Ass,
Rekan2, sadayana.
Lumayan, cocoretan kuring di Tribun Jabar, Saptu 19, Juli 2008


http://www.tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=14714&kategori=37


Pemberdayaan Parpol dan Demokratisasi
 TANTAN HERMANSAH, Dosen Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti
pada Departemen Politik, brighten institute

 *TAMPILNYA* puluhan partai politik dalam menyongsong Pemilu 2009 di satu
sisi memang melegakan. Fakta ini menujukkan bahwa kebebasan untuk berserikat
seperti dijamin oleh UUD 1945 terimplementasi dengan baik.

Namun, di sisi lain, banyaknya partai ini sekaligus juga menunjukkan hal
lain, yakni pemahaman terhadap apa yang disebut sebagai "politik" ternyata
masih banyak kosong, bahkan dari mereka yang dikategorikan sebagai "pelaku
politik".

Merujuk kepada term yang dikemukakan oleh Gerung (dalam Robet, 2008) ada
kenyataan yang berbeda dari makna politik yang selama ini berkembang dengan
definisi genuinnya, yakni politik banyak dipahami sebagai perilaku
manipulatif, licik, tamak, dan sejumlah perilaku negatif lainnya. Semua
persepsi itu dipahami sebagai tools untuk merebut kekuasaan.

Padahal, politik adalah ibu dari demokrasi (Robet, 2007) sehingga memahami
politik berarti memahami perilaku baik, humanis, membangun nilai-nilai
kebersamaan untuk membangun life system, dan sejumlah aktivitas positif
lainnya. Maka ketika banyak perilaku koruptif terjadi dan dilegitimasi dalam
satu term politik, sesungguhnya yang terjadi adalah upaya delegitimasi makna
sejati politik.

Memahami politik di aras praksis, kita tidak bisa melepaskan diri dari para
pelaku utamanya, yakni pemerintahan, partai politik, civil society, dan
individu yang menjadi penyumbang dari proses politik seperti pemikir dan
lain-lain. Keseluruhan stakeholders tersebut diakumulasi dalam sebuah arena
yang disebut sebagai negara. Jadi, negara adalah puncak dari pergulatan
kultur politik yang diekspresikan dalam perebutan kekuasaan, sikap oposisi,
dan sebagainya.

Namun tidak jarang karena realitas selalu lebih maju selangkah dari teori,
persoalan memahami unsur-unsur utama politik harus selalu diperbaharui. Akan
tetapi, tidak jarang bahwa terjadi siklus teoritik, dalam arti bahwa
teori-teori usang tentang politik masih relevan dipergunakan karena
kecukupan ontologis dan epistemologisnya.

Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh Robert Michels (1911) ternyata
masih relevan untuk memotret fenomena partai di negeri kita saat ini.
Michels menjelaskan betapa setiap pemimpin partai, jika tidak bisa membangun
kultur yang baik dalam organisasinya, justru akan berubah menjadi seorang
yang oligarkis. Kecenderungan oligarkis ini muncul karena sifat konservatif
sang pemimpin, terlalu mementingkan faksi atau kelompok mereka saja, dan
hanya berprinsip pada penjagaan stabilitas dalam partainya.

Di sisi lain, sikap oligarkis para petinggi partai membuat orang-orang yang
baru belajar berpolitik melalui institusi partai ini enggan bergabung.
Terlebih lagi karenakedangkalan memahami apa yang disebut sebagai
pembudayaan politik, para "pemain baru" itu juga enggan membangun sikap
politiknya melalui procedure of truth sebagaimana biasanya. Ketidakmampuan
melakukan seni dalam berpolitik ini menyebabkan orang lebih suka membuat
partai baru ketimbang bergabung dan bertarung di dalam partai lama yang
sudah eksis lebih dulu. Apalagi ditunjang oleh kesempatan mendirikan partai
politik yang relatif mudah, maka setiap menjelang pemilu, orang
berbondong-bondong mendirikan institusi politik ini.

*Mengapa partai politik?*
Saat ini, elemen utama dari demokrasi, baik secara substansi maupun praktik,
ada dalam kekuasaan partai. Partai saat ini merupakan satu-satunya lembaga
yang memiliki kapasitas untuk memerankan diri lebih jauh dalam demokrasi dan
politik sendiri. Nyaris tidak ada kelompok atau individu yang bisa berjalan
sendiri tanpa kekuatan partai.

Sebagai contoh sederhana, tokoh-tokoh ormas, jika ingin memberikan pemikiran
atau aktivisme politiknya, mau tidak mau harus bergabung--langsung secara
verbal atau lebih diplomatis--dengan partai politik. Begitu pula dengan
pasangan kepala daerah yang mencalonkan diri melalui jalur alternatif
seperti jalur independen, tanpa melakukan persenyawaan politik dengan
anggota legislatif dari partai, bisa dipastikan program-program
pembangunannya akan banyak mengalami hambatan "politik" di dewan.

Jadi, karena peran-peran strategis ini lebih banyak mengerucut kepada peran
partai politik, sudah sejatinya jika pemberdayaan politik diarahkan sebagai
pemberdayaan partai. Pemberdayaan partai, walau bagaimana, akan memiliki
ruang yang lebih terbuka bagi rakyat dalam melakukan pilihan "politik"-nya.
Dengan begitu, lama-lama sikap berpartai—baik bergabung secara langsung
maupun sekadar menjadi simpatisan—di rakyat akan tumbuh sebagai sikap
ideologis, ketimbang pragmatis.

Dalam kecerdasan sosial seperti ini, upaya pemerintah untuk mengurangi
jumlah partai bisa lebih mudah. Sebab, bagi rakyat, partai bukan lagi
menjadi tools untuk melakukan kegiatan politik konvensional, tapi lebih jauh
partai adalah sarana edukatif bagi rakyat untuk mempelajari hakikat dari apa
yang kita kenal sebagai aktivitas politik.* (*)*

Kirim email ke