Pendidikan Tinggi Jawa Barat Menghadapi 

Rencana Anggaran Pendidikan 20% 

 

Oleh : Jamaludin Wiartakusumah

 

Pertanyaan yang pertama kali disampaikan oleh kaisar Jepang kepada para
petinggi Jepang setelah menerima kekalahan pada Perang Dunia II adalah
"Apakah kita masih memiliki guru?" Sebuah pertanyaan yang bernilai tinggi
dari seorang kaisar yang begitu menyadari arti penting pendidikan bagi
bangsanya. Hasilnya dapat kita saksikan: dalam kurun waktu yang relatif
cepat, Jepang dapat pulih dari kehancuran secara mengagumkan dan sekarang
menjadi juara dunia ekonomi dan industri dan dalam begitu banyak hal
lainnya. Semua itu Jepang raih dengan sumber daya alam yang minim yang
sebagian besar harus diimpor termasuk dari Indonesia. Jepang adalah contoh
bahwa kemajuan bukan terletak pada sumber daya alam yang melimpah tetapi
pada kualitas pendidikan bangsanya.

            Diantara sedikit kabar yang menggembirakan dari pemerintah
adalah anggaran pendidikan pada APBN dan APBD 2009 sebesar 20%, sebagai
realisasi amandemen UUD 1945.  Pendidikan itu mahal, disisi lain, pendidikan
adalah kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Sudah sewajarnya pemerintah
memperbesar tanggungjawabnya terhadap masalah pendidikan bangsa karena
bagaimanapun menyangkut hal yang sangat krusial yaitu kelangsungan kualitas
masa depan bangsa. 

            Upaya pemerintah ini harus kita sambut optimis mengingat di
tengah kondisi yang secara umum belum menggembirakan, upaya ini menunjukkan
rencana pemerintah yang lebih bersungguh-sungguh melaksanakan amanat
Konstitusi yang paling dasar karena tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. 

            

Realisasi Semangat Pembukaan UUD 1945

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah induknya seluruh undang-undang
yang berlaku.  Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas sekali tercantum tujuan
kemerdekaan atau dibentuknya pemerintahan Republik Indonesia, khususnya yang
berkonteks nasional, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.  Pembangunan ekonomi sebagai upaya realisasi meningkatkan
kesejahteraan umum akan berjalan di tempat dan kalaupun bergerak akan
berkualitas rapuh bila tanpa dukungan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tampaknya para pendiri negara (the founding fathers) negeri ini jauh-jauh
hari sudah sangat menyadari pentingnya upaya mencerdaskan bangsa agar negara
yang mereka bangun dapat tumbuh menjadi kuat dan besar. Untuk itulah
meningkatan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa menjadi dua tujuan
utama sehingga dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945. Dengan anggaran
pendidikan yang tinggi, diharapkan tujuan negara ini didirikan akan segera
dapat terwujud lebih cepat, yaitu bangsa yang cerdas dan sejahtera sehingga
dapat menghadapi berbagai tantangan yang akan semakin besar dan berat dalam
era persaingan global dewasa ini dan di masa yang akan datang. Bagaimanapun,
kesejahteraan umum hanya akan dapat dicapai oleh bangsa yang cerdas, bukan
oleh kekayaan sumber daya alam yang meskipun Indonesia sering disebut
memiliki kekayaan alam yang berlimpah, kenyataannya kekayaan itu belum mampu
memberi kesejahteraan bagi seluruh bangsa karena diperlukan sumber daya
manusia yang cerdas untuk mengolahnya.

            Pembangunan ekonomi yang selama ini dijadikan satu-satunya acuan
bagi kemajuan bangsa, pada ujungnya bukan menciptakan kesejahteraan bagi
seluruh bangsa, tetapi hanya menciptakan segelintir orang kaya dan celakanya
malah memperbesar jumlah orang miskin. Pendidikan diharapkan akan mampu
mempersempit jurang kaya-miskin, memperbesar populasi kelas menengah atau
kelas pekerja terdidik dan wiraswasta. 

            Kebijakan yang membuat beberapa PTN terkemuka diformat menjadi
BHMN harus kembali dipertanyakan, karena mengakibatkan meningkatnya biaya
yang harus ditanggung masyarakat. Dalam pandangan skeptis, format BHMN itu
seolah cara pemerintah melepaskan tanggungjawabnya terhadap masa depan
pendidikan bangsa. PTN terkemuka bukannya dijadikan basis perjuangan
nasional dalam bidang pendidikan dan model bagi pengembangan PT lainnya di
seluruh Tanah Air tetapi malah seolah 'disapih' agar bisa mencari dana untuk
menghidupi dirinya sendiri yang ujung-ujungnya membebani masyarakat sebagai
stake-holder.

 

Pendidikan Sebagai Investasi

Sejak awal, pendidikan seharusnya dilihat sebagai investasi untuk
memperbesar dan memperkuat aset utama bangsa yaitu peningkatan sumber daya
manusia. Dengan sistem pendidikan yang baik- yang salah satunya dengan
dukungan dana pendidikan yang memadai- lulusan pendidikan tinggi khususnya,
dapat menjadi kelas pekerja terdidik dan menjadi kelas menengah baru yang
sejahtera dan dengan begitu menjadi pembayar pajak baru. Memperbesar jumlah
pembayar pajak sudah tentu akan memperbesar kemakmuran bangsa. Dengan
pendidikan yang didukung pendanaan yang  baik, pengembangan sosial budaya
dan perekonomian termasuk industri mempunyai mesin yang andal yaitu para
sarjana yang berlatarpendidikan yang bermutu tinggi.

            Dengan salah satu filosofi pendidikan seperti diatas itulah
negara-negara maju seperti Jerman, Perancis dan kawasan Skandinavia
(Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia dan Islandia) telah lama menerapkan
sistem pendidikan 'gratis' bagi semua warganya dan bahkan warga asing yang
belajar di negerinya. Uniknya mahasiswa di Skandinavia menyadari bahwa
pendidikan gratis yang mereka peroleh bukanlah hadiah dari negara, tetapi
semata sebagai 'pinjaman' (loan) yang kelak, ketika mereka sudah bekerja,
harus mereka kembalikan pada negara dalam bentuk pajak penghasilan. 

            Meskipun pendidikan di Amerika terbilang mahal, bagi calon
mahasiswa perguruan tinggi dari kalangan yang kurang mampu, tersedia
berbagai beasiswa prestasi bagi warganya dengan berbagai jalur termasuk
prestasi dalam bidang olah raga. Dengan begitu, akses masyarakat kelas bawah
yang memiliki potensi tinggi terbuka untuk memperoleh pendidikan dan
memperoleh pekerjaan yang akan meningkatkan lebih banyak warga yang  memberi
sumbangan bagi pembangunan negara. Sistem meritokrasi seperti ini tidak
berarti menghalangi hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, tetapi
lebih mengutamakan pontesi yang dimiliki setiap warga negara. 

            Selain menghasilkan lulusan dalam berbagai tingkatan (S1, S2 dan
S3) PT juga merupakan pusat riset berbagai ilmu baik murni maupun terapan
yang seharusnya menjadi think-thank bagi pemerintah dan industri. Hasil
penelitian terapan dapat dipakai pemerintah dan juga dijual kepada industri
untuk diproduksi dan dilempar ke pasar. Di sisi lain riset di PT dan lembaga
riset non PT harus dapat bersinergi agar tidak terjadi tumpang tindih dan
sebaiknya setiap PT memiliki fokus riset dan pendidikan tertentu sehingga
setiap PT memiliki kekhasan yang menjadi unggulan masing-masing. 

            

Kondisi dan Potensi Pendidikan Tinggi Jawa Barat

Pada dekade 1960-an hingga 1970-an, Unpad dan IKIP juga IAIN Sunan Gunung
Djati memiliki cabang di luar Bandung. Unpad dan IKIP di Tasikmalaya dan
IAIN SGD di Cirebon. Model ini meniru sistem PT di Amerika: setiap PTN
negara bagian (state) memiliki cabang di kota-kota utama negara bagian
tersebut. Dengan begitu, kota-kota lain selain ibukota negara bagian juga
tumbuh pesat, salah satunya karena adanya PTN, sehingga melahirkan industri
berbahan baku lokal dan banyak lulusannya yang bekerja di industri tersebut
sehingga daerah tersebut maju.

            Sayangnya kebijakan pendidikan negeri ini kemudian sentralistik,
menutup cabang tersebut sehingga PTN provinsi Jawa Barat kemudian hanya
terpusat di Bandung. Kondisi ini mengakibatkan terjadi urbanisasi
besar-besaran dari daerah ke kota Bandung setiap musim penerimaan mahasiwa
baru, yang kemudian juga menciptakan semacam braindrain skala provinsi yaitu
daerah menjadi lamban untuk maju karena putra terbaik mereka kebanyakan
bekerja di kota besar karena menjadi terbiasa dengan kehidupan kota besar
yang penuh fasilitas dan tidak tertarik pulang ke daerahnya. 

            Sistem sentralisasi PTN yang hanya di Kota Bandung ternyata
tidak dapat menampung seluruh calon mahasiswa yang datang dari daerah. Kota
Bandung sendiri pada gilirannya tidak mampu mengembangkan kampus Unpad
karena lahannya sudah terlebih dahulu dihuni masyarakat urban, sehingga
sebagian besar kampus itu pindah ke Jatinangor Sumedang. ITB tampaknya sudah
heurin untuk mengembangkan kampusnya di jalan Ganesha. Masyarakat Bandung
mendirikan PTS guna menampung generasi muda yang tidak tertampung PTN
Bandung dengan dana terbatas karena semata masih mengandalkan iuran
mahasiswa. Sentralisasi PT di kota besar tampaknya tidak lagi efisien bagi
percepatan mencerdaskan bangsa.

             Ketiadaan PTN di daerah melahirkan inisiatif pihak pemda dan
swasta untuk mendirikan PTS dengan dana swadaya masyarakat. Kepedulian
masyarakat terhadap keberadaan PT di daerahnya harus didukung pengawasan
kualitas dari pemerintah yang dalam hal ini telah dilakukan oleh Kopertis,
tetapi juga harus mendapat dukungan dana karena perannya yang membantu
kewajiban negara mencerdaskan bangsa. Kebijakan Dikti dewasa ini yang
memberi hibah kompetitif bagi PTS harus terus digalakkan dan dengan jumlah
yang meningkat, mengingat dana PTS yang hanya bersumber dari iuran mahasiswa
sangat sulit mengembangkan diri, sementara perannya dalam turut serta
mencerdaskan bangsa sudah banyak terbukti. 

            Dengan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, saya
kira konsep desentralisasi PTN sebagaimana pada tahap awal pendirian PTN
dapat kembali dipertimbangkan. Selain untuk memacu pertumbuhan di setiap
ibukota kabupaten, juga akan mencegah pertumbuhan populasi kota Bandung
semakin besar sementara daya dukung kota tidak cukup memadai. Konsep
desentralisasi pendidikan ini juga dapat berupa kerjasama pengembangan
dengan PT yang ada di setiap ibukota kabupaten sehingga PTS di daerah dapat
berkembang dengan berpijak pada pengembangan potensi wilayah masing-masing.
Syukur kalau PTS di tiap kabupaten dapat dilebur ke dalam Unpad dengan
lokasi tetap di kabupaten masing-masing sebagaimana contoh di negara bagian
Amerika Serikat. 

            Pendidikan Tinggi selain harus memiliki visi ke depan juga harus
membumi, yaitu harus mampu memanfaatkan potensi yang ada di wilayahnya
menjadi bagian sentral dari pengembangan konsep pendidikannya. Contoh
konkrit, industri kulit di Garut harus didukung riset teknologi kulit dan
desain oleh PT yang ada di Garut, industri kerajinan Rajapolah harus
didukung riset termasuk desain oleh PT yang ada di Tasikmalaya, potensi ikan
di Ciamis atau Subang harus mendapat dukungan riset dari PT yang ada di
kabupaten tersebut. Kabupaten yang memiliki pantai, laut dan industri
perikanan laut harus didukung riset kelautan di PT yang ada di kabupaten
tersebut. Garis besarnya, potensi yang dimiliki provinsi Jawa Barat harus
menjadi target yang dapat dikembangkan oleh PT Jawa Barat selain juga mampu
memberi sumbangan bagi kemajuan di wilayah lain Republik Indonesia.

 

                 Jamaludin Wiartakusumah

Mahasiswa Program Doktor  Ilmu Seni Rupa & Desain ITB

Dosen Desain Itenas 

---

aslina sigana dimuat di majalah Bappeda Jawa Barat triwulan ieu. 

diceburkan ka milis susugan nambah sumangets atawa jadi jejer diskusi milis

Kirim email ke