Gejala pn ieu tos lebur dimasyarakat ti taunakhir 70 an...sagalana hayang
leuwih...hayang make plus...pek tingali..bengkel mobil anu bener2 "ngome4an"
langkung saeutik jumlahna tibatan "bengkel" jual/masang asesori...hiasan
tambahan...salon mobil..kinclong...speed shop..jok kulit...pokona cenah..anu
aya "niley leuwih"...Kiu deui awewe urang dina dangdan..anu tos kaluar ti
salon murah..beda gayana ti anu kaluar ti salon mahal...jeung
..."mmooaahhaaalll"...malah salah sahii Diva urang aya nu ngajawab dina
interview..."Aduh..gimana ya nggak ada Salon yang cocok unutk
pedicure/manicure sayah di Indonesia ini....ya..jadi terpaksa sayah ke
Singapur"....kalimatna siga anu ngeluh..tapi ngomongna..bari legeg....!

On 10/13/08, Waluya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Tadina mah teu pati ngarti naon ari Pleonoxia teh, tapi sanggeus maca
> Catatan Pinggir GM dina Tempo minggu ieu, kakara ngarti: Panyakit jiwa nu
> ngadorong hayang leuwih jeung leuwih .....
>
> Nyanggakeun seratan GM, meunang copy-paste, kanggo lenyepaneun urang dina
> nyanghareupan krisis nu sabenerna teu pati kaharti ku kuring ....
>
> Pleonoxia
> (Tempo 34/XXXVII 13 Oktober 2008)
>
> Apa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang meninggalkan istana
> itu,
> Ki Ageng Suryomentaram, seandainya ia hidup pada hari ini? Seandainya ia
> berjalan di Sudirman Business District, Jakarta, antara Pacific Place yang
> memamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di mana harga saham rontok,
> para pemilik dana panik, dan di langit-langitnya bergaung rasa cemas?
>
> Mungkin inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: "Yang menangis adalah
> yang berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah
>
> mereka yang ingin."
>
> Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya.
>
> Ia memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta. Ia
> pangeran
> ke-55 di antara sederet putra Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya seorang
> garwa ampilan. Pengeran kecil ini bersekolah di Srimenganti, yang dikelola
> istana. Pendidikan formalnya tipis, tapi ia berbahasa Belanda dengan baik,
> dan kemudian belajar bahasa Arab dan Inggris. Dan ia membaca.
>
> Pada umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar "Bendara Pangeran Harya
> Suryomentaram". Kita tak tahu bagaimana hidupnya pada masa itu, tapi ada
> sebuah kejadian yang membuat masa depannya berubah.
>
> Dalam sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16, tahun 1978),
> Marcel Boneff menceritakan kembali kejadian itu. Pada suatu hari, dalam
> perjalanan ke sebuah pesta perkawinan di Keraton Surakarta, dari jendela
> kereta api sang Pangeran melihat ke luar. Di bentangan sawah, sejumlah
> manusia berkeringat, bersusah payah, mencari sesuap nasi. Sementara itu di
> gerbong itu ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang diperolehnya
> semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang tak harus diraih.
> Bisakah ia berbahagia?
>
> Sejak itu Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh orang lain didiamkan:
> arti benda bagi hidup, arti punya bagi manusia.
>
> Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan mélik. Yang
> pertama berarti "punya" atau "harta". Yang kedua berarti "keinginan yang
> cemburu untuk mendapatkan sesuatu".
>
> Kini milik begitu penting dan mélik dilembagakan sebagai perilaku yang
> wajar; keduanya dianggap bagus buat pertumbuhan ekonomi. Dan jika dari
> kesibukan dengan milik dan mélik itu lahir sifat tamak, Sudirman Business
> District adalah saksinya. Di sini bergema kata-kata Walter Williams, ekonom
>
> dari George Mason University, tentang the virtue of greed: "Sebutlah itu
> tamak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang tak sempit, tapi akhirnya
> motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi".
> Mungkinkah itu sebabnya "pasar"-yang digerakkan milik dan mélik-tak mudah
> ditertibkan oleh Negara? Bank sentral dan kementerian keuangan di seluruh
> dunia bergerak. Mereka hendak membendung arus jatuh pasar saham, yang makin
>
> mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Tapi sejauh ini sia-sia.
> Sejauh ini tampak bahwa Negara, yang bekerja untuk kepentingan umum, tak
> berdaya menghadapi pasar yang tamak yang tak mengacuhkan res publica.
>
> Yang tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan mélik pada
> zaman
> ini. Bersama cepatnya alir kekayaan dari tempat ke tempat-ya, itulah
> globalisasi-terjadilah akselerasi hasrat. Kepuasan akan satu benda dengan
> segera dihapus oleh hasrat baru. "Benda"-yang telah berubah jadi
> komoditas-kini jadi lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10 mobil
> Jaguar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang. Terus-menerus.
>
> Menyimpan akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai dengan yang
> "baru",
> jadi kian cepat tiba. Menabung kehilangan alasannya. Kapitalisme zaman ini
> makin mengukuhkan dalil Leon Levy ("investor genius dari Wall Street", kata
>
> majalah Forbes), bahwa "tiap satu persen tabungan naik di masyarakat, laba
> perusahaan akan turun 11 persen".
> Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan "pleonoxia",
> penyakit
> jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, lebih.
>
> Itu sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa gerangan yang akan
> dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tauladan. Ia melihat bagaimana
> pleonoxia datang setapak demi setapak. Pangeran itu mencegahnya dengan
> drastis: ia meninggalkan keraton. Sebelum umurnya 30, ia mengajukan surat
> agar gelar Pangerannya dibatalkan. Salah satu bangsawan terkaya di
> Yogyakarta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya, menyerahkan
> kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia
> memakai nama "Notodongso" dan praktis menghilang. Ketika Raja menyuruh
> orang
> mencari putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang
>
> menggali sumur.
>
> Apa yang dicarinya? "Suprana-supréné, aku kok durung tau kepethuk wong,"
> konon begitulah yang dikatakannya. "Selama ini, aku belum pernah berjumpa
> manusia." Ia tahu, manusia lebur di antara milik dan mélik.
>
> Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Orang
> melihatnya selalu hanya memakai kathok pendek hitam, tak bersandal. Di
> lehernya terkalung sehelai batik bermotif parang rusak barong yang konon
> melambangkan resistansi. Mungkin dengan itulah manusia muncul,
> kadang-kadang: dalam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara
> sederhana, menghargai liyan dengan mulut membisu.
>
> Syahdan, pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang masuk, seorang
>
> penumpang lain yang menyangka Suryomentaram seorang kuli menyerahkan sebuah
>
> koper agar diangkat. Dengan patuh Ki Ageng meletakkannya di dalam bus- dan
> segera setelah itu, ia turun lagi. Ia membatalkan pergi. Ia tak ingin
> penumpang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya.
>
> Begitu merendah-seorang yang tak akan kelihatan dari lantai tinggi Sudirman
>
> Business District, seorang yang seakan-akan menunjukkan: "Lihat, tanganku
> di
> dekat akar rumput. Lebih banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak
> ketimbang yang bisa kau rengkuh."
>
> Goenawan Mohamad
>
>  
>

Reply via email to