Mudik...mudik....tos kitu teh balik....balik.... mangga dicandak sing seer rerencangan sarend sodara2 na biar jakarta, bandung, bogor...tambah hareurin kutangtung....puyeng kang...
--- On Sun, 9/28/08, eminx <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: eminx <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [Urang Sunda] mudik To: "kisunda" <[EMAIL PROTECTED]> Cc: urangsunda@yahoogroups.com Date: Sunday, September 28, 2008, 10:04 PM Urip iku neng ndonya tan lami Umpamane jebeng menyang pasar Tan langgeng neng pasar wae Tan wurung nuli mantuk Mring wismane sangkane uni Hidup didunia ini tidak akan lama, Bila diumpamakan kepasar tidak selamanya kita dipasar saja, Tak bisa tidak kita harus pulang kerumah asalnya semula. Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-kota besar lainnyayang sering kita sebut sebagai kota Metropolitan, Kosmopolitan, ataupun Megapolitan karena ramainya kegiatan dan tak berhentinya deru nafas kesibukan, saat ini seolah-olah sedang mati, kehilangan nyawanya. Seperti yang terasa sekarang ini. Dari segala penjuru kota, Jakarta srasa kota mati, lengang dan sepi.... Yach, bersama dengan menyongsong Lebaran 'Idul Fitri' meski banyak orang sudah hidup dan tinggal permanen dikota seperti Jakarta ini, tetap kampung halaman adalah rumah sejatinya. Mudik....... Ada sebagian orang yang mendefinisikan kata mudik berasal dari bahasa Arab, Dho'a = hilang, Mudli' = orang yang menghilangkan, orang yang kehilangan. Jadi bisa disama artikan bahwa menjelang Labaran ini, para perantau berduyun-duyun pulang kekampungnya karen amerasa kehilangan, sehingga perlu mudik guna menemukan kembali. Dikutip dari tulisan Cak Nun, bahwa "Kalau agak sok ilmiah mudik dapat dikategorikan menjadi 3 bagian: Mudik Sosiologis, Mudik Antropologis, dan Mudik Kosmologis" 1. Mudik Sosiologis Waktunya adalah sekarang ini, tempatnya ada pada wilayah sosial budaya. Kita mencari hidup, mengembangkan diri dari kampung pergi keluar, bekerja ataupun sekolah akhirnya menjadi Pejabat ataupun Presiden atau bisa jadi malah terjebak pada peran menjadi seorang gembel atau gelandangan ditepian jalan protokol seperti yang sempat alami. Yang pasti didepan ada masa yang akan datang, dan dibelakang ada masa silam. Masa Silam selalu lebih kuat dibanding masa depan. Masa silam memberi kekuatan prima karena cukup dikhayalkan dan mudah dalam menambah unsur-unsur kemerdekaan. Puji Syukur Alkhamdulillah sesedih apapun kita manusia masih diberikan imajinasi pelipur lara diri. Kenikmatan tiada tara akan timbul pada pandangan masa silam, karena masa depan hanya akan berujung dimaut. Jika kita telah biasa hidup kekurangan, merasa tak punya keunggulan apa-apa, mungkin akan lebih enteng memandang kearah masa depan. Karena maut sudah kita akrabi melalui riwayat sehari-hari. Tetapi sebaliknya kalau kita sukses dan kaya raya secara harta, maka semakin uzur usia akan semakin menyesali berkurangnya umur, semakin karib dalam kekosongan dan kengerian dialam kubur. Disinilah timbulnya upacara mudik guna mengenang asal-usul dan tujuan hidup kita. Sangkan Paraning Dumadi. dan mudik yang apling efektif adalah seusai Romadhon, selain bersilaturahim pada saat Lebaran, adalah waktu yang tepat apabila kita mengenang sejenak asal-usul sosial budaya kita dikampung bersama keluarga, dibanding menikmati dunia nyata 2. Mudik Antropologis Semakin banyaknya orang sukses secara duniawi maka membuat semakin banyak orang menyorotkan eksistensi diri. Banyak ID Card yang mencantumkan nama plus gelar plus nama hebat yang terkenalsebagai Clannya. Prof. DR dr Gus Falun Maulana Fulus Ma. Mudik antropologis semoga dapat kita tempuh dalam kehidupan seperti ini. Semoga pula dapat menjadi bagian yang penting guna mengisi kekosongan diri ditengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan, Hangus terbakar kesombongan duniawi. Keindahan dunia hanyalah tipu belaka, yang lebih penting bahwasanya kita manusia ini sesungguhnya adalah juga keturunan Nabi Ibrahim Yang Percaya Adanya Alam Pencipta dan Tanda-Tanda kebesaranNya. 3. Mudik Kosmologis Yaitu hakekat setiap detik untuk berproses dalam lingkar 'Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un'. Itulah prinsip utama kehidupan yang sudah dibudayakan sebagai tanda kematian. Semua yang berada dimuka bumi ini tidak bisa tidak, harus mudik, karena hidup dimuka bumi hakekatnya juga adalah pergi untuk kembali. Bisa juga diartikan bahwa perginya yang hidup adalah kembali. Begitu juga kita umat manusia tak akan kemana-mana kita pergi kecuali menyerahkan diri kita untuk kembali, Terpaksa atau ikhlas, Kepada asal-usul yang sejati. Sangkan Paraning Dumadi. Juga apa saja yang kita pikir kita miliki, kekayaan, harta benda, bertumpuk-tumpuk sebenarnya hanya untuk satu tujuan: Mereka meninggalkan kita, atau mendadak kita yang meninggalkannya. Setiap tempat pergi adalah tempat kembali, jika semisal ada barang yang kita curi, tidak ada jalan yang lain kecuali nantinya juga bakal kita setorkan kepada "Tukang Tadah Agung" yang sesungguhnya tidak menadahi apa-apa kecuali milikNya sendiri. "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" sesungguhnya kita dan apa saja yang berada dimuka bumi ini adalah hakNya, dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali kepada PangkuanNya. Tak ada kekuasaan yang benar-benar bisa kita raih, karena menjelang lahir kita tidak setorkan apapun untuk saham rencana kelahiran kita. Bukan saja kuasaNya yang titipan, akan tetapi diri kita sendiri adalah juga titipan, karena kita tak mampu menciptakan diri ini. Bahkan kedua orang tua kita pun tak mampu merancang hidup kita, jenis rambut kita apalagi tingkat kecerdasan pikiran kita. Dengan waktu hidup yang masih tersisa, sebelum datang kendaraanNya menjemput mudiknya kita semua, marilah kita nersama-sama memaknai kehidupan ini dengan melihat bertumbuhkembangnya pepohonanNya. Pepohonan tumbuh ditandai dengan pucaknya yang semakin meninggi, rantingnya bertambah lebat, daunnya semakin rimbun, bunga maupun buahnya pun muncul. Semakin lama semakin semakin perkasa dalam menghadapi goyangan angin dan guncangan yang ada. Mampu membuat pesona hijau siapapun yang memandang nya dan tidak pilih kasih daun rimbunnya melindungi apa dan siapa saja yang berada disekitarnya. Semoga antara hati dan analisa akal kita tidak terkontaminasi oleh keadaan dunia untuk jujur menjawab hidup hingga mampu membagi damai seperti sang pohon mampu memberi damai dalam rimbun kesejukan dahannya. Dan juga berharap kita semua masih diberikan kekuatan dalam berbagi sebagaimana ikhlasnya pepohonan tadi dalam memberikan buah ataupun bunganya, sambil memohon petunjuk dan bimbingan dari 'Tangan BijakNya -Al Yad Al Khair' sehingga kita semua mampu memasuki cakrawala kasih sayang Allah "Yadhuluna fi dinillahi afwaja". Berharap ikhlas dariNya seperti keikhlasan kita dalam memanjatkan do'a kepadaNya. "If the only prayer you said in your whole life was, 'thank you' that would suffice" Ketika satu-satunya do'a manusia dalam hidup hanya 'terimakasih - keikhlasan bersyukur nikmat', itulah sesungguhnya sebuah kehidupan yang sudah sangat cukup Meister Echkhart -- Eminx http://www.saatchi- gallery.co. uk/yourgallery/ artist_profile/ /95268.html