pada Indonesia Sharia Expo 2007, 24-28 Oktober 
2007, di Jakarta Convention Center. Perhelatan itu dipakai sebagai sarana 
untuk menarik investasi Timur Tengah datang ke Indonesia. Menurut Sekretaris 
Jenderal MES, Muhammad Syakir Sula, kali ini sejumlah investor kelas kakap 
asal Timur Tengah menjadi incaran utama.

Kehadiran investor kelas kakap diharapkan dapat memicu investor lain mau 
menanamkan duit di Indonesia. Pertengahan September tahun lalu, MES juga 
menyelenggarakan forum investor internasional secara langsung di sejumlah 
negara Arab. Kegiatan yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla ini merupakan 
tindak lanjut kunjungan presiden empat bulan sebelumnya.

Beberapa forum pertemuan yang dipimpin Jusuf Kalla dengan sejumlah pengusaha 
lokal dilakukan di Dubai, Abu Dhabi, Qatar, dan Jeddah. Isi forum investor 
pada pertengahan September 2006 itu adalah menjajaki investasi syariah di 
Indonesia serta pertemuan bisnis antar-investor dan berbagai perusahaan di 
Indonesia.

Kini di Tanah Air, agar perhelatan tersebut membuahkan hasil nyata, forum 
investor internasional menargetkan, 10 hingga 20 proyek investasi dapat 
ditawarkan kepada investor Timur Tengah. Beberapa BUMN dan perusahaan swasta 
di sektor minyak dan gas, perkebunan, transportasi, dan telekomunikasi 
dipersilakan membuka tawaran proyek kepada para investor. Berdasarkan 
pengalaman tahun lalu, beberapa proyek bisa gol.

Dalam forum investor internasional pertama ke luar negeri tahun lalu, 
terjadi kerja sama antara PT Krakatau Steel dan Al-Tuwairqi, perusahaan baja 
nomor dua di Timur Tengah asal Arab Saudi. Proyek itu senilai US$ 326 juta. 
Selain proyek di sektor-sektor riil yang langsung bisa membuka lapangan 
kerja, salah satu investasi yang ditawarkan adalah portofolio berbasiskan 
syariah. Apalagi, sistem ekonomi syariah di Indonesia tengah tumbuh pesat.

Potensi ekonomi syariah ini perlu digarap dengan sungguh-sungguh. Para 
pengusaha harus memperhatikan kualitas produk, efisiensi, keamanan, dan 
hasil yang dapat dinikmati investor. Satu hal yang masih tertinggal adalah 
kemampuan dari dalam negeri ketika menyerap dana investasi Timur Tengah. 
Kemampuan ini menyangkut keberadaan sumber daya manusia di bidang ekonomi 
syariah yang tidak mencukupi dan perangkat hukum yang belum mampu memayungi 
produk-produk ekonomi syariah. Misalnya obligasi syariah atau sukuk (surat 
utang syariah).

Tak bisa dimungkiri, minat investor Timur Tengah pada produk-produk keuangan 
atau institutional finance lebih besar ketimbang pada jenis investasi 
lainnya. Kebanyakan investor Arab datang ke negara tujuan investasi tanpa 
membawa proposal pendirian perusahaan. Mereka lebih berminat membeli surat 
berharga. Demikian juga dalam membangun bank-bank syariah di India dan 
Pakistan, banyak yang memilih menguasinya dengan cara membeli 50% lebih 
saham di bank tersebut.

Dalam melakukan investasi di obligasi dan saham, seperti diberitakan 
Bloomberg, kebanyakan investor Timur Tengah memanfaatkan jasa penasihat 
keuangan andal. Sejumlah lembaga keuangan itu sekaligus berfungsi sebagai 
pengelola. Beberapa lembaga keuangan tingkat dunia itu antara lain JP 
Morgan, Goldman Sachs, dan Citigroup. Merekalah yang menyarankan, di sektor 
dan perusahaan mana saja investasi harus dilabuhkan agar membuahkan 
keuntungan berlipat.

Model investasi itu kurang digarap oleh badan usaha atau pengusaha Tanah Air 
untuk menarik investor Timur Tengah. Indonesia masih kalah jika dibandingkan 
dengan Malaysia. Sampai tahun 2005, misalnya, dana yang dapat diserap oleh 
Malaysia dalam bentuk produk keuangan lebih dari US$ 4 milyar.

Untuk investasi langsung dari Timur Tengah, beberapa yang sudah dijajaki 
hingga November lalu adalah investasi properti di Jakarta dan beberapa 
investasi di kawasan wisata, misalnya wisata bahari di Pulau Lombok. 
Perusahaan itu berasal Qatar dan Uni Emirat Arab.

Melihat besarnya dana investasi dari Timur Tengah, sudah saatnya pengusaha 
dan badan usaha di Indonesia menangkap peluang kerja sama dengan para 
milyarder Arab.

G.A. Guritno
[Internasional, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 13 Desember 2007] 

Reply via email to