PERHATIAN: Maaf, tulisan saya kali ini memuat kata-kata kasar. Jangan 
tersinggung.

[HALAMAN GANJIL]

Kaya dan Pintar
---------------
--Anwar Holid


Pada Jumat, 29 Agustus 2008, aku naik angkot sampai persis di depan Gedung 
Sate/Gasibu. Ternyata di jalan raya itu sedang ada pawai panjang kampanye donor 
darah 'Triboplastic' yang diadakan anak-anak SMU 3 Bandung. Mereka pawai 
menggunakan jajaran mobil dan motor. Dari pinggir jendela angkot yang aku naiki 
terlihat barisan mobil-mobil mewah yang mereka gunakan, baik sedan, city van 
(Kijang dan semacamnya), mobil kecil (Jazz dan sejenisnya), beragam jeep, 
sampai Land Rover. Rupanya ular pawai ini dibagi tiga jajar. Jajaran pertama 
rangkaian mobil, di tengah jajaran motor, di belakang mobil lagi. SMU ini sulit 
dibantah merupakan SMU paling favorit di Bandung selain SMU swasta terkemuka 
seperti St. Angela.

Anak-anak remaja ini dengan penuh semangat, menebar senyum, dan ceria 
membagi-bagikan selebaran pada siapapun yang lewat. "Jangan lupa datang ya," 
kata mereka, baik ke penumpang angkot dan pengendara lain. Tapi karena saking 
panjang, pawai mereka rupanya mengganggu orang lain yang malas dengan kemacetan 
atau sedang terburu-buru. Di belakang suara klakson bersahut-sahutan, aku pikir 
bagian dari keriaan. Rupanya itu bagian dari kemarahan. Seorang ibu berjilbab, 
berkaca mata hitam, pengendara mobil lain, memaki-maki pawai itu, persis di 
bagian motor yang dikendarai seorang siswi. Dia sedikit kesulitan segera 
memindahkan motornya masuk ke jajaran. Memang lajur kiri jalan itu bagian 
'belok kiri jalan terus.' Angkot yang aku naiki ada di lajur ketiga jalan, jadi 
aku lihat kejadian itu.

"Nyingkah siah!" teriak ibu itu. Anak-anak jadi ribut. Si gadis kerepotan, tapi 
segera bisa masuk barisan. Anak-anak lain jadi merasa solider, dan akhirnya 
membalas teriakan dengan makian yang sama kasar. Terdengar mereka bilang 
bertanya-tanya, "Ngomong naon sih?" sambil menyahut-nyahut dengan berbagai 
alternatif, sampai yang terdengar jelas ialah teriakan, "Kanjut meureun..." 
Tapi segera angkotku jalan terus, mengantarkan beberapa meter ke depan. Jadi 
aku terhindar melihat insiden itu lebih jauh. Di angkot, aku akhirnya gagal 
meneruskan baca buku Muhammad, Rasul Zaman Kita (Tariq Ramadhan) terbitan 
Serambi. Aku ingin mengulas buku ini persis karena mau puasa Ramadhan, tapi 
ternyata masih gagal. 

Di dalam angkot itu aku jadinya membatin dan terus memperhatikan pawai itu. 
Mereka masih remaja, sudah kaya-kaya, dengan sosialita yang boleh jadi kelas 
menengah atas---entah high class atau high maintenance. MObil mereka 
keren-keren, dalam mobil itu mereka memencet-mencet HP, merokok, bersendau 
gurau, menikmati masa remaja, dengan tampilan terpelihara, tapi otak mereka 
juga pintar dan berwawasan luas. Merekalah yang bakal paling banyak mengisi 
sekolah tinggi favorit di Bandung, baik itu ITB, Unpad, Unpar, dan lain 
sebagainya. Dalam hati aku bilang, "Wah... mereka itu sudah kaya-kaya, 
pintar-pintar lagi..." 

Insiden si ibu memaki juga tetap terkenang. Kejadian ini mengingatkan aku pada 
peristiwa lama, ketika di Padalarang bus jurusan Jakarta yang tumpangi memepet 
sedan mulus, berisi sekeluarga, terdiri dari anak (sopir) dan ayah-ibunya. Yang 
menurutku keterlaluan, si pemilik sedan ini memaki-maki jauh lebih kasar pada 
sopir dan kondektur bus, biar menyingkir lebih dulu dan menyelesaikan masalah, 
padahal mobil mereka kedua-duanya jadi nggak bisa gerak. Anak dan bapak itu 
menyemburkan kata-kata anjing, goblog, setan, dan sebagainya kepada sopir dan 
kondektur, membuat keadaan jadi runyam, sok kuasa, dan bikin kepalaku jadi 
mendidih. Akhirnya aku jadi ikut teriak, "Hei, tolong kamu tenang dulu! 
Parkirkan dulu mobil kamu dengan baik!" Yang lebih istimewa lagi, menurutku, 
ialah tampilan keluarga ini. Si ayah mengenakan baju koko, berkopiah haji, si 
ibu berjilbab, berkaca mata hitam, si anak juga berkaca mata, mengenakan baju 
koko putih perlente, dan di kaca spion
 dalam mobil, sebuah tasbeh sudah berhenti bergoyang-goyang. Aku betul-betul 
jadi gagal bersabar menghadapi pemandangan itu, menggumpalkan makian dalam 
hati, "Anjing, anjing, kamu penampilan saja kayak begitu, dalamnya berisi 
setan! Amarah dan ego kamu luar biasa besar dan sulit ditenangkan. Najis!" 
Karena pindah bus, aku jadi melewatkan insiden itu.

Di jalan Sulanjana, yang dilalui angkotku, aku ketemu lagi dengan pawai 
anak-anak SMU 3. Mereka tentu menyebar ke berbagai penjuru kota. Batinku mulai 
kembali ke anak-anak itu, ke sekolah dan pendidikan. "Ada nggak ya anak miskin 
di antara mereka? Yang nggak bisa ikut pawai karena terlalu miskin, dan jadinya 
manyun atau sedih di kelas atau di rumah?" Boleh jadi sedih banget nggak bisa 
ikut ramai-ramain dengan kawan sebaya mereka, menikmati kemewahan dan 
kesenangan yang tersedia untuk mereka nikmati. Batinku berucap, beruntung 
sekali mereka itu, bisa memanfaatkan kekayaan orangtua biar pintar-pintar dan 
punya sosialita kelas utama. Apa karena kaya, mereka jadi berkesempatan jadi 
pintar. Untuk jadi pintar memang mahal. Boleh jadi mereka harus banyak beli 
buku, belajar tambahan lagi di bimbingan belajar, atau les privat, punya 
ini-itu untuk menunjang kepintaran dan kecerdasan. Memang aku yakin jelas masih 
ada beberapa anak miskin yang sekolah SMU 3 atau
 sekolah favorit lain, tapi biaya pendidikan memang mahal. 

Apa yang bisa dilakukan agar anak pintar dan masuk sekolah favorit? kataku. 
Harus sekolah dengan baik, belajar dengan giat, disiplin, sekolah dengan 
fasilitas dan standar bagus, meski biayanya mahal. Aduh, kasihan sekali orang 
miskin, batinku lebih pada diri sendiri. "Orang miskin dilarang sekolah!" 
begitu tegas Eko Prasetyo, kritikus sosial dari Jogja, mengkritik betapa mahal 
biaya sekolah. Aku jadi kecut sendiri terhadap masa depan Ilalang, anakku, 
persis karena aku merasa sering kekurangan dan penghasilan terlalu cepat habis 
untuk biaya sehari-hari. Awal ajaran baru ini, aku belum melunasi sepeser pun 
buku wajib yang diambil Ilalang. (Mungkin baru bisa bulan depan.) Apa orang 
harus kaya dulu, baru bisa menikmati sekolah yang bisa membuat murid-muridnya 
pintar. Aku langsung ingat Alexander the Great, calon kaisar Yunani dari 
Macedonia, salah satu murid Aristoteles. Adakah di antara murid lain 
Aristoteles itu misalnya anak tukang gorengan atau tukang
 becak? Aku ragu sekali tentang hal itu. Yang punya kesempatan belajar dengan 
dia aku berani berprasangka pastilah anak-anak orang kaya atau keturunan 
kalangan raja. Rasanya pendidikan bakal tambah sulit teraih bila seseorang 
miskin.

Aku sering merasa bahwa aku masih miskin dan penghasilan kerap kurang untuk 
persiapan masa depan dengan baik, karena terlalu cepat habis untuk biaya 
sekarang. Aku khawatir, karena miskin, jadi sulit membiayai anak-anak, dan 
boleh jadi mereka jadi bodoh atau nggak pintar, dan tetap miskin. Memang aku 
tidak terlalu miskin dibandingkan orang yang lebih miskin, juga tidak terlalu 
pintar dibandingkan orang yang lebih bodoh. Di sisi lain, aku masih bersemangat 
dengan optimisme, tekad, dan harapan baik masa depan. Tapi bayang-bayang bahwa 
peluang orang kaya begitu besar untuk jadi pintar dibandingkan peluang orang 
miskin jadi pintar, membuat aku gelisah di dalam angkot. Kepalaku menerawang ke 
mana-mana, salah satunya ingat saudara serumah yang dulu sekolah di SMU 3. Dia 
membuat aku kagum karena pintar. Aku jadi ingat waktu masih kelas 6 SD, jadi 
adik PAS-Salman, punya beberapa teman yang jauh lebih kaya dan pernah diajak ke 
rumahnya yang mewah di awal
 Tamansari, penuh komik, majalah, dan mainan mengasyikkan.

Angkot yang aku naiki melintasi jalan Tamansari, tempat kampus ITB mengambil 
cukup besar porsi bagian dari wilayah itu. Sekarang di sepanjang pinggir kampus 
ini dikelilingi mobil parkir bertebaran, belum lagi di lapangan parkir dalam 
yang luas dan di pingir Sabuga. Pemandangan ini lain sekali dibandingkan 
tahun-tahun 94-an ketika aku cukup aktif di masjid Salman, salah satu blok di 
ujung kampus itu. Keadaan sekarang membuat aku cukup yakin bahwa yang masuk ITB 
memang banyak sekali dari kalangan orang kaya. Lihatlah mobilnya, lihatlah 
penampilan mereka, hiasan yang mereka kenakan, perhatikan cara masuk dan 
membiayai kuliahnya. Aku lantas terkenang teman-teman setia dari satu generasi 
yang kuliah di sana, baik dari kalangan orang miskin atau kaya, bahkan akhirnya 
beberapa dari mereka DO (aku sendiri juga DO dari Unpad.) Dari teman yang 
miskin aku dapat cerita, waktu itu salah satu harapan utama keluarga mereka 
menguliahkan anaknya di ITB ialah agar setelah
 lulus bisa menopang kehidupan keluarga di masa depan, termasuk adik-adik 
mereka dan generasi berikutnya. Aku tahu betapa muram dan depresif ketika 
mereka terpaksa DO, salah satunya karena terlalu miskin untuk membiayai kuliah. 
Ironik dan bikin air mata meleleh. Tapi mereka juga cerdas dan pintar, 
berwawasan luas, visioner optimistik di masa depan, siap menghadapi kenyataan 
kehidupan---dengan segala kekhasan dan keunggulannya. Biar miskin, mereka toh 
tetap menaruh ilmu pengetahuan dan hasrat belajar dalam jajaran paling depan. 
Bukankah itu menarik? Tentu saja ada dari anak-anak miskin itu yang akhirnya 
jadi sarjana, dan mampu membiayai keluarga. Tentu saja sarjana dari keluarga 
kaya biasanya setelah itu punya karir gemilang dan tambah makmur dengan cukup 
segera. Yang mengagumkan, mereka tetaplah sederhana, bermoral mulia, dan suka 
menolong teman-temannya yang tergolong lebih miskin seperti aku ini.

Kalau optimistik, berusaha, cukup punya tekad, bukan kekayaan yang membuat 
orang pintar, melainkan semangat mencari pengetahuan ditambah kesempatan. Tapi 
bagaimana mendapat pengetahuan tanpa ditunjang biaya? Cukup sulit, kecuali kita 
punya lingkungan yang baik, menyediakan fasilitas cukup baik, pinjam dari 
berbagai sumber dan sebagainya---termasuk mendapat sedekah, menerima kebaikan 
orang lain, atau beasiswa. Untuk kursus main djembe di Jendela Ide, Ilalang 
ternyata mendapat sebagian beasiswa dari mereka, dan itu membuat aku merasa 
mendapat keberuntungan dan kebaikan luar biasa. Tanpa sedih, mengecilkan hati 
dan perasaan, hanya Ilalang yang naik angkot kalau berangkat ke Jendela Ide. 
Buat aku kondisi itu suka menggetarkan.

Sebuah kebetulan aneh terjadi, pas di depan perpustakaan ITB, dekat pintu masuk 
Sabuga, Indra Purnama, kawan mudaku sesama dari SKAU, nyegat angkotku. Aku 
senang dan semangat sekali. Begitu masuk, kami salaman dan ngobrol ini-itu 
dengan semangat, bertukar kabar, sampai ke soal kesungkanan bersilaturahim bila 
nggak ada perlu, artinya cuma basa-basi biar tetap akrab. Aku cerita soal 
barusan yang aku lihat dan alami. "Indra dulu di SMU tiga kan?" tanyaku 
meyakinkan. Akhirnya topiknya kembali ke pendidikan, kekayaan, kemiskinan, dan 
kepintaran. Ya, Indra alumni SMU 3 dan sarjana ITB, buktinya dia tetap naik 
angkot untuk pulang ke subang. Kami ketawa. "Wah, sekarang mereka begitu ya? 
Biasanya kan yang suka pawai anak SMU lima. Tapi nggak semuanya begitu kok," 
kata dia tertawa menanggapi anak-anak barusan. Lantas dia cerita tentang masa 
kecilnya, yang harus pisah dari orangtua demi sekolah di Bandung, sejak SMP. 
Mungkin dia dari keluarga sederhana.

Pada dasarnya aku yakin dengan rezeki dari Allah, tapi harus aku akui suka 
panik dan gelisah bila benar-benar kehabisan, dan belum waktunya dapat lagi. 
Aku tidaklah begitu miskin sampai putus asa. Aku bekerja dan optimistik, dan 
cukup mudah untuk minta tolong atau mendapat kesempatan. Aku punya kemampuan, 
meski kadang-kadang tidak dimaksimalkan. Aku bersemangat terhadap banyak hal, 
termasuk ilmu pengetahuan dan belajar, juga terbuka. Sebagian tetanggaku jauh 
lebih miskin. Anak-anak tetanggaku mengonggok dan bergerombol sia-sia, suka 
mengumpat, persis di depan rumahku, berkata kasar, merokok, sehabis tamat SMU 
tapi gagal kuliah, entah karena miskin atau bodoh. Sebagian dari mereka 
menganggur, yang lain kerja jadi tukang goreng ayam atau ojek. Ada kawan 
sepantarku hanya tamat SMP, sekarang kerja serabutan jadi kuli bangunan. Aku 
khawatir pengaruh buruk pemuda-pemuda itu menular ke keluargaku, terutama ke 
Ilalang dan Shanti. Salah satu anak kecil, mungkin
 baru berumur 3-4 tahun sudah tertular jadi sangat bengal, suka memukul, dan 
mengumpat sebentar-sebentar mengeluarkan kata "anjing maneh, anjing maneh..." 
Saking bengal dan kasar, anak ini pernah menendang Ilalang waktu sujud shalat 
dan memelorotkan sarung imam masjid waktu shalat. 

Aku memikirkan masa depan anak-anakku, berdoa dan berusaha agar lebih baik, 
mendapat kesempatan belajar dalam sekolah dan kehidupan, sekalipun kami 
sederhana. Semoga kurang kaya dan kurang pintar kami bisa disiasati dengan 
berbagai cara yang baik. Di sisi lain aku terus memupuk semangat agar cukup 
pintar untuk menghadapi berbagai kesulitan dan selamat sampai tujuan.[]5:43 
30/08/08

Anwar Holid, cukup kaya meskipun kekurangan, cukup pintar meski kurang 
pengetahuan.

Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://www.digibookgallery.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke