Heheheh,

Asa kabaledog ka kuring pisan iyeu mah.
Di kantor sok di kekeak ku babaturan nepika dunungan kulantaran nyebut ngaran 
dunungan Frank jadi preng. VPN jadi pi-pi-en,...

Jadi teu salah2 teuing meureun nyak.

Cag ach



--- Pada Kam, 16/10/08, kunkun sobirin <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
Dari: kunkun sobirin <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: [Urang Sunda] Mengapa Orang Sunda Sulit Melafalkan Huruf “F”?
Kepada: urangsunda@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 16 Oktober, 2008, 6:46 PM










    
            kuring boga babaturan ngarana teh efendi, mun daftar nanahoan wae 
tuluy ngarana perlu ditulis pasti  kieu ngomongna teh 
"Nama saya efendi, nulisnya pake ep jangan pake pe"
manehna resep naek vespa, calana lepis jeung panta rasa grep 


Tulisan agus Agus Fitriandi, http://indonesiasej ahtera.wordpress .com
Mengapa Orang Sunda Sulit Melafalkan Huruf "F"?
Saya sering iseng  bertanya, kenapa orang sunda
kesulitan melafalkan huruf "F"? Kesulitan ini tidak hanya di temukan
pada masyarakat awam, tapi juga pada masyarakat yang yang tergolong
berpendidikan cukup tinggi. Saya pernah menemukan beberapa diktat
kuliah Perguruan Tinggi Negeri  ternama di Bandung, yang disusun oleh
dosen asli Sunda, yang banyak memuat kekeliruan penulisan antara "F"
dan "P". Sampai ada satu anekdot. Orang-orang Sunda suka membela diri
dengan mengatakan, " Siapa bilang orang sunda tidak bisa bilang "F",
itu teh Pitnah!, Pitnah!"
Memang huruf "F" bukan huruf dan lafal asli daerah
Sunda. Huruf "F" berasal dari kosa kata  bahasa  Arab dan Eropa. Yang
menarik adalah suku Jawa sebagai tetangga terdekat suku sunda tidak
memiliki kesulitan yang berarti dalam melafalkan huruf "F", kecuali
untuk beberapa masyarakat generasi sepuh di pedalaman Jawa.  Padahal
Jawa dan Sunda memiliki sejarah yang hampir sama dalam hal interaksi
dengan bangsa asing yang telah membawa huruf "F" dalam budaya lisan dan
literatur mereka.
Meruntut sejarah Sunda dan Jawa, huruf "F" pertama
kali dibawa dan diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan
Gujarat yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad
ke-13. Bangsa Arab memiliki lafal "F" dari huruf asli "Fa' yang banyak
digunakan dalam kosa kata mereka yang tersebar baik dalam bidang
perdagangan maupun dalam bidang keagamaan.
Memang Islam lebih dulu memasuki suku Jawa dibanding
suku Sunda. Tingkat penyebaran awal  juga lebih luas dengan berdirinya
kerajaan Demak yang disokong oleh Wali Sanga-nya.
Berdasarkan sumber sejarah tertulis, Carita Parahyangan,
Islam dibawa  ke Tatar Sunda oleh Bratalegawa, atau Haji Purwa, seorang
saudagar dan pelayar besar yang juga merupakan anak Sang Bunisora
-penguasa kerajaan Galuh. Ia menikah dengan seorang muslimah Gujarat,
kemudian masuk Islam  dan kembali ke Galuh pada tahun 1337 Masehi 
serta menyebarkan Islam di Cirebon (Caruban) Girang. Namun
proses islamisasi Tatar Sunda secara massal baru pada abad ke -16,
dengan adanya peran Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan nama Sunan
Gunung Jati di Cirebon. Dengan kedudukannya sebagai salah satu Wali
Sanga, beliau mendapat dukungan dari Kerajaan Demak secara penuh. Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke Tatar Sunda lainnya,
seperti Majalengka, Kuningan, Galuh (Kawali-Ciamis) , Sunda Kelapa dan
Banten.
Untuk kasus di Jawa, modus penyebaran islam yang
bergerak dari pesisir ke pedalaman membuat kita mudah memahami mengapa
di daerah pedalaman, masih terdapat masyarakat, khususnya generasi
sepuh, yang kesulitan melafalkan "F", misalnya ketika mengucapkan kata
"film" (bahasa inggris) menjadi "pilem". Tapi secara general,  hampir seluruh 
suku Jawa tidak kesulitan dalam melafalkan huruf "F".
Sedangkan di Tatar Sunda, kesulitan pelafalan "F"
hampir menyeluruh dari pesisir pantai utara sampai pesisir pantai
selatan, dari generasi tua sampai generasi sekarang. Kenapa? Saya
mencoba menganalisisnya dan membuat teori  untuk menjawabnya.
Huruf "F" lebih banyak tersebar ke masyarakat Jawa
dan Sunda melalui bidang dakwah. Sebab bidang perdagangan hanya
menyentuh beberapa gelintir masyarakat di daerah pesisir. Bedanya
adalah mekanisme internalisasi Islam berikut  budaya lisan dan tulisan
yang melekat padanya.
Huruf "F" lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa
akibat internalisasi Islam beserta  budaya ikutannya (termasuk huruf
"F") yang dilakukan melalui metode yang mudah diterima dan dipraktikan.
Beberapa anggota Wali Sanga di Jawa  banyak menggunakan media seni dan
budaya. Yang paling fenomenal adalah peran Sunan Kalijaga dalam
mengembangkan wayang purwa atau wayang kullit yang bercorak islam.
Beberapa sunan lainnya juga dikenal sebagai ahli gubah tembang
Jawa. Sunan Bonang (R. Makhdum Ibrahim) yang dianggap sebagai pencipta
gending bermuatan islam. Sunan Drajat (R. Syarifudin) yang terkenal
sebagai penggubah tembang Pangkur. Sunan Kudus (Ja'far Shadiq) yang
terkenal dengan gubahan gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Muria (R.
Umar Said) yang menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.
Melalui media seni dan budaya inilah, Islam dan
budaya ikutannya menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat pada
waktu itu, masyarakat agraris dengan komunikasi "getok tular". Dengan
media seni, akulturasi kebudayaan, termasuk penggunaan dan pelafalan
huruf "F" menjadi lebih mudah. Sebab ia tidak hanya digunakan saja
dalam ranah ritual di masjid-masjid saja, tetapi budaya ikutannya telah
memasuki ranah setiap sendi kehidupan masyarakat, melalui
tembang-tembang yang dinyanyikan, melalui pertunjukan- pertunjukan seni
yang mereka nikmati.
Memang dakwah di Sunda juga menggunakan media seni dan budaya juga, seperti 
wayang golek, dangding, guguritan, tradisi upacara (sawer orok, tingkeban,
dll) akan tetapi penggunaan media ini tidak seintens seperti di tanah
Jawa. Penggunaan media ini baru berkembang pasca Sunan Gunung Jati.
Mungkin ini bisa dipahami dari latar belakang Syarif
Hidayatullah. Latar belakang personal beliau tidak bisa dilepaskan dari
corak Islam di Tatar Sunda sebab perannya yang sangat  sentral dalam
penyebaran Islam di Tatar Sunda. Dalam usia 20 tahun, Beliau telah
memiliki tingkat kefakihan yang mumpuni, hasil selama belajar Islam di
Mekah, Madinah, sampai ke Baghdad. Sebelum berlayar ke Jawa, beliau
pernah singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Ishak. Latar
belakang tersebut menyebabkan dakwah Sunan Gunung lebih "to the point".
Sunan Gunung Jati juga memiliki keunikan pendekatan
dakwah melalui bidang pengobatan. Naskah-naskah kuno Cirebon hampir
seluruhnya memberikan informasi tentang peran Sunan Gunung jati sebagai
seorang tabib.  
Pendekatan dakwah "to the point" membuat sedikit
batas akulturasi kebudayaan Islam dengan budaya asli Sunda, khususnya
penyerapan huruf "F" dalam budaya lisan Sunda. Huruf "F" hanya hidup di
ranah agama, di lingkungan masjid. Akan tetapi huruf "F" tidak hidup
dalam bidang kehidupan sehari-hari lainnya.
Analisis masalah kesulitan pelafalan huruf "F" oleh
suku Sunda di atas baru dilihat dari sisi kemungkinan mekanisme
akulturasi kebudayaan yang dominan. Sangat mungkin bahwa penyebab
utamanya bukan karena itu. Misalnya pengaruh anatomi mulut masyarakat
sunda dahulu. Atau  pengaruh prestise trend pelafalan para elit Tatar
Sunda waktu itu, seperti tren pengucapan "kan" menjadi "ken" pada masa
orde baru. Semoga ahli bahasa Sunda, sejarah dan anthropolog ada yang
berminat meneliti masalah ini. 
Referensi:

Bisri, Cik Hasan, Yeti Heryati, Eva Rufaidah
(ed.). Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda.
Bandung: Kaki Langit, 2005

Solihin, M. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Raja Grafindo 
Perkasa,2005


      

    
    
        
         
        
        








        


        
        

__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam  
http://id.mail.yahoo.com 

Kirim email ke