Hatur nuhun...Sae pisan.

baktos
Tantan

2008/10/6 ncep tribun <[EMAIL PROTECTED]>

>   Sabtu , 04 Oktober 2008 ,
> OBITUARI
>
> Duduh Durahman, Kritikus yang Tak Pernah Melukai
> Oleh Cecep Burdansyah
>
> PUBLIK sastra Sunda dan publik film pasti mengenal nama Duduh Durahman.
> Bagi insan perfilman, lelaki kelahiran Ciwidey, Kabupaten Bandung, Mei 1939
> ini dikenal sebagai kritikus. Saking luasnya pengetahuannya dalam bidang
> flim, sastrawan Mochtar Lubis menjulukinya sebagai ensiklopedi film
> berjalan.
>
>
> Duduh jadi tempat bertanya siapa pun yang ingin tahu tentang film. Bagi
> publik sastra Sunda, Duduh dikenal sebagai kritikus sastra Sunda andal yang
> bisa disejajarkan dengan sastrawan Muh Rustandi Kartakusuma dan Ajip Rosidi.
>
>
>
> Bahkan Duduh dan Rustandi tergolong sebagai bidannya para pengarang Sunda.
> Kalau Rustandi kemudian kiprahnya terhenti karena usia renta, maka Duduh
> Durahman boleh dikatakan hingga akhirnya hayatnya masih aktif melahirkan
> pengarang-pengarang Sunda.
>
>
> Tepat pada Hari Raya Idul Fitri 1 Oktober 2008, pukul 16.30, kabar
> menyentak pun datang. "Bah Duduh pupus," begitu pesan singkat dari Hawe
> Setiawan.
>
>
> Selang beberapa menit pesan singkat terus bertubi-tubi. Antara lain dari
> Ketua Paguyuban Pangarang Sunda Etty RS dan seniman Herry Dim. Bahkan kru
> majalah Mangle langsung menelepon memberi kabar duka. Saya hanya bisa
> termangu membaca pesan singkat itu. Terlebih kabar duka itu datang di saat
> hari bahagia bagi seluruh umat Muslim.
>
>
> Saya dan beberapa penulis Sunda memang tahu Bah Duduh, demikian ia minta
> disapa, berbaring di RS Imannuel sejak minggu ketiga di bulan Ramadan.
>
>
> Kami sama-sama membesuknya. Kondisinya memang koma. Namun ketika kabar ajal
> menjemputnya, tak pelak kami semua kaget. Bagi saya dan teman-teman penulis
> Sunda, Bah Duduh tidak hanya dikenal sebagai kritikus sastra Sunda dan
> kritikus film.
>
>
> Ia lebih dari itu. Seorang bapak yang bisa diajak untuk "curhat", seorang
> teman yang bisa diajak tertawa, seorang guru yang bisa diminta panduannya
> tentang menulis dan tempat bertanya seluk beluk sastra dan film.
>
>
> Namun Bah Duduh juga kerap jadi lawan tangguh dalam diskusi bahkan debat.
> Harus saya akui, bagi saya dan Usep Romli, kerap Bah Duduh jadi sasaran
> kritik pedas karena kebijakannya yang terlalu lunak dalam menyeleksi
> karya-karya sastra Sunda yang dimuat di majalah Mangle.
>
>
> Kalau Usep menuangkannya dalam tulisan, saya menyampaikan langsung ke Bah
> Duduh atau dalam acara diskusi. Mungkin seleksi yang lunak dan kritiknya
> yang halus itu dipandang sebagai kelemahan Bah Duduh.
>
>
> Tapi harus diakui pula, mungkin di situlah letak kekuatan Bah Duduh dalam
> mengasuh sastra Sunda di Mangle. Mungkin karena profesinya sebagai guru,
> maka jiwa guru itu pula yang melekat dalam diri Bah Duduh.
>
>
> Ia menjadikan dirinya sebagai kritikus yang lebih membimbing ketimbang
> kritikus yangmenguliti kelemahan pengarang. Pilihan ini pula yang membedakan
> posisinya dengan Ajip Rosidi dan Muh Rustandi Kartakusumah.
>
>
> Dua rekannya ini dikenal sebagai kritikus tajam karena tulisan mereka
> memang dikenal sangat "peureus", bahkan tak jarang ada pengarang yang merasa
> luka kalau dikritik Ajip atau Rustandi, sementara dikritik oleh Bah Duduh
> malah sebaliknya, merasa terangkat dan "diakui" karena telah mendapat
> perhatiannya.
>
>
> Bah Duduh memang dengan sadar mengambil pilihan untuk tidak melukai hati
> orang dalam karya-karya kritiknya. Salah satunya ketika ia jadi editor
> bersama Abdullah Mustappa dan Karno Kartadibrata, untuk menyeleksi 60 cerita
> pendek yang kemudian diterbitkan jadi buku Sawidak Carita Pondok.
>
>
> Bah Duduh kemudian sendirian menerbitkan buku Petingan (karya-karya
> penting), yakni kumpulan cerita pendek dari para pengarang yang karyanya
> menonjol dan penting. Tapi kepada pengarang Hadi AKS, Bah Duduh "balaka"
> bahwa karya dalam buku Petingan sebetulnya bukanlah karya-karya pilihan dan
> penting.
>
>
> Karya-karya dalam Petingan sebetulnya dimaksudkan Bah Duduh untuk
> "ngupahan" alias melipur lara para pengarang yang karyanya tidak masuk pada
> antologi Sawidak Carita Pondok. Itulah kelebihan Bah Duduh, ia selalu
> berusaha untuk tidak mematikan kreativitas pengarang.
>
>
> Pilihan sikapnya ini ia sadari karena, dalam kultur Sunda, bahkan
> Indonesia, kritik yang tajam sering ditanggapi pengarang sebagai dinamit
> yang melumpuhkan kreativitas, lantas pengarang itu pundung tak menulis lagi.
>
>
> Kini, kritikus yang juga di masa tuanya memilih untuk juga menulis karya
> fiksi, antara lain buku kumpulan carponnya Ajalnya Sang Bentang Film, telah
> didekap tanah kelahirannya, di Pasir Suling, Desa Panyocokan, Kecamatan
> Ciwidey, Kabupaten Bandung, Kamis (2/10).
>
>
> Selain kerabat dan keluarga, tampak yang mengantar antara lain Ketua DPD
> Partai Golkar Jabar H Uu Rukmana, novelis Aam Amilia, Ketua PPSS Etty RS,
> pengarang Abdullah Mustappa, Hadi AKS, Dian Hendrayana, Teddy Muhtadin, dan
> Ai Koraliati.
>
>
> Mereka hanya bisa berkaca-kaca, siapa lagi dalam sastra Sunda yang bisa
> mengkritik sekaligus melahirkan pengarang. Wilujeng angkat, Bah! (*)
>
>
> http://tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=21826&kategori=22
>
> ------------------------------
> Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang
> juga.<http://sg.rd.yahoo.com/id/search/toolbar/mail/signature/*http://id.toolbar.yahoo.com/>
> 
>



-- 
tantan hermansah | SM 1270

Kirim email ke