Mang Chang kumaha wujud operasional na tina keur ngabarantas budaya kumbah
leungeun teh ? Ari korupsi teh pan parantos dirancang ku sistim bari
nyiptakaeun hal2 anu ngabosenkeun masyarakat sareng ngateu sabarkeun
masyarakat ;

1. Nyiptakeun prosedur anu rumit sareng birokrat ngajalankeunna loba cing
cong. pangurusan jadi hese, bertele teu anggeus2 (Nyiun IMB, Paspor, KTP,
SIM, STNK, BPKB,jrrd).
2. Nyiptakeun prosedur anu hese dicerna kumasyarakat (Prosedur mayar pajeg,
teu jelasna saha 3wajib pajeg, formulir SPT anu hese dieusian,sistim NPWP
paksa, neangan kasalahan ngeusi,jrrd
3.Nyiptakeun kriteria2 anu teu jelas tapi loba molongona (Syarat panarimaan
PNS/BUMN, Akademi2 nagara kaasup Militer, Pulisi, jrrd)
4. Nyiptakeun rupa2 paiizinan, tapi praktekna eta teh meuli izin...


On 9/1/08, Rahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> >
> > Sigana mah mun aya olimpiadeu korupsi mah, moal salah bakal jadi
> jawara?
> >
> > Usul kuring...cabang2 anu dipertandingkeunana:
> >
> > 1. Cabang birokrasi
> > 2. Cabang swasta
> > 3. Cabang pendidikan
> > 4. Cabang agama
> >
> > Cabang naon deui nya?
> >
>
> Budaya "Cuci Tangan"
> Senin, 1 September 2008 | 00:19 WIB
>
> William Chang
>
> Setelah mandek program penayangan wajah-wajah koruptor, kini diusulkan
> penambahan hukuman kerja sosial bagi koruptor (Kompas, 14/8/2008).
> Sanggupkah jurus baru ini menjerakan koruptor berdasi?
>
> Maybe yes, maybe no! Selama ini diskursus tentang kasus korupsi
> keuangan cenderung menyingkirkan unsur kebebasan moral dalam tindakan
> (sewenang-wenang). Bukankah manusia sebagai kebebasan (JP Sartre)
> cenderung melakukan apa pun, termasuk korupsi yang antara lain
> menyimbolkan kekuasaan untuk mewujudkan diri? Tanpa kontrol yang
> sehat, kebebasan akan membutakan nurani.
>
> Ternyata, terbitan Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional setebal 539
> halaman (BPKP, 1999) belum sanggup melemahkan arus toleransi
> disproporsional dalam penanganan tindak korupsi. Biasanya koruptor
> berdasi cenderung "cuci tangan", sedangkan koruptor kelas teri
> terjerat hukum. Tak heran, seluruh program pemberantasan korupsi
> setengah abad lebih masih amburadul dan belum mendatangkan buah
> signifikan. Strategi preventif, detektif, dan represif dalam
> penanganan korupsi sudah saatnya diterapkan.
>
> Bagaimanakah dapat terbangun budaya bersih, transparan, dan
> bertanggung jawab jika budaya korup ("cuci tangan" dari problematika)
> masih merajalela? Harus diakui, celah-celah korupsi tetap menganga
> dalam hampir semua instansi pemerintah (RT, polisi, jaksa, hakim,
> hingga lembaga tertinggi). Justru itu, proses pembongkaran kasus
> korupsi perlu menimbang mentalitas korup untuk menggunakan kebebasan
> tanpa tanggung jawab.
>
> Dampak
>
> Kompleksitas (penanganan) korupsi di Tanah Air terletak pada
> penanganan superfisial atas budaya "cuci tangan" sejumlah pejabat
> teras. Seakan-akan pesan dalam adagium klasik corruptio optimi pessima
> (pembusukan mereka yang berkedudukan tertinggi adalah terjelek) tak
> dikenal para penggerak roda pemerintahan RI. Keberanian dan kesediaan
> untuk mengakui perbuatan salah masih amat rendah. Contoh, para tokoh
> korupsi moral (Kain-Habel, Hitler, Karadzic), korupsi politik (P
> Pilatus, Nero, Ferdinand Marcos), korupsi keuangan (Soeharto, Marcos)
> berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak tanggung jawab. Mereka
> seolah tidak melakukan perbuatan koruptif.
>
> Masalahnya, mengapa budaya "cuci tangan", yang mengingkari seluruh
> subsistem, interdependensi, dan interconnectedness dalam hidup sosial
> berkembang subur di tengah kebebasan moral? Dampak sosial setiap
> tindakan personal tak tersangkalkan. Bukankah korupsi seorang pejabat
> negara berarti merampas dan merugikan hak-hak hidup sekian banyak anak
> bangsa? Tindakan "cuci tangan" jelas mencemari habitat bersih dan
> nonkoruptif (bdk. Boff, Ethik fuer eine neue Welt, 2000, 106).
>
> Budaya "lempar batu sembunyi tangan" ini seolah merestui manusia untuk
> melakukan apa pun tanpa tanggung jawab. Kehancuran sistem sosial
> dipicu filsafat dalam budaya ini. Tak heran, rancangan pembangunan
> sehebat apa pun, tanpa sistem pemerintahan yang bersih dan transparan
> tidak akan menyejajarkan kita dengan negara tetangga yang sudah lama
> keluar dari belenggu krisis multidimensi.
>
> Etos tanggung jawab
>
> Budaya "cuci tangan" dalam era reformasi ini perlu segera direspons
> dengan etos tanggung jawab sebagai kapasitas etis yang mampu memilah
> tindakan yang bernilai atau tidak.
>
> Manusia berkepribadian moral umumnya tidak berani sembarangan
> melakukan sesuatu tanpa tanggung jawab (Ethics, 1926: Nicolai
> Hartmann). Watak khas manusia sebagai makhluk etis akan luntur jika
> manusia tidak hidup dalam kesadaran akan tanggung jawab (G Piana,
> Liberta e responsibilita, NDTM, 672-73).
>
> Semestinya nilai tanggung jawab, kejujuran, dan transparansi yang
> sepadan dengan trustworthiness segera disosialisasi di kalangan oknum
> pemerintah sebagai guru rakyat. Rentetan kebijakan yang bertentangan
> dengan nilai-nilai itu sudah saatnya dicabut. Peluang penggunaan
> telefon seluler dengan nomor-nomor liar (tak terdaftar), misalnya,
> hanya akan menambah kekacauan sosial. Kaca-kaca mobil intransparan
> secara tak langsung melindungi penjahat dari buruan pihak keamanan.
> Jejaring mafia kejahatan di kalangan pejabat pemerintah tak dapat
> ditoleransi.
>
> Etos bermuatan komitmen pembersihan diri dan lingkungan ini harus
> disosialisasikan dari tingkat terendah (atau generasi muda) yang belum
> tercemar korupsi terutama yang masih mengecap pendidikan formal.
>
> Dalam dunia pendidikan
>
> Kondisi koruptif dalam dunia pendidikan formal mulai taman bermain
> hingga perguruan tinggi tidak bisa ditoleransi. Gendang perang melawan
> korupsi ditabuh. Kapankah bangsa kita akan bebas dari korupsi jika
> masih begitu banyak kasus korupsi tidak (belum) ditangani oleh penegak
> hukum dengan alasan kurangnya tenaga pemeriksa kejahatan?
>
> Dalam proses internalisasi nilai-nilai sosial, etos tanggung jawab
> sebaiknya menjadi materi utama pendidikan dalam diri sendiri,
> keluarga, sekolah/universitas, kantor-kantor pemerintah, dan masyarakat.
>
> Hanya, selagi budaya "cuci tangan" masih kuat dan hukuman edukatif
> untuk para koruptor belum maksimal, proses pemberantasan korupsi di
> Tanah Air masih diselimuti awan mendung.
>
> Kapankah kaum penegak hukum kita akan mewujudkan fiat justitia ruat
> coelum?
>
> William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus
>
> 
>

Kirim email ke