Heuh… sok asa bener sorangan

Lamun teu sarua…… bid’ah……………………. dolalah…… naraka…………

Ampun teuing………………………….

 

Jigana nu bakal abus surge the manehna wae jeung rosul-na, umat islam nu teu
samadegan mah …… naraka waeeeeeee

 

Jiga nugeus apal al-qur’an jeung rebuan hadist

Maca arab gundul oge teu bisa……………………………………………………

 

Cik atuhnya……………………….. ngadalil tehhhhhhhh

From: urangsunda@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
Behalf Of Gunawan Yusuf Miarsadireja
Sent: Thursday, September 04, 2008 8:14 AM
To: urangsunda@yahoogroups.com
Subject: Re: [Urang Sunda] shalat tarawih

 


jalma taraweh 23 rakaat disebut bid'ah, sasar, jst, shalat subuh make qunut
disebut bid'ah, sasar, jrrd, jalma teu shalat teu dimasalahkeun, saeutik
eutik bud'ah bid'ah, kuduna dina kasus "Ahmadiyah" umat Islam kudu
instropeksi diri, konflik suni - syiah geus ratusan taun, konflik aliran
wahabi jeung islam tradisional geus loba nu jadi korban alias maot, puguh
umat islam pecah belah, padahal boh aliran sunni, syiah, wahabi, islam
tradisional, sakabeh ngaku yen Kanjeng Nabi Muhammad nabi akhir jaman, teu
aya nabi deui saatosna, kitab suci Al'quran anu jadi cecekelan sarua, kumaha
eta ahmadiyah ?, karaos teu ayeuna umat Islam keur dipecah belah, Umat Islam
loba tapi kunaon teu bisa ngalawan Israel anu nagara leutik ?, umat Islam
loba kunanon muslim bosnia dibantai, teu aya anu nulung ?, di mianmar aya
Rohingnia, di Pilipina aya Moro, di cina aya Xinjiang, jrrd............

--- On Wed, 9/3/08, Sumarna, Nana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Sumarna, Nana <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [Urang Sunda] shalat tarawih
To: 
Date: Wednesday, September 3, 2008, 7:27 AM

 

Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari

تَرْوِيْحَةٌ
yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul
Bari, 4/294)

Dan

تَرْوِيْحَةٌ

pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat
setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan
dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294).
Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih
beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat
ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan
salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan
oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu:

مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan
dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun
‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah
bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih
Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama
tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140)
dan Al-Majmu’ (3/526).

Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan
shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali
tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh
dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu
Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan
meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau
sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga
pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan
disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi
dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya,
sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh
Shahih Muslim (6/282).

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat
ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau
berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan
dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan)
sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.

Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta
sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam
An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Dasar pendapat pertama:

1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي
الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ
فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ
الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ
يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ
عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat
di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam
berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang
mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau
malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada
mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam
bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan
tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku
khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan
Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung
bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama
adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus
seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian
pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan
lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)

• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para
shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan
Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ
قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka
terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih
Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu
Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan
(tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar
antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara
berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara
sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena
terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat
lainnya radiyallahu 'anhum 'ajma'in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid
pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian
dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan
manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu
sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa
dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi
keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:

Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya
shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di
rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih
yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan
secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena
hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat
pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:

• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat
untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah
para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau
shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah
(Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau
akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah)
(Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi
wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n.
(Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau
shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama
ini.

Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil
yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ
صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat
witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat
fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221
no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih

Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat
berdasarkan:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau
bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:

مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً ...

“Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan
tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam
Al-Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah
rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau
saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya.
“Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi
wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat
(shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11
rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu
alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi
wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ
أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b
dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR.
Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192)
tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh
Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash
yang jelas dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya
radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat
dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami
berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan
jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat
adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang
pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:

1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:

كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ
رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat
Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa
‘Umar radiyallahu 'anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka
sanadnya munqothi/terputus, red).

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini
sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu
‘Abbas radiyallahu 'anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ
رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20
rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no.
5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)

Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan
hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)

Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin
‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah
menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau
bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari
pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan
Al-Irwa, 2/191 no. 445)

Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada
pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa
tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah
salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi
shallallahu 'alaihi wassallam).

Wallahu a’lam

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih. URL
Sumber http://asysyariah. com/syariah. php?menu=
<http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301>
detil&id_online=301)
 

 

 

.

 
<http://geo.yahoo.com/serv?s=97359714/grpId=7376437/grpspId=1705076179/msgId
=3253/stime=1220319307/nc1=5170417/nc2=4763762/nc3=5028926> 

 

 


------------------------------------------------------------
NOTE: The information contained in this e-mail is intended only for the use of 
the individual or entity named above and may contain information that is 
privileged, confidential and exempt from disclosure under applicable law. If 
you are not the intended party to receive the message and its attachment(s), 
you are hereby notified that any dissemination, distribution or copy of the 
message is strictly prohibited. Please immediately notify the sender and delete 
the message as soon as possible. Thank you for kind attention.

CATATAN: Email yang terkirim melalui PT. PERTAMINA EP bersifat pribadi dan 
mungkin rahasia. Jika secara tidak sengaja Anda menerima surat elektronik ini, 
mohon maaf. Sekiranya berkenan, mohon untuk memberitahu kepada pihak pengirim 
akan kekhilafannya serta menghapus suratnya. Terima kasih atas perhatian Anda.

Kirim email ke