Mulungan ti berita heubeul.....2005 on...........ulah heran lamun seueur
kaheurasan...hayng meunang sorangan...asa pangbenerna.....

*Kebangkitan Neo-Wahabi*

Oleh Rizqon Khamami

*Duta Masyarakat, 2005.*
Sejak bergulir Reformasi dapat kita tandai dengan adanya kebangkitan
berbagai aliran gerakan. Tidak terkecuali Islam. Pada umumnya,
gerakan-gerakan baru Islam ini mengusung faham Salafi. Tercatat sejumlah
gerakan dalam aliran ini: Fron Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lasykar
Ahlussunah wal Jamaah, dan lain-lain. Beberapa di antaranya sudah
membubarkan diri. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk kategori
gerakan ini.

Bagaimana pengelompokan ini didasarkan? Dalam tradisi Islam, aliran Salafi
mengacu pada pandangan madzhab salaf. Karakteristik menonjol aliran ini, di
antaranya, seruan kembali ke Al Qur'an dan Sunnah Nabi dengan kecenderungan
penafsiran secara tekstual dengan mengabaikan konteks, dan semangat meniru
generasi *salaf al-shalih* yang dielu-elukan sebagai masa paling ideal.

Ibnu Taymiah dikenal sebagai penggagas awal teologi Salafi. Istilah Salafi,
bisa dikatakan, muncul sejak Ibnu Taymiah ini. Kata "salafi" merujuk ke
generasi *salaf al-shalih*. Sepeninggal Ibnu Taymiah, teologi Salafi makin
berkembang. Beberapa kurun selanjutnya, di tanah Najd, Semenanjung Arabia,
Muhammad bin Abdul Wahab mengembangkan teologi Salafi dengan lebih spesifik
dan makin tajam. Pengembangan teologi oleh Muhammad bin Abdul Wahab dikenal
dengan aliran Wahabi. Bagi pengikut Wahabi, istilah ini terdengar kurang
baik. Mereka lebih suka disebut pengikut Salafisme.

Pada awal abad 20, pemikiran Ibnu Taymiah dan Muhammad bin Abdul Wahab,
sedikit banyak, menjadi pemantik pemikiran Muhammad Abduh. Berangkat dari
perpaduan ajaran Ibnu Taymiah dan pencarian Muhammad Abduh, gerakan salafi
lantas dikembangkan dengan lebih tertata melalui gerakan Ikhwanul Muslimin.
Tokoh paling penting pemberi warna ideologi gerakan ini adalah Sayyid Qutub.
Di kalangan islamisis (pakar kajian keislaman), pemikiran Sayyid Qutub
disebut dengan istilah Salafi Modern.

Di Indonesia, pemikiran-pemikiran Salafi dibawa oleh KH Ahmad Dahlan.
Muhammadiyah berdiri. Organisasi ini menyebut dirinya sebagai persyarikatan
kaum Puritan Islam. Untuk pertama kali, dalam disertasi doktornya, Deliar
Noer menyematkan Muhammadiyah sebagai gerakan Modernis. Sebuah istilah, yang
saya duga, untuk menstigma organisasi sejawatnya, Nahdlatul Ulama (NU) agar
identik dengan gerakan kampungan.

Hal menarik dari perjalanan Muhammadiyah, selama beberapa dasawarsa awal,
organisasi ini lebih cenderung mengadopsi Salafisme Wahabi. Perubahan
penting terjadi menjelang tahun 80-an beberapa saat setelah terjadi Revolusi
oleh para mullah Syiah di Iran. Keberhasilan Revolusi Iran tahun 1979
menciptakan kegairahan baru dunia Islam. Dimana-mana orang menganggap bahwa
Revousi ini adalah awal dari kebangkitan dunia Islam yang selama beberapa
abad mengalami kemunduran. Muslim Indonesia tidak terkecuali. Meski Revolusi
itu terjadi di Iran, tetapi Ikhwanul Muslimin, yang bersumber di Mesir,
mendapat berkah. Ikhwanul Muslimin mendadak populer. Di Indonesia,
terjemahan buku-buku Sayyid Qutub laris. Apa sebab? Bagi kalangan Muslim
Indonesia, pemikiran Sayyid Qutub lebih bisa diterima, karena sama-sama
Sunni. Selain itu, Sayyid Qutub mampu meramu pemikirannya dengan amat
tertata. Bersamaan dengan tren ini, Muhammadiyah mengadopsi pemikiran Salafi
Modern. Sebuah pemikiran yang lebih moderat dibanding Salafi Wahabi. Apa
alasannya? Wahabi gampang menyalahkan dan membid'ahkan kaum Muslim yang
tidak sepaham. Saya kurang sepakat dengan pendapat Karen Armstrong yang
menyatakan bahwa Qutubisme (merujuk ke pemikiran Sayyid Qutub) lebih radikal
dibanding Wahabi, seperti tulisannya di *The Guardian*, 11 Juli 2005. Yang
lebih tepat, sebaliknya.

Pilihan Muhammadiyah ini tidak terlepas dari peran anak-anak muda kala itu.
Kemunculan tokoh seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Syafi'I Maarif, Affan
Ghafar, Syafiq Mughni, M Amin Abdulla, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim
Abdurrahman -–untuk menyebut beberapa nama saja-- adalah penanda kebangkitan
Muhammadiyan baru. Di tangan mereka, Muhammadiyah menjadi organsisasi Islam
moderat dan makin disegani. Diperkuat lagi dengan akomodasi politik Suharto
dalam perlakuannya terhadap organisasi-organisasi Islam, dengan memanjakan
organisasi Islam Puritan ini. Wajah keras Wahabisme di tangan mereka
perlahan luntur. Apa buktinya? Perang TBC (Taqlid, Bid'ah & Churafat) yang
selama bertahun-tahun menjadi agenda utama, perlahan-lahan mereda. Bahkan
beberapa tahun lalu, sebagian warga Muhammadiyah mulai mempertanyakan
keefektivan cara dakwah "keras" ini. Mereka mengusulkan dakwah kultural,
yang tidak lagi dengan gampang menyebut orang lain bid'ah hanya karena
berdakwah dengan pendekatan budaya setempat. Di tangan tokoh-tokoh moderat
ini pemikiran Ikhwanul Muslimin tidak serta merta dijiplak utuh. Mereka
membuang jauh-jauh ide pan-Islamisme, mengambil hanya sisi pemikiran gerakan
sosialnya. Suatu saat, Amien Rais mengatakan: Tidak ada negara Islam.

Apakah usaha mereka berhasil? Selama beberapa dekade, iya. Namun, di tataran
massa Muhammadiyah, kegandrungan pada pemikiran Sayyid Qutub tidak hanya
terbatas pada pemikiran sosialnya, tetapi juga pada politisnya. Pada saat
suara-suara warga ini tidak ditampung oleh elit-elit Muhammadiyah, mereka
lebih memilih bermain di luar area. Gerakan usroh, tarbiyah, halaqah, dan
sejenisnya, yang menjamur di lingkungan kampus dan masjid, merupakan bentuk
luapan kegelisahan anak-anak muda dan suara protes tidak langsung. PKS
berkembang dari gerakan protes ini.

Di samping itu, kepulangan para veteran perang Afghanistan pasca kejatuhan
Uni Soviet memberi warna baru. Persentuhan langsung dengan para pejuang dari
negara lain selama perang pembebasan Afghanistan makin memperteguh Wahabisme
mereka. Pengalaman tempur di medan perang menambah keyakinan bahwa otot dan
senjata menjadi identitas baru. Sebuah identitas kekerasan.

Akan tetapi, sekembali mereka di Tanah Air, ide Wahabisme yang mereka bawa
tidak diberi tempat oleh elit Muhammadiyah kala itu. Mereka lantas
mendirikan atau berkumpul dalam organisasi-organisasi baru, seperti Lasykar
Jihad, Fron Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir.
Organisasi ini adalah diantara organsisasi yang menjadi pilihan warga
Muhammadiyah yang menganggap organisasi ini terlalu lembek dalam menyuarakan
kepentingan baru mereka. Bahkan, dalam kaitan dengan Syariat Islam,
Muhammadiyah pernah dituduh sebagai banci oleh warganya yang radikal. Dulu,
warga Muhammadiyah garis kanan, seperti Ali Imran, Amrozi, Ja'far Umar
Thalib dan Abu Bakar Baasyir, tidak mendapat tempat di Muhammadiyah. (Ahmad
Najib Burhani, *Menebak Masa Depan Liberalisme di Muhammadiyah,* Islam
Progresif, message no. 1519). Mereka inilah Neo-Wahabi itu, gerakan Wahabi
baru yang dipadu dengan kemampuan tempur yang dibawanya ke tengah-tengah
masyarakat.

Kini, sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 3-8 Juli 2005, para
veteran itu sudah kembali menguasai Muhammadiyah. Tokoh-tokoh moderat
tersingkir. MUI pun sepertinya sudah mulai direngkuhnya. Apa indikasinya?
Fatwa-fatwa keluaran MUI baru-baru ini terlihat memiliki kesan terwarnai
oleh tangan-tangan Neo-Wahabi tersebut. Mereka mengagungkan teks secara
berlebihan dengan mengabaikan konteks Mereka mudah membid'ahkan dan
mensesatkan segala bentuk perbedaan. Gampang menyerbu bukan kelompok
sepaham, tanpa toleransi. Gampang mencibir kalangan Islam yang bukan
pengikut mati generasi salaf al-shalih. Kata-kata "bid'ah", "kafir", "musuh
Islam", "penghancur Islam dari dalam", dan seterusnya, mudah menjadi
ungkapan harian.

Dengan kebangkitan Neo-Wahabi ini, kita bisa menebak arah perjalanan Islam
Indonesia ke depan. Wajah Islam Indonesia mulai memunculkan ketidak-ramahan.
Akankah semua ini dibiarkan?

Sumber: Duta Masyarakat <http://www.dutamasyarakat.com/>

Kirim email ke