Sami abdi reueus ka nu nyiptakun setiola jeung diksafon, hanjakal teu aya 
gambarna, milari di google ge teu mendak.
Saleresna angklung tiasa dimaenkeun ku nyalira nya jantena kolintang tea. Saset 
angklung digantungkeun teras dipaenkeun kunyalira. Upami hoyong langkung sae 
nya tiasa 2 - 3 set atanapi langkung kanggo maenkun melodi sareng kord na. Ngan 
kanggo di panggung mah kolintang kurang atraktip, janten balik deui we ka 
angklung tradisional. Kolintang langkung ditarima di masarakat, ngadamelna 
langkung gampil, ngan saha nu nyiptakeun kolintang duka tah, manawi aya nu 
terang, cing alungkeun impona.
Mangga contona tongton ieu angklung tradisional, ngan kumargi pemaina kirang 
nya ditambihan ku saset kolintang. Pemain kolintang nyumput teu katingali, 
kedahna masangkeun kolintangnya nyangigir, kapaksa kumargi panggungna alit 
teuing.
 
  http://hk.youtube.com/watch?v=cjE9YHNP5VA 
  http://hk.youtube.com/watch?v=kJTB6_awL2Q   
  http://hk.youtube.com/watch?v=-2KUz2IB8K4
  http://hk.youtube.com/watch?v=1GbnkkPIf9c
   
Wasalam,
Kang Trias 

  

Oman Abdurahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             Reueus 
ku Pa Daeng kana kamotekaranana. Tetela, keur motekar mah saha 
 wae tiasa, asal keyeng. Cacakan guru sakola biasa oge teu weleh 
 pareng ari keyeng mah.
 
 Parantos dipatenkeun kitu eta karya Pa Daeng Sutigna alm teh? Tiasa 
 kitu matenkeun hak cipta ti anu tos ngantunkeun? Manawi aya anu 
 uninga infona soal paten, diantos,
 
 manAR
 
 --- In urangsunda@yahoogroups.com, mh <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
 >
 > Angklung Daeng Sutigna, Setiola, dan Diksafoon
 > 
 > Seabad lampau, tepatnya 13 Mei 1908, Daeng Sutigna lahir di Ciamis. 
 Sekitar
 > 30 tahun kemudian namanya terkenal karena gagasannya yang orisinal 
 yakni
 > mengubah angklung tradisional yang pentatonik menjadi diatonik. 
 Waditra
 > angklung yang pada masa itu identik dengan pengamen, telah dia 
 angkat
 > harkatnya menjadi alat musik yang diterima di dunia.
 > 
 > Dari Kabupaten Kuningan tempat Daeng bekerja sebagai guru, suara 
 angklungnya
 > yang membawakan lagu-lagu nasional maupun Barat dari pop sampai 
 klasik,
 > mulai menggema hingga ke corong radio NIROM (Nederlandsch Indische 
 Radio
 > Omroep Maatschappij) dan VORL (Vereeniging voor Oostersche Radio 
 Luisteraar)
 > Bandung. Dalam buku biografinya Mengangkat Derajat Angklung yang 
 ditulis
 > Endang Tatang Sumarsomo bersama Erna Garnasih (putri kedua Pak 
 Daeng)
 > dikatakan bahwa pada tahun 1940 Pak Daeng bersama rombongannya 
 sempat tampil
 > di Schouwburg Pasar Baru Batavia, sebuah gedung kesenian bergengsi 
 pada masa
 > itu. Sejak itulah nama "Angklung Pak Daeng" tersebar ke seluruh 
 dunia dan
 > Daeng Sutigna segera beroleh julukan "Bapak Angklung".
 > 
 > Di samping angklung Pak Daeng, di tahun 1950-an telah muncul pula 
 dua orang
 > yang punya gagasan untuk memodernkan musik angklung, yakni Bapak 
 Aspawi dan
 > Max Emil Diks. Aspawi Setiamiharja, demikian nama lengkapnya, 
 sebenarnya
 > bukan pemusik. Dia hanya seorang guru kerajinan tangan yang sama-
 sama
 > mengajar dengan Pak Daeng di sekolah yang sama. Sejak tahun 1937 
 kedua orang
 > ini punya hubungan akrab dalam hal musik angklung modern. Kalau Pak 
 Daeng
 > menggarap bidang musiknya maka Aspawi mengerjakan soal yang 
 berhubungan
 > dengan teknisnya.
 > 
 > Pada masa itulah timbul gagasan Aspawi untuk memodernkan angklung. 
 Boleh
 > jadi dengan pertimbangan bahwa angklung Pak Daeng dalam memainkannya
 > melibatkan banyak orang maka Aspawi di saat itu mulai berpikir lebih
 > praktis. Dirancanglah sebuah alat musik mirip piano yang di dalamnya
 > terdapat seperangkat waditra angklung. Seperti halnya piano, alat 
 musik ini
 > pun hanya memerlukan seorang pemain.
 > 
 > Pada tahun 1957, alat ini berhasil dirampungkan dan diberi nama 
 Noklung
 > (piano-angklung). Pak Daeng, dengan penuh perhatian, menyambut 
 hasil karya
 > sahabatnya ini, bahkan dia mengusulkan agar nama Noklung diubah 
 menjadi
 > Setiola, yang nama penciptanya dilibatkan. Hanya dalam waktu 
 beberapa bulan,
 > Aspawi telah menghasilkan dua buah Setiola yang masing-masing 
 bernada
 > pentatonik dan diatonik. Kemudian bagaimana cara membuat Setiola 
 telah dia
 > ajarkan pula di sekolah tempat dia mengajar.
 > 
 > Sementara itu, di Bandung, dalam waktu yang sama seorang WNI 
 keturunan
 > Belanda, Max Emil Diks juga telah merancang sebuah alat musik piano
 > angklung. Berbeda dengan Pak Aspawi, profesi Diks adalah ahli 
 mereparasi
 > barang-barang elektronik dan berbakat musik. Dia bisa memainkan 
 beberapa
 > waditra musik. Pada masa itu dia adalah pemimpin dari sebuah band 
 remaja
 > "The Hot Jumpers".
 > 
 > Seperti halnya Aspawi, gagasan Diks untuk memianokan angklung juga
 > berlandaskan alasan yang sama. Konon pada suatu malam, Diks yang 
 rumahnya
 > tak jauh dari tempat tinggal Pak Daeng, sedang duduk di ruang depan 
 sambil
 > menikmati suara angklung Pak Daeng ketika melatih anak buahnya. Di 
 saat
 > itulah, sementara perhatiannya dipusatkan kepada lagu "Sarinande" 
 yang
 > sedang dimainkan rombongan tersebut, pikirannya menilai betapa 
 repotnya
 > memainkan angklung ala Pak Daeng yang memerlukan puluhan pemain. 
 Sejak
 > itulah dia terus memikirkan bagaimana caranya memasukkan seperangkat
 > angklung ke dalam sebuah piano yang bisa dimainkan oleh seorang 
 pemusik.
 > Dengan kerja kerasnya, dalam waktu dua pekan terciptalah sebuah 
 alat musik
 > mirip piano. Untuk menggerakkannya dia pergunakan elektro motor 
 berkekuatan
 > 1/12 PK dan seperangkat angklung yang dia beli dari Pak Daeng. 
 Dalam piano
 > berukuran 3 x 1 meter ini terdapat 41 not (3 setengah oktaf) 
 sehingga bisa
 > memainkan berbagai jenis lagu, dari pop sampai klasik seperti 
 ciptaan
 > Strauss dan Beethoven. Dan, akhirnya dia memberi nama hasil 
 ciptaannya
 > Diksafoon (Diks adalah namanya sendiri, foon artinya suara).
 > 
 > Penemuan waditra musik Setiola dan Diksafoon sesungguhnya merupakan 
 sebuah
 > kejutan dalam dunia musik Indonesia masa itu. Pada akhir tahun 1950-
 an,
 > kedua alat musik ini sempat dipopulerkan lewat media massa dan 
 demonstrasi
 > yang diselenggarakan untuk umum, sekalipun dalam kalangan terbatas. 
 Akan
 > tetapi, upaya ini kurang memperoleh perhatian dari masyarakat maupun
 > pemerintah. Kehadirannya seolah-olah tidak populer dan akhirnya 
 menghilang
 > begitu saja. Diks sempat mencoba membuat Diksafoon berukuran mini 
 dan
 > mengajukannya ke pemerintah untuk memperoleh perlindungan lewat
 > undang-undang hak cipta. Bagaimana hasilnya juga tidak diperoleh
 > keterangan.***
 > 
 > Haryadi Suadi
 > Pengajar di FSRD ITB, pengamat sejarah musik.
 > 
 > http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=22818
 >
 
 
     
                                       
 
       

Kirim email ke